“Buruk nian bus itu,” kata seorang teman asli Melayu, Pontianak, Kalimantan Barat ketika melihat bus jurusan Pontianak-Entikong yang berhenti di tepi jalan. Bentuk bus itu memang mengenaskan. Hampir seluruh catnya pudar. Bahkan, di bagian belakang, dindingnya telah karatan dan mengelupas. Kaca belakangnya pun telah diganti plastik, dengan tulisan rute perjalanan “Pontianak-Entikong”.
Entikong, adalah sebuah perbatasan antara Kalimantan Barat, Indonesia dengan Sarawak, Malaysia. Untuk menempuhnya sekitar 7 jam.
Padahal, bila menempuh rute ini, tampak bus dari Malaysia dan Brunai Darussalam. Bedanya, bus dari negara tetangga itu keren, tak seperti bus tua itu. Saya melihatnya ketika dalam perjalanan dari Sanggau ke Entikong dengan sepeda motor medio November lalu.
Kalbar memang didominasi hutan dan sungai. Tak pelak, sepanjang perjalanan, saya disuguhi hutan lebat. Sebagian hutan lebat itu ada yang telah disulap menjadi perkebunan kelapa sawit.
Di kanan-kiri jalan, tampak pohon kelapa sawit yang berderet-deret. Sejauh pandangan mata, hanya hijau yang terlihat. Bahkan, ada beberapa bukit yang baru saja disulap menjadi perkebunan sawit.
Terlihat truk-truk pengangkut bahan bakar minyak goreng itu. Entah, apa karena sering dilalui truk, sebagian jalan banyak yang rusak. Terlihat lobang di sana-sini. Tak pelak, motor yang saya tumpangi harus berjalan seperti kuda, melompat-lompat dan berderit-derit.
Menuju Entikong, memekan waktu cukup lama. Kami pun harus mengisi bensin hingga tiga kali dan full tank. SPBU jarang di sini. Karena itu, kami membeli bensin eceran di warga setempat yang berjualan di pinggir jalan Rp 6.000 per liternya.
Sebelum sampai di Entikong, terlihat beberapa kali checkpoint. Sebuah papan putih bertuliskan “Pemeriksaan’ yang ditaruh di beberapa titik ruas jalan. Boleh dibilang, penjagaan menuju Entikong cukup ketat. Terlihat pula beberapa aparat berjaga-jaga. Bahkan, ada yang membawa senjata laras panjang.
Alhamdulillah, setelah kira-kira lima jam perjalanan, akhirnya sampai juga di perbatasan Entikong. Saya istirahat terlebih dulu beberapa menit di sebuah tugu yang terletak di sebelah Barat. Tugu ini cukup ekstotis, terletak di dataran cukup tinggi. Di bagian tugu yang cukup tinggi ini terdapat lambang Pancasila berikut isinya. Barangkali, tugu ini menjadi simbol tapal batas Negara Indonesia.
Melihat alam sekitar, khususnya tapal batas Entikong tampak cukup menarik. Sepintas, perbatasan ini tak ubahnya seperti terminal. Kendaraan keluar masuk dan lalu lalang orang. Baik berasal dari Indonesia maupun Malaysia. Secara fisik, mereka hampir sama, hanya bahasa yang agak berbeda. Untuk membedakannya cukup gampang, ajak mereka berbicara.
Untuk menyeberang ke Malaysia harus membuat paspor terlebih dulu. Di sini ada jasa pembuatannya. Menurut warga setempat, biaya pembuatan paspor berbeda-beda. Untuk warga sekitar, punya KTP, dan famili di Entikong, bisa lebih murah sekitar Rp 300 ribu. Sedangkan dari luar Entikong, bisa mencapai Rp 500 ribu, atau bahkan bisa lebih.
Kendati demikian, aparat penjaga membolehkan bila sekadar berjalan-jalan hingga ke pintu gerbang perbatasan. Ketika saya hendak ke sana, seorang penjaga berseragam serba hitam menghampiri. “Mau kemana, mas?” tanyannya. Ia pun mengijinkan saya untuk berjalan-jalan hingga ke pintu gerbang. “Pulangnya lewat sini lagi, ya,” pintanya.
Jarak pintu gerbang perbatasan hanya beberapa ratus meter saja. Tak jauh dari situ, ada tugu yang bertuliskan “To Indonesia” dan di atasnya burung garuda berikut bendera merah putih. Beberapa orang yang lewat, terlihat sesekali berhenti dan berpoto dengan back ground tersebut.
Beberapa penjaga mengawasi dengan seksama. Ada cukup banyak penjaga di sini. Yaitu di sisi pintu masuk dan pintu keluar. Tampaknya, penjaga yang di sisi pintu masuk dari Malaysia ke Indonesia lebih banyak. Ada juga yang membawa senjata laras panjang. Ketika saya hendak mengambil gambar tugu itu, seorang penjaga tiba-tiba berkata, “Awas jangan sampai kena kami. Gambar kami dilarang dipoto, cukup tugu itu saja!”
Entah apa alasan mereka dilarang dipoto. Tapi, katanya, itu instruksi dari atasan. Setiap hari, petugas yang berjaga tidak tentu.
“Fluktuatif, jumlahnya tidak tentu” kata seorang petugas. Tampaknya, ia tidak mau terlalu banyak diwawancarai. Ia lalu menyarankan agar saya berjalan-jalan hingga ke gerbang Indonesia. “Silakan jalan-jalan hingga ke gerbang perbatasan itu,” ujarnya.
Dari gate perbatasan, tapal batas Malaysia tampak sepi. Tidak seperti Entikong. Hanya ada beberap mobil yang terparkir. Tampak ada tulisan Kucing dan Tebedu Iland Port. Tak jauh dari situ, pos penjagaan Malaysia. Tampak seorang penjaga yang keluar masuk pos. Tak terlihat aparat penjagaan yang begitu banyak, tidak seperti Indonesia. Di sudut jalan sebelah kanan, segerombolan orang ngobrol-ngobrol. Dari bahasanya, sepertinya mereka orang Malaysia.
Bagi musafir yang ingin shalat, di sana tersedia masjid yang cukup besar. Masjid yang bernama Muhajirin ini selalu menjadi pilihan para musafir untuk shalat dan menghilangkan lelah barang sejenak. Jamaahnya juga variatif, seperti saat shalat zuhur ketika itu. Tampak penjaga perbatasan, petugas perbatasan, petugas paspor, musafir, dan lain sebagainya.
“Ya, cukup rame. Selain pendatang, para pegawai yang dinas di perbatasan ini shalatnya di sini,” tutur Ono Suwarno, imam masjid ini kepada hidayatullah.com. Lelaki yang akrab disapa Ono ini bertugas di Jasa Raharja asal. Setiap waktu shalat, pria asal Jawa Barat ini didapuk sebagai imam tetap.
“Karena disuruh jadi imam, saya selalu membawa sarung, songkok dan gamis,” terangnya.
Menurut Ono, masjid itu cukup rame nuansa religinya. Selain dipakai ibadah lima waktu, di hari-hari besar Islam selalu diadakan acara keagamaan dan mengundang dai-dai terkenal.
“Rencananya, maulid Nabi besok kita akan mengundang KH. Zainuddin MZ, tapi beliau keburu almarhum,” ujarnya.
Menurut lelaki yang telah tinggal 10 tahun lebih di perbatasan itu mengatakan, di Entikong, jumlah umat Islam sebenarnya cukup banyak, sekitar 50 persen dan mayoritas Melayu. Angka tersebut menurutnya terus bertambah seiring dengan waktu dan pendatang Muslim dari Jawa.
Hanya saja, katanya, untuk daerah di daerah pedalaman Entikong, kondisi keislaman cukup memperihatinkan.
Di balik hiruk pikuk Entikong, ternyata tempat ini menjadi para pendatang untuk mengadu nasib. Seperti Maya, warga asal Madiun, Jawa Timur yang sehari-hari berjualan asongan dan jasa tukar mata uang.
“Untungnya tak seberapa. Yang penting cukup untuk makan,” tuturnya.
Hal itu ia lakukan karena mencari kerja di Jawa relatif susah. Kendati biaya hidup di Entikong lebih mahal, tapi mencari uang di Entikong jauh lebih mudah dibanding di Jawa.
“Ya, lebih baik kerja di sini dari pada di Jawa nggak ada kerjaan,” pungkasnya.*