Sambungan dari kisah kedelapan
PERAWAKANNYA tinggi besar, sekitar 180 cm dengan berat lebih dari 1 kuintal. Brewok pirang dan tatapan matanya yang tajam, cukup untuk menghadirkan kesan sangar saat pertama kali berjumpa dengannya.
Tapi, begitu berkenalan dan mengabarkan asal penulis, senyum lebarnya tak dapat dia sembunyikan. Sambutan hangat pun langsung penulis terima.
“Ahlan, yaa Akhi…” sambut Umar Badaj, pria asal Yordania itu, dengan hangat.
Sambutan ini kemudian berlanjut ke kantin Masjid Westermoskee, tempat penulis bertemu dengannya. Suasana cair langsung tercipta. Umar pun tak sungkan menuturkan tentang dirinya.
Masjid yang terletak di Piri Reisplein, Amsterdam, Belanda ini merupakan salah satu masjid yang direkomendasikan untuk dikunjungi traveller Muslim jika ke Negeri Kincir Angin itu.
Umar bertutur. Dahulu, ia adalah atlet tinju, bahkan pernah mewakili negaranya, Yordania, dalam event Asian Games 1986 di Jakarta dan Olympiade Seoul tahun 1988.
“Dan hingga kini saya masih rajin berlatih. makanya badan saya masih kekar,” tuturnya bercanda sambil memamerkan otot tangannya.
“Pekerjaan saya sekarang adalah sekuriti museum kota Amsterdam dan sedang menanti masa pensiun,” lanjutnya bertutur.
“Work Hard Play Hard,” tertulis besar di depan kaos oblong hitam yang dikenakannya. “Bekerja keras, bermain dengan serius,” demikian kurang lebih makna dari pesan berbahasa Inggris itu.
Perjalanan taqdir kemudian mengantarkan Umar saat ini menjadi petugas masjid berarsitektur khas Turki tersebut.
“Di Masjid Westermoskee ini saya diamanahi (menjadi) imam cadangan (naib) sekaligus muadzin,” ungkapnya.
Malam itu, saya sempat menyaksikan dan mendengarkan langsung ia melantunkan adzan maghrib dari sekitar mihrab masjid tersebut.
Sambil menikmati teh panas bertemankan biskuit, Umar lantas menceritakan perihal keluarganya. Ia mengaku punya 2 anak.
“Yang pertama sedang mengambil program doktor di bidang ekonomi dan sekarang sedang mengerjakan proyek di Malaysia. Yang kedua masih di tahun ketiga jurusan komputer. Semuanya kuliah di Amsterdam ini,” ungkapnya.
Umar juga mengaku punya saudara di Amerika. Sedangkan ibunya masih bertahan di Yordania. “Makanya, saya akan langsung pulang bila masa pensiun saya tiba,” terang pria berusia 50-an tahun ini.
Obrolan dalam bahasa Arab campur Inggris itu pun akhirnya disudahi menjelang waktu shalat isya, Kamis malam, 25 Agustus 2017.
“Adzan isya sudah dekat. Saya harus mempersiapkan diri dan semoga dapat menjumpai Anda lagi. Syukran (terima kasih)!” pamitnya setengah berbisik, sambil menggenggam erat tangan saya. Ia pun memohon diri.
Sampai jumpa, Saudaraku. Ilalliqo, Akhi. See you later, My Brother!* Bersambung/Diceritakan untuk hidayatullah.com oleh Naspi Arsyad, peneliti LSIPP, penulis buku “The Dome of The World”