Sambungan artikel PERTAMA
Stigma Sosial dan Kurangnya Pendidikan
Meskipun OPK sudah legal dan banyak dilakukan di Iran selama 30 tahun terakhir, masyarakat luas masih tidak familier dengan transeksualitas. Menurut Mahtaa, sebuah media online Iran yang menjadi suara bagi orang-orang transgender, banyak orang berpikir bahwa transeksualitas adalah sebuah kondisi yang dapat disembuhkan.
Mohammad, seorang perwakilan dari Mahtaa, menunjukkan bahwa, “Beberapa orang berpikir bahwa transeksual adalah hermaprodit yang memiliki kedua jenis kelamin, dan mereka berpikir bahwa operasi ditempuh untuk memperbaiki fisik. Mereka tidak menyadari bahwa tubuh seorang transeksual tidak bermasalah, tapi jiwanya tidak.”
Para ulama Syiah juga tidak memiliki kesepakatan mengenai hal ini, karena banyak dari mereka yang menolak OPK, kecuali organ reproduktifnya tidak jelas apakah laki-laki atau perempuan. Lebih lanjut, ada sejumlah psikiater yang percaya bahwa transeksualitas dapat disembuhkan dengan obat-obatan, kejut listrik atau dengan Islamo-therapy, sebuah terapi secara spiritual dan berdasar pada agama yang bertujuan pada pencegahan.
Problem yang sama mengenai kesalahpahaman atas transeksualitas juga dialami para transeksual sendiri, seperti yang diungkapkan oleh Professor Afsaneh Najmabadi pada bukunya Professing Selves: Transsexuality and Same Sex Desire in Contemporary Iran (Pembuktian Diri: Transeksualitas dan Nafsu Sesama Jenis di Iran Kontemporer). Mereka sering berbicara mengenai ketakutan amat sangat yang mereka alami saat mereka mengira diri mereka homoseksual dan tidak mungkin mereka memberitahu keluarga mereka.
Karena konotasi yang negatif tersebut, transeksualitas sering disalahpahami dan ditempeli stigma. Mahtaa mencatat bahwa penghinaan tersebut, terutama secara verbal, sangatlah umum. Organisasi transeksual telah bekerja keras untuk mendapatkan pengakuan secara hukum, dan mereka secara resmi telah memisahkan diri dari segala hubungan dengan homoseksualitas. Apa yang di Barat dipandang sebagai bagian dari semua komunitas LGBTQ secara virtual tidak eksis di Iran yang konservatif.
Pada akhirnya, orang-orang homoseksual hidup dalam kerahasiaan, namun banyak dari mereka yang akhirnya melalui proses penyaringan untuk mendapatkan sertifikat transeksual dalam rangka memuaskan orang tua mereka atau untuk mendapatkan dokumen legal untuk ditunjukkan pada pihak kepolisian. Mendapatkan sertifikat tersebut tidak susah, karena pertanyaan-pertanyaannya sering diulang dan jawaban yang diharapkan sangat condong kepada gender stereotype yang sudah ada. Meski begitu, seperti yang dijelaskan Mohammed, orang-orang homo yang mendapatkan sertifikat jarang ada yang melakukan operasi.
Problem yang muncul bagi para transeksual tidak hanya terbatas kepada stigma sosial. Operasinya sendiri adalah yang paling susah dari rangkaian pengobatan tersebut, karena tidak ada bantuan yang diberikan selama dan setelah operasi. Jika operasinya gagal, maka tidak ada yang bisa dikomplain. “Tidak ada yang mau mendengarkan kami,” kata Heydar. “Harusnya ada bantuan setelah operasi, juga secara psikologis.”
Menurut Mahtaa, kualitas para dokter bedah di rumah sakit negeri sangat rendah dan organ seksual mereka setelah operasi tidak bekerja seperti yang diharapkan. Pada saat seperti ini, dukungan keluarga sangatlah penting, namun pada mereka yang ditolak oleh keluarganya, proses tersebut dirasa amat sangat menyakitkan. Banyak transeksual yang akhirnya bekerja sebagai tuna susila.
Dengan mengacu pada patokan bahwa di Iran organ seksual yang berfungsi dipandang penting bagi sebuah pernikahan yang langgeng, dan pernikahan itu sendiri dipandang sebagai ukuran hidup yang “lengkap”, orang-orang transeksual seringnya menghadapi masalah tambahan. Bahkan jika mereka dapat menikah, fakta bahwa mereka tidak dapat memiliki keturunan membuat keluarga tersebut dipandang tidak sempurna.
Memilih Sembunyi
Heydar dan Leila mengaku telah bahagia berdua. Mereka baru-baru ini mengunjungi sebuah panti asuhan di daerah mereka dan berencana mengadopsi seorang anak. Seminggu setelah kami berjumpa dengan Leila, dia mulai mengejar gelar di bidang pekerjaan sosial.
Teman mereka Nima menempuh operasi tiga bulan lalu. Saat situs middleeasteyes.com mewawancarainya tentang bagian paling susah, dia mengatakan bahwa dia baru saja putus dengan wanita yang ditemuinya sebelum operasi. Sekarang, hal ini adalah yang paling disesalinya. Ia telah kawin, tapi dia mengunjunginya di rumah sakit dengan pasangannya, Sebuah hal yang mengejutkan di Negeri kaum Mullah.
Menurut Mahtaa, pengetahuan tentang komunitas tersebut telah meningkat, dan meski jalan masih panjang, situasinya kini lebih baik daripada 10 tahun yang lalu. Meski ada masalah yang jelas, banyak orang-orang transeksual di Iran bisa bebas melaksanakan operasi kelamin.
“Usiaku setahun dan aku kini tahu rasanya kebebasan. Aku bebas dari penjaraku,” ujar Leila.
Dibawah pemerintahan Reza Pahlavi, homoseksualitas ditoleransi dan mendapat tempat. Beberapa berita mengabarkanya perkawinan kaum hombreng ini.
Pada akhir 1970-an, beberapa warga Iran bahkan mulai berani berbicara tentang memulai sebuah organisasi hak-hak kaum homo, mirip dengan Gay Liberation Movement. Pelaku homoseksual atau LGBT di Iran bisa dihukum berat. Namun sampai hari ini, aktivitas mereka masih bisa dilakukan secara sembunyi-sembunyi.*