PANGGUNG pelaminan itu sungguh menawan mata. Warna-warni bunga dan kain-kain penghias cantik tertata. Di depan kursi persandingan, seorang lelaki berkemeja batik berdiri gagah. Menyita pandangan tetamu wanita dan pria.
Lelaki itu berpeci hitam, menutupi rambutnya yang dipenuhi uban. Ubannya serasi dengan kumis dan janggut panjangnya yang sudah memutih. Pria itu memang seorang lanjut usia. Keberadaannya di panggung bukanlah sebagai pengantin.
Ia adalah H Abdul Halik, seorang tokoh masyarakat Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Saat itu ia tengah memberikan sambutan keluarga pada acara resepsi pernikahan cucunya di Balai Desa Lingadan, Kecamatan Dako Pemean.
Ahad (10/08/2014) pagi jelang siang itu, Abdul Halik mengingatkan umat Islam untuk tidak menggelar acara pernikahan yang tidak syar’i. Seperti acara pesta yang bercampur baur antara pria dan wanita. Juga budaya bersalaman dengan non-mahram.
“Sekarang ini kita masih banyak melalaikan sunnah-sunnah Rasulullah, seperti misalnya ketika memberikan doa restu di depan (pelaminan), bapak-bapak bersalaman dengan perempuan (non-mahram). Perlu kita tegaskan bahwa ini diharamkan. Ya, diharamkan berjabat tangan dengan perempuan bukan mahram kita,” ujar Abdul Halik yang juga mantan Wakil Ketua DPRD Tolitoli.
Cucunya yang sedang melangsungkan pernikahan adalah Almujahidah binti (alm) Ansari. Ia menikah dengan Muzhirul Haq, pemuda gagah asal Balikpapan, Kalimantan Timur. Pernikahan tersebut dinilai bersejarah bagi masyarakat Lingadan. Sebab dilakukan pemisahan tempat antara undangan pria-wanita, termasuk bagi kedua pengantin.
“Acara yang kita selenggarakan pada hari ini mungkin untuk pertama kalinya kita selenggarakan di Lingadan. Yaitu adanya pemisahan antara undangan pria dan wanita, seperti yang kita saksikan,” ujar Abdul Halik yang lahir di Lingadan, 12 September 1939 (1357 H).
Pengamatan hidayatullah.com di lokasi acara, sekitar seribu undangan yang hadir dipisahkan sesuai jenis kelamin. Para tamu pria di sebelah kanan, tamu wanita di sebelah kiri. Di antara mereka dibentangkan kain biru sebagai hijab yang memanjang membelah ruangan.
Pemisahan juga berlaku bagi Jahidah dan Ozil, demikian panggilan kedua pengantin yang tertulis di surat undangan pernikahannya. Bahkan keduanya tak bisa saling bertatap muka karena terhalang hijab. Duduknya pun bukan di atas pelaminan, melainkan di kursi khusus di bawah panggung. Pelaminan yang akan digunakan untuk pemotretan kedua mempelai saat itu dibiarkan kosong.
“Ini dimaksudkan adalah untuk melaksanakan semaksimal mungkin Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Apa yang (sebelumnya) kita laksanakan selama ini sesungguhnya belum sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, di mana laki-laki dan perempuan bercampur, dan ini suatu larangan,” ujar Abdul Halik menjelaskan.
Tanpa Musik, Tanpa Pacaran
Acara pernikahan seperti itu, kata Abdul Halik, perlu ditiru oleh segenap masyarakat, khususnya umat Islam di Lingadan. Karena hal itu merupakan bagian dari sunnah Rasulullah.
“Itulah sebabnya saya sering memperlihatkan kepada hadirin di tempat ini, kalau saya berjabat tangan mencoba untuk tidak bersalaman dengan ibu-ibu atau pengantin wanita. Cukup dengan pengantin laki-laki. Sebagai contoh kita bahwa mengikuti sunnah Rasulullah,” ungkapnya.
“Mungkin ya tidak sempurna seratus persen, tapi kira-kira mendekatilah apa yang pernah (dilakukan) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,” ujarnya.
Pada acara yang tampak meriah tersebut, juga tidak ada pergelaran musik seperti yang lumrah ditemui pada acara pernikahan umumnya. Sesi bersalam-salaman dan pemberian doa restu pun digelar terpisah dengan waktu berbeda antara tamu putra dan putri.
Acara ini dihadiri Imam Masjid Agung al-Mubarak Tolitoli Ustadz Shobir, sejumlah pembimbing dan ustadz dari Pesantren Hidayatullah Balikpapan, seperti Ustadz Ahmad Fitri, Ustadz Syamsu Rijal Palu, dan Ustadz Khairul Amri.
Hadir pula Ketua Pimpinan Daerah Hidayatullah Tolitoli Ustadz Zainal M. Nur beserta segenap jajarannya, Imam Masjid al-Munawwarah Lingadan Jam’an, Kepala Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah Lingadan M. Naim, perwakilan perangkat desa, dan lain-lain.
Ozil atau disapa juga Ujil, adalah anak ke-4 dari Syamsu Rijal. Sedangkan Ahmad Fitri merupakan adik kandung dari Abdul Halik.
“Bisa dibilang ini pernikahan bersejarah di Lingadan, bahkan Tolitoli,” kata Hafzeni Dirwan, warga Lingadan kepada Hidayatullah.com sebelumnya.
Acara resepsi ini berakhir jelang waktu shalat Zhuhur. Sementara aqad nikahnya berlangsung sebelumnya pada pukul 10.00 Wita di rumah mempelai putri, tak jauh dari balai desa.
Sesi foto dengan kedua pengantin berlangsung secara tertutup. Khusus untuk keluarga dekat mempelai, ketika mayoritas tamu sudah pulang.
Ozil merupakan mahasiswa pasca-sarjana di Universitas Al-Iman, San’aa, Yaman. Sedangkan Jahidah mahasiswi LIPIA Jakarta yang pernah belajar di Hidayatullah Balikpapan. Kedua pengantin baru pertama kali bertemu langsung saat penyerahan mahar usai aqad nikah. Mereka menikah tanpa proses pacaran.
Ozil mengaku, di jejaring sosial pun dirinya tidak pernah menghubungi Jahidah saat belum menikah. Bahkan, sehari sebelumnya saat membuat status, sekadar menandai akun Facebook (FB)-nya Jahidah saja Ozil enggan.
“Hari ini (Sabtu, 09/08/2014) belum boleh tag (tandai) calon dinda,” tulis Ozil di akun FB-nya.
Selepas aqad nikah, tentu Ozil bukan hanya boleh menandai ‘sang dinda’ di status dunia maya. Bahkan lebih dari itu. Kini, di dunia nyata pun, Jahidah telah terpatri dalam status baru sang suami, ditandai dengan ikatan cinta suci pernikahan. “Barakallahu laka wa baraka ‘alaik, wa jama’a bainakuma fi khair”.*