SUATU sore di tahun 2006. Mobil yang saya tumpangi berhenti di sebuah warung. Tak bisa dibedakan apakah ini warung kopi atau warung yang menjajakan ikan. Sebab di sepanjang warung yang tampak hanyalah Ikan asin dan gurita kering yang tergantung untuk dijual. Namun bau kopi yang menyeruak membuat kami yakin jika tempat ini juga menjual minuman.
Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak. Melepas lelah setelah menempuh jalan yang amat berat lagi melelahkan. Tujuan kami adalah Calang Ibukota Kabupaten Aceh Jaya. Peringatan dua tahun tsunami Aceh akan dipusatkan di kota ini. Saya bergabung bersama crew TVRI Aceh. Tanggal 26 Desember, kami akan meyiarkan secara langsung acara peringatan tersebut.
Perjalanan menuju Calang tidaklah mudah. Saat itu beberapa ruas jalan masih putus. Bahkan untuk menyebrang harus menggunakan rakit milik masyarakat yang bentuknya ala kadar. Tersusun dari kayu bekas lalu dipasangi mesin untuk mendorong kapal menyebrangi sungai. Karena kondisi seperti ini banyak orang memilih menempuh jalan darurat. Jalan tersebut sengaja dibuat dengan mengitari gunung. Meski waktu tempuh akan bertambah panjang. Berangkat pada pagi hari maka tiba di Calang bisa menjelang magrib. Padahal dalam kondisi normal waktu tempuh ke Calang dari Banda Aceh hanya tiga jam saja.
Kami memang sengaja menghindari perjalanan pada malam hari. Sebab jika malam tiba, perjalanan ke Calang akan sangat berbahaya. Maklum kala itu jalan raya yang rusak akibat tsunami sedang diperbaiki. Jalanan becek. Genangan air disana sini. Apalagi saat itu memang tengah musim hujan. Bisa dipastikan berkenderaan pada malam hari hanya dengan mengandalkan lampu sorot dan sinar bulan amat sangat berbahaya.
Kembali ke warung kecil. Di sini sebagian teman memilih menyerumput secangkir kopi. Sebagian lainnya beranjak untuk shalat Ashar dan berbaring sejenak. Warung ini ternyata dijaga oleh seorang perempuan. Saya lupa namanya. Umurnya mungkin berkisaran 50an atau lebih. Yang jelas ia memang tak lagi muda. Apalagi teriknya matahari dan asinnya daerah pesisir membuat kulitnya kering dan menghitam. Belakangan saya baru tau jika ternyata warung ini juga ia jadikan sebagai tempat tinggal.
Obrolan santai pun mengalir diantara kami. Hingga akhirnya pembicaraan menyinggung tentang peristiwa tsunami 26 Desember 2004.

Ia berkisah jika tsunami telah merenggut segalanya. Harta benda bahkan keluarga. Tidak ada yang selamat. Hanya ia seorang diri. Ia pun selamat dengan amat dramatis. Menyambung nyawa setelah berhasil naik ke atas papan yang hanyut dibawa gelombang pasang. Ia mengaku di atas papan itulah ia shalat dengan kondisi seadanya.
“Pokoknya Ibu shalat, zikir. Ibu sudah ngak pikir apa-apa” ungkapnya.
Para saksi mata yang berhasil selamat berkisah bagaimana dasyatnya tsunami menghantam Calang. Ia bercerita, tinggi gelombang tsunami kalaitu melebihi pohon kelapa yang berdiri tegak di sepanjang pesisir pantai.
Gelombang menyapu apa saja yang dilewatinya. Dalam waktu singkat semua rata tak bersisa. Minimnya informasi tentang tsunami ditambah Kota Calang yang dibangun persis di bibir pantai membuat gelombang laut mudah dalam menemukan orang dan barang untuk dilumat.
Salah satu tempat menyelamatkan diri adalah sebuah bukit yang berada di pinggiran kota. Bayangkan saja dalam waktu bersamaan semua orang menuju ke titik tersebut. Sementara gelombang laut menari-nari dibelakang mereka. Belum lagi tiba dipuncak, tsunami datang dan menarik mereka semua ke tengah laut. Berbaur dengan bangunan yang tergulung bersama gelombang.

Dalam sekejap Calang seperti kota tak bertuan. Ibu penjual ikan asin mengaku jika ia tidak bisa lagi menemukan pertapakan rumahnya. Ia hanya menunjuk ke sebuah titik yaitu laut.
“Itu rumah Ibu. Udah jadi laut,” ujarnya mengenang.
Kondisi seperti ini tentu tidak hanya dialami oleh dirinya saja. Mereka yang selamat juga ikut merasakannya. Semua yang dimiliki telah bersatu bersama samudera. Tak berbekas. Di rumah darurat itulah ia menyambung hidup hanya sendirian tanpa keluarga. Di dekatnya juga ada beberapa warung yang juga menjual barang yang sama dengan kondisi yang seadanya. Mereka bertahan dan melanjutkan kehidupan.
Tidak hanya Ibu penjual ikan. Tsunami juga menyisakan trauma bagi Anggi. Teman kampus asal Banda Aceh yang juga selamat dari gelombang dahsyat itu.
Ia tak habis pikir dengan gelombang tsunami yang sepertinya memilih-milih korban untuk ditelan. Kala itu, Ia dan Ibunya terjebak dalam kemacetan di kawasan Blang Padang Banda Aceh. Blang padang adalah areal luas yang biasa dijadikan tempat berkumpul saat akhir pekan. Lalu berubah menjadi lokasi upacara saat 17 Agustus. Saat tsunami terjadi, Blang Padang menyimpan banyak cerita. Anggi ikut merasakannya.
Ia bercerita jika saat tsunami datang yang tampak hanyalah gulungan ombak tinggi hitam. Bentuknya seakan menyerupai ular hitam besar. Ia dan Ibunya berupaya menyelamatkan diri, berlari kencang menghindari gelombang. Meski saat itu ia tidak begitu yakin akan selamat. Anggi berkisah meski gelombang besar masih jauh tapi ujung airnya sudah ada di kaki mereka. Tak jarang beberapa orang terjatuh, terseret lalu kemudian digulung.
“Gelombangnya kayak ular matok orang. Ada yang dibiarkan selamat tapi ada juga yang ditarik,” ungkap Anggi.
Ia dan Ibunya akhirnya selamat setelah berhasil naik ke atap gedung RRI yang berada di daerah tersebut. Namun banyak pula yang tak berhasil dan akhirnya meregang nyawa. Dari lokasi itulah mereka menyaksikan tsunami melumat apapun dan siapapun.
Apa yang dirasakan Ibu penjual ikan asin atau Anggi adalah sekelumit kisah pilu di hari Ahad 26 Desember 2004 silam.
Bagi orang Aceh atau mereka yang saat itu tengah berada di Aceh akan sulit melupakan bencana yang telah merenggut banyak nyawa, harta benda dan memisahkan anggota keluarga. Diperkirakan 160 ribu orang menjadi korban atas musibah ini.
Tragedi tsunami boleh saja berlalu bertahun tahun lamanya. Namun kuatnya guncangan gempa, bau tanah yang menyeruak atau hilir mudik orang melarikan diri, mereka yang menangis sambil memegang luka yang menganga, hingga bau anyir darah yang berasal dari tumpukan jenazah hingga kini masih tercium, masih bisa dirasakan dan dibayangkan.
Tsunami sebenarnya bukan saja bencana yang mematikan dan melumpuhkan. Ia juga mengajarkan banyak hikmah dan memberi pelajaran. Jika sebenarnya manusia bukanlah siapa-siapa. Terlalu kerdil jika ingin berkacak pinggang di depan Sang Maha Pencipta, Allah Subhanahu Wata’ala. Sekali disapu, sekali dilumat, habis binasa. Bahkan tak sedikit yang mengatakan musibah ini adalah bala’. Namun bagi kami, ini adalah bentuk kasih sayang-Nya. Boleh jadi dengan memberi musibah, mengambil orang-orang tercinta untuk dimasukkan ke dalam Surga, mengganti konflik dengan damai selamanya.*/Ariel Kahhari, penulis adalah pembawa acara di TVRI Aceh