Hidayatullah.com—Menyebut Papua, yang terbayang bukan para wanita yang mengenakan hijab, atau kaum pria yang berkopiah. Menyebut Papua, yang terbayang adalah penduduk dengan kulit hitam dan rambut keriting.
Tapi benarkah kaum Muslim tak menggeliat di wilayah paling timur Indonesia ini? Benarkah Papua identik dengan kaum Kristen, terutama Protestan?
Akhir Mei lalu, wartawan Majalah Suara Hidayatullah, Mahladi, berkesempatan memotret kehidupan kaum Muslim di Raja Ampat, salah satu kabupaten di Papua Barat, atas undang Komunitas Muslimah untuk Kajian Islam (KMKI) dan Al-Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN).
Mengapa Raja Ampat? Sebab, kabupaten ini dihuni hanya oleh 35 persen Muslim. Selebihnya, 62 persen Kristen Protestan, dan sisanya penganut agama lain.
Namun, bupati di kabupaten ini seorang Muslim. Raja Ampat menjadi kabupaten/kota kedua di Papua Barat yang dipimpin seorang Muslim. Kabupaten pertama adalah Fakfak.
Selain itu, sejarah masuknya Islam ke tanah Papua tak bisa dilepas dari kabupaten yang terletak di bagian kepala burung ini. Bahkan, jejak Muslim di Raja Ampat telah ada sejak pertengahan abad 15 silam.
Inilah jejak kaum Muslim di Raja Ampat. Inilah potret Muslim di pulau Papua.
***
Gambar Buya Hamka tertempel di dinding papan sebuah sekolah dasar di Dusun Warengkris, Distrik (Kecamatan) Mayalibit, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Gambar tersebut tanpa bingkai. Hanya kertas tebal berukuran A4, atau 21 x 30 cm.
Bukan hanya gambar Buya Hamka yang tertempel di dinding sekolah itu. Juga ada gambar sejumlah pahlawan nasional lain seperti Donald Isaac Panjaitan, Wage Rudolf Supratman, dan Sisingamangaraja. Semua tanpa bingkai. Hanya tertempel begitu saja di dinding.
Sebanyak 22 bocah belajar di sekolah itu. Semangat juang para pahlawan yang tertempel di sana rupanya ingin diwariskan kepada mereka. Bocah-bocah itu harus rela menuntut ilmu di sekolah yang sebetulnya kurang layak untuk tempat belajar.
Bayangkan, hanya ada tiga kelas di sekolah itu. Masing-masing kelas hanya berukuran 3 x 3 meter persegi. Dinding dan pintunga terbuat dari papan yang disusun bertingkat. Tak ada daun jendela. Sedang lantainya terbuat dari semen kasar dan berdebu. Masing-masing kelas hanya ada 4 meja dan 4 bangku agak panjang. Itupun sudah amat rapuh. Beberapa meja bahkan hanya disanggah oleh tiga tiang. Yang keempat patah.
Alat tulisnya masih menggunakan kapur. Sedang media tulisnya berupa papan hitam yang tertempel di dinding depan dengan warna yang mulai memudar.
Deni, satu dari 22 bocah yang belajar di sekolah itu, mengaku baru beberapa bulan belajar di sana. Sebelumnya, selama lima tahun belajar di sebuah gereja yang berdiri tak jauh dari sekolah itu. Padahal, Deni seorang Muslim. Begitu juga bocah-bocah lainnya.
Sebanarnya, Deni bukan tak punya pilihan tempat belajar. Sebab, kata Fadzlan Garamatan, ketua Al-Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN), lembaga Islam yang bergerak di bidang sosial di Papua, dekat gereja itu ada mushalla. AFKN yang mendirikannya.
Namun Fadzlan menduga, masyarakat di distrik tersebut tak terbiasa sekolah di mushalla. Apalagi guru dari kalangan Muslim belum ada yang sanggup mengajar mereka. Maklum, sekolah itu amat terpencil. Ia berada di ujung sebuah pulau yang tak begitu luas. Rumah-rumah penduduk masih jarang. Satu-satunya jalan menuju sekolah itu buntu.
Bila mushalla tak biasa dijadikan tempat belajar, lain halnya dengan gereja. Menurut Fadzlan, gereja bisa dengan mudah disulap menjadi sekolah. Apalagi di gereja tersebut ada guru yang siap mengajar anak-anak itu.
Orang tua Deni tak merasa khawatir menyekolahkan anaknya ke gereja. Yang khawatir justru Fadzlan. “Aqidah anak-anak ini lama-lama bisa rusak,” katanya. Karena itulah, beberapa bulan lalu, AFKN berupaya menghimpun dana untuk mendirikan sekolah amat sederhana di sana.
Setelah sekolah itu berdiri, Deni dan teman-temannya pindah belajar ke sana. Bahkan, beberapa anak non Muslim juga ikut pindah ke sekolah itu. Untunglah ada seorang guru yang rela mendedikasikan waktunya untuk mengajar anak-anak tersebut.
Sekitar 20 km dari Dusun Warengkris —tempat sekolah itu berdiri— ada sebuah masjid agak besar. Namanya Masjid Al-Ikhlas. Kapasitasnya sekitar 500 jamaah.
Menurut Hidayat, penjaga masjid, ketika ditemui akhir Mei lalu, di sana telah digelar shalat Jumat. Bahkan, selama Ramadhan, masjid tersebut selalu menggelar shalat Taraweh.
Tapi sayang, cerita laki-laki paruh baya asal Sukabumi, Jawa Barat, yang telah empat tahun diberi amanah menjaga dan memakmurkan masjid tersebut, setiap datang waktu shalat fardhu, masjid tersebut sepi. Hanya beberapa orang saja yang ikut shalat berjamaah.
“Paling cuma dua atau tiga orang saja. Kalau magrib, sedikit lebih banyak,” kata Hidayat dengan logat Sunda yang sudah mulai menghilang.
Di pusat kota Waisai, ibu kota Kabupaten Raja Ampat, juga ada masjid besar. Namanya Masjid Agung Waisai. Masjid ini pernah dipakai sebagai tempat Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat propinsi Papua Barat pada 2014 silam. Kapasitasnya sekitar seribu jamaah.
Namun, nasibnya tak terlalu jauh berbeda dengan Masjid Al-Ikhlas: sepi dari jamaah ketika waktu shalat fardhu tiba. Wajarlah bila Sekretaris Daerah Kabupaten Raja Ampat, Dr Yusuf Salim, berkata bahwa tugas para dai di Raja Ampat tidak ringan.
“Meskipun beberapa masjid besar telah berdiri di Raja Ampat, dan bupatinya seorang Muslim, bukan berarti tugas dakwah menjadi ringan di sini,” kata Yusuf di hadapan ibu-ibu majelis taklim yang berkumpul di Masjid Agung Waisai pada Kamis (19/5/2016) malam.
Yusuf menambahkan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di Raja Ampat. Misalnya, mengajak kaum Muslim agar gemar memakmurkan masjid, terutama saat shalat lima waktu telah tiba.
“Di masjid Agung ini saja, ketika datang waktunya shalat fardhu, masih sedikit sekali masyarakat yang mau shalat berjamaah,” tutur Yusuf lagi.
Padahal, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam kerap mengingatkan umatnya bahwa hanya orang-orang munafik yang sanggup meninggalkan shalat berjamaah di masjid. Dan, setiap langkah kaum Muslim menuju masjid untuk menunaikan shalat berjamaah, dosanya akan diampuni dan derajatnya akan dinaikkan.
Kabupaten Raja Ampat sebenarnya terdiri atas banyak pulau. Jumlahnya sekitar 1,8 ribuan, baik berpenghuni maupun tidak. Sedang luas keseluruhan mencapai 4,5 juta hektar.
Masyarakat Raja Ampat membagi wilayah mereka menjadi dua, yakni utara dan selatan. Di bagian utara, ada satu pulau besar bernama Waigeo. Di pulau inilah Waisai, ibu kota kabupaten berada. Selain Waigeo, ada tiga pulau besar lainnya, yakni Batanta, Salawati, dan Misool. Pulau yang terakhir ini berada di wilayah selatan.
Kabupaten Raja Ampat memiliki 24 distrik (kecamatan). Setiap distrik memiliki beberapa desa atau kampung. Salah satu kampung yang menarik kita tengok adalah Saonek. Kampung ini terletak di distrik Waigeo Selatan. Letaknya hanya 45 menit perjalanan menggunakan perahu motor ke arah selatan Waisai.
Dari kejauhan, ketika perahu belum menyentuh pantai, Anda akan melihat puncak menara Masjid Hidayatullah, satu-satunya masjid yang ada di kampung ini.
Mesjid ini berkapasitas sekitar 200 orang, berdiri di tengah-tengah kampung Saonek. “Masjid ini dibangun tahun 2011 oleh masyarakat atas bantuan pemerintah dan orang-orang luar Saonek,’’ jelas Husain Namratu, Kepala Dusun Saonek, saat berbincang-bincang di dekat Masjid Hidayatullah menjelang digelarnya shalat Jumat pada 20 Mei lalu.
Ketika azan berkumandang dari pengeras suara masjid, shaf pertama belum terisi penuh. Hanya ada beberapa orang yang duduk saling berjauhan.
Saat khatib sudah naik mimbar, dua shaf baru terisi, namun tidak rapat. Beberapa orang malah duduk di shaf belakang. Ketika saat shalat Jumat digelar, jumlah shaf yang terisi hanya tiga baris. Itu pun didominasi oleh anak-anak dan orang-orang tua. Ke mana perginya anak-anak muda? Entahlah! Padahal, kata Husain, 80 persen penduduk Saonek —dari total 140 kepala keluarga atau 548 jiwa— beragama Islam. Dan, jumlah masjid di pulau itu hanya satu. Ya… masjid Hidayatullah itu tadi.
Husein juga menjelaskan bahwa Saonek dulunya dinobatkan sebagai ibukota Raja Ampat. Namun, setelah Raja Ampat menjadi Kabupaten sendiri pada 2003, terpisah dari Sorong, ibu kota kabupaten dipindah ke Waisai.
500 Tahun Islam di Papua: Dari Raja Ampat Hingga Sultan Papua [1]
Penduduk asli Saonek, sejak turun temurun telah beragama Islam. Kalau pun di sana ada pemeluk Kristen, kata Husain, kebanyakan mereka pendatang. Kegiatan pengajian di dusun ini bukan tak ada. Saban sore, anak-anak belajar mengaji. Sebagian anak-anak sudah hafal surat-surat pendek al-Qur’an. Namun, kata Husein lagi, orang dewasa tak banyak yang pandai mengaji. Husein menebak, paling hanya 12 persen saja yang bisa baca al-Qur’an.
Inilah jejak-jejak Islam yang kini bisa kita dapati di Kabupaten Raja Ampat. Ibarat gema, ia telah lama terdengar, namun belum membahana. Jika gema itu dibiarkan pelan, lama-lama bisa padam, dan Islam akan kembali hening di tanah Nuuwar. *
[informasi berlangganan Majalah Suara Hidayatullah HP/WA: 0877 8270 1596, email: [email protected]]