GEROMBOLAN anak-anak berseragam kompak melewati jalanan yang sibuk di wilayah Beit Lahia, Gaza, beberapa ramai mengobrol, yang lain menyanyikan lagu sambil berlari duluan, menggoda temannya untuk berlari mengejarnya.
Wissam terus menjaga pandangannya ke tanah ketika mereka lewat. Tanpa alas kaki dan berlutut di atas tanah kosong, ia tetap melanjutkan memungut puing-puing bersama dengan saudara-saudaranya.
“Aku tentu akan senang berangkat ke sekolah,” kata Wissam yang masih berumur 11 tahun dengan lembut. “Tapi untuk sekarang ini, aku memohon kepada Allah untuk memberikanku pekerjaan yang bagus hari ini jadi aku bisa membantu keluargaku.”
Beberapa meter dari sana, adik Wissam, Jihad, bersandar kepada seekor keledai milik keluarga mereka, kepalanya menunduk. Anak berusia 7 tahun itu nampak kelelahan.
“Ini adalah pekerjaan kematian,” kata Abed, yang tertua dari 3 bersaudara sambil memasukkan ember berisi puing-puing ke dalam kereta keledai.
Kata-kata yang Abed gunakan, sarat dengan makna. Tidak hanya pekerjaan ini saja yang melelahkan, tetapi bebatuan yang mereka pungut adalah yang tersisa dari rumah-rumah yang dihancurkan selama perang terakhir dengan Israel di Gaza.
Ketiga bocah ini benar-benar sadar bahwa kehidupan mereka amat berbeda dengan teman-teman Israel mereka.
“Mereka tidak memiliki kehidupan seperti ini,” kata Wissam. “Mereka tidak perlu bekerja seperti kami, dan mereka tidak perlu khawatir dengan bom dan perang. Tiap hari, aku memikirkan kapan perang selanjutnya akan datang,” ujarnya dikutip Aljazeera.
Sebagai yang tertua, Abed mengambil peran sebagai seorang ayah, mengawasi adik-adiknya, memenuhi kebutuhan mereka, dan terus menyemangati mereka.
“Kami harus melakukan ini karena ayah kami cacat (ia menderita muscular dystrophy) dan kami harus membantu keluarga kami dan memberi uang untuk makan kepada ibu kami,” kata Abed.
“Aku sering bilang seperti ini kepada adik-adikku ketika kami sedang bekerja jadi mereka paham kenapa kami harus bekerja jadi mereka tidak marah.”
Tiga bersaudara ini terlihat tenang ketika bekerja. Mereka mulai sejak shalat Subuh, dengan cermat mengamati tanah, menggaruk tanah dengan tangan mereka demi potongan beton dan blok breeze yang dapat mereka jual.
Pada jam 2 siang, setelah mengumpulkan keempat kereta berisi batu, mereka berjalan santai untuk melimpahkan batu-batu tersebut menuju kawasan konstruksi terdekat. Mereka mendapatkan 6 dollar.
“Bayaran yang kudapat adalah yang pantas (kuterima),” kata Abed.
Mimpi buruk
Begitu mereka kembali berjalan menuju rumah, mereka menjadi lebih cerewet. Hari sudah sore dan anak-anak merasa lega terbebas dari beban mencari nafkah.
“Keledai (ini) dipanggil keledai saja,” kata Wissam dengan seringaian yang memperlihatkan giginya. Jihad tertawa dan Wissam meresponnya dengan membuat keledai itu berdiri di atas kaki belakangnya. Jihad melompat-lompat, berteriak dengan senang.
“Aku suka bermain dengan saudara-saudaraku,” kata Wissam, sambil tertawa karena melihat betapa mudahnya adiknya gembira.
Rumah yang mereka tinggali sangat kecil, tanpa ada toilet di dalamnya. Tidak ada furnitur dan tak ada yang menggantung di dinding ataupun yang menutupi lantai. Hanya ada beberapa ember plastik yang di balik dan panci logam yang digunakan sebagai tempat duduk, meski itu tak cukup untuk semuanya.
Ruangan yang digunakan anak-anak ini tidak memiliki jendela. Hanya ada dua matras yang kotor di lantai.
Wissam tidur di samping adiknya, Jihad, tapi ia tak pernah bisa tidur dengan nyenyak. Ia selalu mengalami mimpi buruk setiap malam.
Sekolah di mana ia dan keluarganya berlindung selama perang di tahun 2014 diserang oleh rudal Israel. Delapan belas orang meninggal dalam serangan tersebut. Sekarang, ketika ia menutup mata di dalam kamar tidurnya yang dingin lagi gelap, gambaran bagian tubuh manusia dan keledai bercampur baur di lapangan bermain sekolah menghantuinya.
Wissam terbebani dengan apa yang ia telah lihat dan kemiskinan yang diderita keluarganya, tidak seperti abangnya, Abed, yang membawa beban sebagai tulang punggung keluarga yang utama, ia masih bisa menemukan kesenangan di masa kecilnya.
“Ini adalah ayamku, ini adalah ayamku, aku membantunya tumbuh besarm tumbuh besar,” senandung Wissam sambil berlari ke atap rumah dan melepaskan keluarga ayam dari kandang mereka.
Ia memeluk ayam favoritnya.
“Ia memberi telur untuk keluargaku,” katanya sembari terseyum dan lanjut bernyanyi, sedang Jihad mulai melompat-lompat mengikuti irama.
Kehidupan sulit
Abed menurunkan sebuah sepeda rusak dari atas atap ke bawah. Sepeda itu satu-satunya mainan para bocah dan empat saudara mereka punya.
“Kehidupan di sini sulit. Orang Israel menyerang kami, membuat segalanya menjadi sulit, tapi ada orang lain yang berada di posisi yang lebih buruk dari kami,” kata Wissam dengan penuh hati-hati. Dia duduk di sebuah panci terbalik di atas tanah.
Saat Wissam berbicara, Jihad menaiki sepeda rusak itu dan menariknya di atas tanah dengan kakinya secepat dia bisa. Sepeda itu kehilangan satu roda, tapi bagi Jihad, ini merupakan tantangan mengendarainya yang menjadikannya lebih menyenangkan.
Wissam mengejar si keledai. Ia berandai memiliki bola sepak, tapi petualangan masih bisa didapat dengan hewan jinak itu, dengan berpura-pura bahwa keledai itu seekor kuda, mengendarainya di sekitar daerah kumuh di wilayah penduduk termiskin di Gaza.
Ayah mereka, Ramzi, duduk di pojok di atas kursi roda yang sudah using, tersenyum sambil mengawasi mereka bermain. “Aku bersyukur kepada Allah karena mereka setiap hari,” katanya.
Setelah memberikan keledainya kepada Abed dan Jihad, Wissam mulai merangkak di atas pasir. Berpura-pura menjadi tentara; ia mengulurkan jemari sebagai pistolnya.
Dua kilometer jauhnya adalah dinding yang membagi Jalur Gaza dengan Israel, Wissam mengarahkan tubuhnya ke sana merangkak mendekat secara perlahan.
Ia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa tentara Zionis-Israel yang berdiri di sepanjang dinding itu, untuk sekali, takut pada Wissam.*