Hidayatullah.com–Beberapa pria berjanggut panjang dan berjubah lebar berbincang tentang politik di tepi jalan Avenue Habib Bourgiba di Tunis. Salah seorang mencela pemisahan negara dari agama sebagai penghinaan Allah, sementara yang lainnya mengumpat masyarakat yang bobrok. Percakapan terbuka yang beberapa bulan lalu tak terbayangkan, kini dapat terjadi di Tunisia.
Tidak jauh dari tempat itu, Cyreen Belhedi duduk dengan teman-temannya di salah satu dari sekian banyaknya kafe di jalan yang ramai itu. Dengan bangga ia memperlihatkan tas barunya yang berwarna merah muda dengan corak ular. Kelompok perempuan dan pria muda ini merokok dan bersantai sambil minum kopi, teh, jus buah dan beberapa minum bir.
Mereka menatap pria-pria berjanggut tadi dengan penuh kecurigaan. Orang-orang itu membuat mereka takut, ujar Cyreen yang berusia usia 27 tahun, yang saat revolusi melati tiap hari turun ke jalan berdemonstrasi.
“Bila saya duduk di kafe atau di bar, saya kadang-kadang berpikir, mereka akan menembaki kami atau melemparkan bom. Memang betul mereka sekarang tidak dapat berbuat banyak. Tetapi mereka hanya ingin menyalahgunakan situasi dan memperbesar pengaruhnya.”
Bulan Al-Qaidah
Kelompok Islam yang tampaknya paling popuper adalah partai An Nahda. Setelah cukup lama dilarang, partai ini kembali aktif secara politik.
Pemimpin dan bapak spiritual partai An Nahda (An-Nahda al-Islamiyah) adalah Syeikh Rasyid Al-Ghannushi, berusia 70 tahun. Seorang pengawal menjaga di depan pintu rumahnya. Di kebun terlihat pakaian anak-anak dan perempuan bergantungan pada tali yang direntangkan di antara pohon-pohon buah.
Syeikh Rasyid Al-Ghannushi yang berjas abu-abu dan kemeja putih dan mengenakan sepatu kulit berwarna hitam, dengan santai menerima tamu-tamunya di atas permadani merah di tengah-tengah sebuah kamar besar. Televisi di sudut kamar sedang menayangkan program Al-Jazeera. Ketakutan terhadap partainya sama sekali tidak beralasan, kata Ghannushi.
“Ini merupakan sisa-sisa ketakutan yang disebarkan bekas presiden Ben Ali untuk menghancurkan lawan politiknya. Tujuan partai kami adalah mempertahankan kesatuan rakyat, untuk membersihkan masyarakat dari peninggalan kekuasaan Ben Ali dan untuk memicu pembangunan sebuah negara demokratis yang bebas yang memperlakukan semua warganya sama rata,” papar Syeikh Rasyid Al-Ghannushi.
Ia menambahkan bahwa orang tak perlu takut, dan dengan tegas mengambil jarak dari ideologi Al-Qaidah.
Rida Belhaj, juru bicara Hizbut Tahrir, juga mengambil jarak dari teror. Ia melihat perlawanan rakyat di Tunisia dan Mesir sebagai masih belum selesai. Menurutnya, umat Muslim di dunia akan melihat bahwa mereka harus menyelesaikan masalahnya sendiri. Mereka akan menuntut pembentukan sebuah negara Islam, di mana masyarakat Islam yang madani dan ajaran Islam yang sebenarnya akan diterapkan. Demikian menurut Rida Belhaj.
Cyreen dan teman-temannya masih bersantai di kafe. Dikatakan, mereka memperkirakan bahwa Tunisia tidak akan dikuasai kaum radikal Islam. Namun mereka tidak sepenuhnya yakin akan hal itu. Cyreen mengatakan, bila kaum radikal berkuasa, ia dan teman-temannya akan pindah ke luar negeri. Maka revolusi yang mereka perjuangan menjadi sia-sia, tambahnya.*/Khalid El Khaoutit
Keterangan foto: 1. Pemuda Tunis sedang istirahat dari unjuk rasa. 2. Pemimpin partai Islam An Nahda, Syeikh Rasyid al Ghannushi