YUSRIL (19) menatap kosong puing-puing di hadapannya. Musnah sudah madrasah tempat yang selama ini ia pakai untuk membangun mimpi anak-anak di Pulau Kera. Tempat itu hancur tersapu badai beberapa bulan lalu.
Berdiri di atas hamparan pasir, tempat itu berupa bangunan sederhana, terbuat dari batako dan beratap asbes. Madrasah ini dibangun oleh Dewan Dakwah Islamiyah (DDI) tahun 2013, terdiri dari dua ruang. Inilah satu-satunya sekolah yang ada Pulau Kera. Itupun belum resmi terdaftar di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Yusril adalah satu-satunya guru yang mengajar di madrasah itu, merangkap sebagai dai. Yusril memborong semua mata pelajaran dan semua kelas. “Bekal saya ilmu yang saya peroleh dari pesantren,” kata lulusan Pesantren Abu Hurairah, Sapeken Madura ini. Yusril yakin, dengan ilmu nasib anak-anak Pulau Kera bakal berubah.
Pulau Kera berada di wilayah Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dari pelabuhan ikan Oeba, sekitar 40 menit dengan perahu tempel. Sekalipun namanya seperti binatang, tetapi tak satupun monyet atau kera di pulau ini. Kera diambil dari bahasa Bajo, yang artinya timba untuk mengambil air. Memang, hampir semua penghuni pulau yang luasnya tak lebih dari satu kilometer persegi ini berasal dari suku Bajo.
Dari Oeba pulau ini hanya terlihat sebagai titik putih. Makin mendekat titik itu makin besar. Masuk agak ke dalam pulau, akan ditemui gubuk-gubuk yang berserakan. Itulah rumah-rumah penduduk berukuran 3 x 5 meter. Ada juga yang lebih kecil dari itu. Gubuk ini terbuat dari seng, bambu dan jerami.
“Kalau hujan tidak bisa tidur karena air menerobos dari semua arah,” kata Yusril kepada majalah ini Mei lalu.
Di Pulau Kera tak ada fasilitas umum yang memadai. Ada memang sekolah (madrasah) yang sudah hancur diterjang badai. Ada pula masjid, tempat shalat berjamaah dan mengaji anak-anak. Tapi ukurannya kecil dan hendak roboh pula. Listrik juga ada, bersumber dari genset yang nyalanya hanya malam.
Yang juga memprihatinkan adalah ada air bersih. Untuk keperluan memasak, mereka harus mengambil air ke Kupang. Ketika majalah ini berkunjung ke sini dua tahun lalu, satu jerigen berisi 25 liter harganya Rp 2000.
Penduduk Pulau Kera cukup banyak, sekitar 80 kepala keluarga atau 350 orang. Mereka mendiami pulau itu sudah puluh tahun silam.
Tiadanya fasilitas umum tersebut, kata Yusril, lantaran mereka masih dianggap sebagai penghuni liar oleh pemerintah Kupang. Tak heran bila semua penghuninya tidak meliki KTP (karta tanda penduduk). Warga sendiri sudah berusaha mendapatkan KTP, tapi selalu ditolak Pemda Kupang.
Padahal mereka sudah menghuni pulau itu puluhan tahun lalu. “Yang aneh, meski tak diakui sebagai penduduk, kalau pemilu mereka disuruh mencoblos,” kata Syaiful Bahri, dari Hidayatullah sudah lama membina di Pulau Kera bersama dai dari DDI.
Belakangan, kata Yusril, pemerintah malah ingin menggusur mereka. Pemerintah hendak menjadikan Pulau Kera sebagai tempat wisata. “Isunya memang seperti itu, tapi warga sepakat menolak,” kata Yusril.
Yusril sendiri datang tiga tahun lalu, dikirim oleh Pesantren Abu Hurairah dan didukung DDI, Hidayatullah dan Yayasan Peduli Umat Temanggung. Ia menjalani masa pengabdian selama setahun, menggantikan seniornya dari pesantren. “Saya tahu Pulau Kera dari Majalah Suara Hidayatullah,” katanya. Dua tahun lalu majalah ini memang pernah mengangkat kiprah tiga dai muda di pulau ini.
Namun nampaknya Yusril akan lebih lama lagi berada di Pulau Kera. Pasalnya, ia jatuh hati kepada salah satu gadis di sini. Tak ingin jatuh ke lubang kemaksiatan, Yusril pun segera melamar gadis itu. Awal 2015, ia resmi menikahi gadis pujaan hatinya itu.
Selama tiga tahun bertugas, Yusril baru pulang sekali ke Sapeken saat ayahannya meningggal. “Itupun sering ditelepon dari Pulau Kera karena anak-anak tidak ada yang mengajar,” katanya.
Seperti seniornya dulu, paginya Yusril mengajar di madrasah, sorenya mengajar ngaji di masjid. Muridnya ada sekitar 80 anak. Ia mengajar sendirian, karena tak ada guru lain. Masalah lainnya adalah buku. “Anak-anak tidak punya buku, Pak,” katanya.
Yusril mengajar berdasarkan buku-buku yang ia bawa dari pesantren yang jumlahnya hanya beberapa biji. Biasanya ia mengutip buku itu di papan, anak-anak lalu menyalinnya.
Persoalan bertambah sejak madrasahnya diterpa badai. Yusril kemudiaan memindahkan anak didiknya ke sebuah rumah warga. “Karena rumahnya kecil, anak-anak masuknya bergantian,” katanya.
Tak hanya sarana dan prasarana yang menghambat, anak-anak sendiri semangat belajarnya sering melempem. “Kalau laut surut, kita mesti nyari anak-anak dulu untuk belajar,” katanya. Sudah begitu, tambah Yusril, para orangtua juga kurang mendukung. “Mereka lebih suka anak-anak membantu nyari ikan di laut ketimbang sekolah,” katanya.
Mungkin karena itu pula hampir semua remaja di Pulau Kera tidak sekolah. Mereka lebih memilih melaut seperti orangtuanya. Hanya beberapa gelintir yang melanjutkan pendidikan di Kupang.
Yusril sendiri tak henti-hentinya memahamkan kepada anak-anak dan juga orangtua soal pentingnya ilmu. Dengan ilmu Yusril yakin kehidupan warga Pulau Kera yang 99% Muslim bakal berubah menjadi lebih baik. Amin.*