Jika kita membenci atau dibenci, mana mungkin dapat mengajak mereka untuk mengenal Allah. Sesekali Ustadz Sudirman membaur bersama mereka. Ia tak pernah melarang mereka yang bertelanjang dada maupun mengenakan celana pendek.
Hidayatullah.com | MATAHARI sebentar lagi tenggelam di ufuk barat. Sementara, puluhan anak muda masih asyik bermain sepak takraw di lapangan samping rumah Ustadz Sudirman, di area Pesantren Hidayatullah Wajo. Tepatnya, di Dusun Data Orai, Desa Mario, Kecematan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
Sebagian penonton bersorak ria memecahkan kesunyian sambil menunggu giliran main. Beberapa di antara mereka memakai celana pendek, ada yang bertelanjang dada, bahkan mengisap batang rokok.
Hampir setiap sore lapangan itu selalu penuh. Sesekali Ustadz Sudirman membaur bersama mereka. Ia tak pernah melarang mereka yang bertelanjang dada maupun mengenakan celana pendek. Ia juga tak pernah mengusir mereka yang merokok di area pesantren yang dipimpinnya. Ketika ditawari rokok, pun ia tolak secara halus.
Bukannya tidak berani melarang. Namun, ia lebih memilih cara-cara santun dalam berinteraksi dengan mereka serta memberi teladan yang baik daripada melarang, misalnya dengan selalu mengenakan celana panjang dan kaos ketika ikut bermain sepak takraw.
Melihat akhlaq Ustadz Sudirman yang karimah, perlahan satu per satu di antara mereka merasa malu ketika mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada. Bahkan juga segan merokok di tempat itu, karena melihat Ustadz Sudriman dan santrinya tidak ada yang merokok.
“Sengaja kami bikin lapangan agar pemuda-pemuda kampung itu mau datang ke pesantren ini, meskipun hanya untuk berolahraga,” terang Sudirman.
Ubah Benci Menjadi Cinta
Ada cerita di balik pembuatan lapangan sepak takraw itu. Dulu, ketika pertama kali ia ditugaskan merintis Hidayatullah Wajo, komunikasi antara pihak pesantren dengan masyarakat setempat sangat renggang. Bahkan sampai muncul anggapan pesantrennya ekstrim dan tertutup—karena memang lokasinya berada di sebuah pedalaman.
“Jangankan orang mau singgah, diajak ngobrol saja malah menghindar. Sulit sekali mengundang mereka untuk datang ke pesantren,” terang Ustadz Sudirman ketika berbincang dengan Suara Hidayatullah, beberapa waktu lalu.
Sudirman tidak habis akal. Untuk menarik perhatian warga sekitar, ia melakukan beberapa langkah. Pertama, ketika pesantren memperoleh sumbangan berupa sembako dari donatur, sebagian ia bagikan kepada warga sekitar. Dengan begitu, ia berharap warga sekitar merasakan keberadaan pesantren.
“Alhamdulillah, komunikasi kian cair, pelan-pelan mereka mulai mempercayakan anak-anak mereka untuk mengaji di pesantren. Ada sekitar 30-an anak,” ucap pria kelahiran 1979 silam itu.
Kedua, untuk mendekati pemudanya, maka dibuatkanlah lapangan olahraga agar mereka tertarik ke pesantren. Tak sekadar itu, untuk awal-awal Ustadz Sudirman juga tak pernah melontarkan beberapa larangan.
“Kebanyakan dari mereka itu hari-harinya main game, merokok, pacaran, bahkan sampai minum minuman keras. Mereka dekat dengan kita itu sebuah kesempatan dan momen, tinggal ambil langkah selanjutnya,” jelasnya.
Sebagai seorang dai, menurut Ustadz Sudirman ia harus selalu menjaga hubungan dengan mad’u, objek dakwah. Caranya dengan mengedepankan akhlaqul karimah untuk memberikan teladan yang baik kepada mereka.
“Jika kita membenci atau dibenci, mana mungkin dapat mengajak mereka untuk mengenal Allah,” terangnya.
Anak-anak muda itu satu persatu didekati, diajak bercanda, dan akhirnya mereka terbuka. Di saat itulah, Ustadz Sudirman mulai mengenalkan nilai-nilai Islam. Dan hasilnya, mereka yang sebelumnya jarang ke masjid, pun menjadi rajin ke masjid.
Titik Balik
Jauh sebelum “terjun bebas” di dunia dakwah, pertengahan tahun 1996, setelah lulus dari MA Raadhiyatan Mardhiyyah Putra Pesantren Hidayatullah Balikpapan, Kalimantan Timur, darah muda Sudirman bergelora ingin merasakan keindahan dan kenikmatan dunia. Ia kembali ke kampung halamannya di Masamba, Palopo, Sulawesi Selatan.
Ia diterima bekerja di sebuah perusahaan batu bara, dengan gaji yang lumayan besar. Hidupnya sejahtera, namun keindahan dan kenikmatan dunia yang ia cari ternyata tak kunjung tiba. Yang ada hanyalah kekosongan semu, bahkan hatinya menjerit seakan tersesat di tengah kegelapan. Apa yang ia usahakan dan peroleh selalu terasa kurang.
Hingga akhirnya pada suatu malam di awal tahun 2004, ia menjadi buronan polisi karena terlibat sebuah kasus. Malam itu, di tengah persembunyiannya, ia merasa rindu yang amat berat akan suasana pesantren.
Dan pada saat bersamaan, ia merasakan eratnya tali persaudaraan dan indahnya hidup berjamaah. Ia merasa seakan-akan itulah kenikmatan dunia yang telah lama dinantikan. Ia pun berazam kalau lolos dari kejaran polisi, akan menghabiskan sisa hidupnya di jalan Allah. Atas izin dan ridha-Nya, ia bisa bebas dari peristiwa buruk itu dengan bersembunyi di dalam kubangan lumpur.
Akhirnya, memasuki pertengahan tahun 2004, ia memutuskan untuk bergabung kembali di pesantren Hidayatullah. Saat itu, ia memilih Hidayatullah Sangata. Di pesantren itu ia ditugaskan sebagai pengasuh santri sekaligus santri. Pada masa-masa itu, ia kembali merasakan kedamaian hati lewat persaudaraan serta hidup berjamaah.
Setelah sekian lama mengembalikan jati dirinya, ia bertekad untuk mengabdikan hidupnya bagi agama Islam. Ia ikut berkecimpung di dunia dakwah. Di penghujung tahun 2011, ia dipindah-tugaskan ke pesantren Hidayatullah Nunukan. Di sanalah ia mulai menjejaki petualangan dakwahnya. Hingga akhirnya dipindah-tugaskan di Pesantren Hidayatullah Wajo sampai sekarang.
“Dalam berdakwah itu tak melulu menyenangkan, selalu ada bumbu-bumbunya. Dari kehabisan beras, tidak makan dua hari, hingga tantangan medan jalan yang sulit. Di tambah lagi, di pondok ini sama sekali tidak ada sinyal. Tapi itu semua hal biasa dalam berdakwah. Yang paling penting adalah, kita percaya bahwa Allah tak pernah diam untuk membantu hamba-hamba-Nya. Pertolongan-Nya amat nyata,” tutupnya.*Sirajuddin Muslim, Majalah Suara Hidayatullah