Hatinya resah ketika slogan bernada liberal mulai bermunculan di Indonesia. Seperti ‘semua agama benar’ atau ‘Tuhan tidak perlu dibela’
Hidayatullah.com–Slogan itu banyak memakan korban, khususnya orang-orang yang pendidikan agamanya kurang, sehingga mereka salah dalam memahami Islam. Akibatnya, slogan-slogan seperti itu diterima begitu saja, seolah semua kebenaran mutlak serta tak terbantahkan lagi.
“Padahal, basis logikanya sangat-lah lemah. Mirisnya lagi, tidak banyak aktivis dakwah yang merespon pada awal kemunculannya,” kata Akmal Sjafril, Pegiat komunitas Indonesia Tanpa JIL (Jaringan Islam Liberal) atau dikenal dengan ITJ, membuka kisahnya dalam perang melawan liberalisme.
Ia pertama kali tertarik dengan wacana Islam liberal ketika sedang menempuh studi S1 Teknik Sipil di ITB. Hal yang membuatnya tergelitik adalah, karena para pendukungnya selalu mengatasnamakan rasionalitas, logika, dan semacamnya.
“Saya sendiri, sebagai mahasiswa sains, tidak asing lagi dengan rasionalitas dan logika, tapi jalan pikiran saya dan teman-teman saya tidak seperti mereka. Dan setelah saya selidiki, hampir semua pendukung Islam liberal itu, memang tidak punya latarbelakang sains yang kuat. Itu pada awal tahun 2000-an,” beber pria kelahiran Jakarta, 14 Juni 1981 ini.
Debat Terbuka
Sebagai aktivis anti liberal, Akmal—panggilan akrabnya—seringkali berhadapan langsung dengan pegiat JIL untuk beradu gagasan entah di dunia maya maupun nyata. Contoh dunia nyata, ia pernah melakukan debat terbuka dengan pegiat JIL di Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar dan Jakarta. Ia juga presentasi di Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat, serta beberapa kampus lainnya.
“Salah satu pengalaman yang tidak terlupakan adalah diundang debat di Hard Rock FM, dengan Pandji Pragiwaksana sebagai host-nya. Saat itu, lawan debat dari JIL membatalkan kehadirannya sehari sebelum acara. Terus penggantinya membatalkan juga sejam sebelum acara. Dari situlah saya menyadari bahwa sebenarnya justru merekalah yang diliputi ketakutan,” tegas pendiri Sekolah Pemikiran Islam (SPI) ini.
Perang melawan liberalisme tidak hanya Akmal lakukan lewat debat seperti itu, tetapi juga melalui tulisan. Sejak tahun 2005, anak bungsu dari tiga bersaudara ini, pun sangat aktif menulis seputar pemikiran Islam serta problematika umat. Tulisan-tulisannya banyak tersebar pada blog pribadinya; malakmalakmal.com.
Belakangan, virus liberal itu berkembang menjadi Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme (SePiLis). Nah, yang menarik saat ini yakni bagaimana menjelaskan bahaya SePiLis kepada kalangan milineal.
“Sebenarnya tidak sulit, kalau kita mau pelajari sedikit. Yang paling mudah itu menjelaskan kesalahan SePiLis dengan melihat kontradiksi dan membayangkan praktiknya dalam dunia nyata,” kata Akmal berbagi tips.
Ayah dari dua anak inipun memberi contoh, misalnya ada orang bilang “Semua agama benar, jangan saling menyalahkan”, itu mudah membantahnya. Pertama, ungkapan itu sebenarnya menyalahkan orang lain. Jadi, nasihat “Jangan saling menyalahkan” itu tidak bisa dipraktikkan oleh pengucapnya sendiri.
“Memang tidak realistis. Bagaimana mungkin orang tidak boleh menyebut jika sesuatu itu salah, sedangkan dia punya akal. Apakah seluruhnya harus dibilang benar? Tak ada orang berakal sehat yang akan membenarkan semuanya,” jelas peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) ini.
Dan kedua, Akmal melanjutkan, jika ditilik secara mendalam, agama-agama di dunia sangat berbeda. Di kebanyakan agama, misalnya, ada konsep kerahiban, yang menyebabkan orang kalau ingin naik derajat, maka ia tak boleh menikah. Namun dalam agama Islam, sengaja tidak menikah justru menurunkan derajat manusia. Bukan meninggikan derajatnya.
“Jadi jelas bahwa yang dianggap baik dalam satu agama belum tentu dianggap baik di agama lain,” tegasnya.
Ikut Mendirikan ITJ
Perjuangan Akmal dalam menghadapi kelompok SePiLis pun akhirnya banyak mendapat dukungan dari berbagai kalangan, setelah bertemu dengan orang-orang yang kontra terhadap SePiLis di Twitter pada tahun 2010. Lalu dua tahun berikutnya lahirlah komunitas ITJ (Februari 2012). “Tapi sebenarnya bukan saya pendirinya,” selorohnya.
Tahun 2010, jagad Twitter memang sedang ramai-ramainya perdebatan antara kelompok yang menolak serta yang mendukung Islam liberal. Lalu, tahun 2012, para pendukung Islam liberal meramaikan tagar Indonesia Tanpa FPI di Twitter. Mereka juga menggelar aksi di Bundaran HI, Jakarta Pusat.
“Yang membuat orang muak adalah kenyataan bahwa aksinya sekadar dihadiri sedikit orang, alias tidak signifikan sama sekali. Tetapi di-blow up habis-habisan oleh media. Dari situlah teman-teman menyadari, perang pemikiran itu nyata serta pertarungannya sangat tidak adil. Sehingga ada yang memunculkan tagar #IndonesiaTanpaJIL,” ungkap suami dari Rahmi Awaliah itu.
Awalnya memang hanya tagar di media sosial. Kemudian, salah seorang kawan Akmal membuat video dengan pemeran utama, Fauzi Baadilla. Aktor ternama itu pun hanya mengucapkan “Indonesia tanpa JIL!”, tetapi kemudian viral serta sangat laku di jejaring Youtube. Padahal, durasi video itu hanya beberapa detik.
Tak lama berselang, Akmal bersama teman-temannya sepakat bertemu untuk berkumpul. Dari situlah akhirnya disepakati bahwa ITJ akan diresmikan sebagai sebuah organisasi. Awalnya sederhana, hanya koordinator pusat. Tetapi seiring waktu, terbentuk kepengurusan di berbagai kota, hingga terciptalah organisasi ITJ seperti yang kita kenal saat ini.
Akmal mengatakan, tujuan ITJ didirikan yaitu untuk menggalang kesadaran dan perlawanan terhadap Islam liberal. Untuk mencapainya, ITJ menyelenggarakan berbagai kegiatan seperti kajian lepas, seminar atau workshop. Lalu aksi-aksi di lapangan seperti sebar flyer dan ‘street dakwah’. Termasuk menggelar kegiatan membaca dan mendiskusikan berbagai buku tentang pemikiran Islam.
Terkait bentuk kegiatannya, tergantung kreativitas dari masing-masing chapter di daerah—ada 13 chapter yang aktif.