Pernah“terjun bebas”ke beberapa medan dakwah seperti di Merauke, Timika, Biak, Sorong, Jayapura, dan Manokwari.
Hidayatullah.com | KATA penugasan bagi seorang dai Hidayatullah merupakan hal yang sakral dan tak dapat ditolak. Baru setahun belajar di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan, Ustadz Sultan sudah ditugaskan oleh Allahuyarham Ustadz Abdullah Said (pendiri Hidayatullah) untuk berdakwah di Papua.
Ia mendapat amanah untuk merintis pesantren Hidayatullah di Bumi Cendrawasih. Tentu ia tak berjuang sendirian. Ada beberapa asatidz lain yang membersamainya hijrah ke provinsi yang saat itu masih bernama Irian Jaya. Keinginan untuk nyantri di Balikpapan serta menjadi seorang penceramah kondang, rupanya berbeda jauh dengan apa yang Allah SWT gariskan kepadanya.
Berbekal Majalah
Apa mau dikata, sebagai seorang santri, Sultan harus taat terhadap titah gurunya. Ia pun ditugaskan untuk menemani Ustadz Sarbini Nasir membuka dan merintis pesantren Hidayatullah di Merauke.
Bermodal ketaatan itu pula, Sultan yang ketika itu masih beumur 19 tahun, harus rela jauh dari kampung halaman dan orangtuanya untuk meniti perjalanan hidup di ujung Indonesia paling timur tersebut. Ia pun harus mencicipi rasanya “terjun bebas” ke medan dakwah. Dimulai dengan perjuangan dari Balikpapan menuju Papua menggunakan Kapal Pelni.
Alih-alih membawa segepok uang, bekal Sultan bersama rombongan dai kala itu hanya beberapa eksemplar Majalah Suara Hidayatullah edisi lawas untuk dijual di kapal guna membeli makanan dan minuman. Mereka-lah yang melengkapi babak baru dibukanya pesantren-pesantren Hidayatullah di Papua.
Pesantren Hendak Dibakar Warga
Setelah berada di Merauke selama tiga tahun, Sultan dipindahtugaskan ke Timika untuk membantu perintisan pesantren Hidayatullah di sana.
“Sampai di Timika itu luar biasa, karena tidak ada santri sama sekali. Kami harus tetap bergerak, membangun asrama, kemudian jemput bola. Kami jemput santri satu persatu di daerah pemukiman transmigran,” jelas Wakil Ketua MUI Provinsi Papua Barat ini.
Ada pengalaman yang tak bisa dilupakan Sultan ketika merintis Pondok Pesantren Hidayatullah Timika. Terjadi kesalahpahaman yang kemudian membuat beberapa warga setempat datang dan ingin membakar pesantren, tapi lelaki murah senyum ini mampu mengatasinya dengan penuh kesabaran.
“Sekitar tahun 1996 itu pesantren mau dibakar, mungkin karena kesalapahaman dan fitnah orang. Yah kita niatnya baik, ingin membuka pendidikan. Alhamdulillah semua bisa diatasi, banyak juga aparat yang datang untuk membantu,” tuturnya.
Belum sampai setahun di Timika, Sultan melepas masa lajangnya. Selesai menikah tak lama kemudian ia kembali ditugaskan ke Merauke selama satu tahun.
“Saya memang beberapa kali mutasi bolak-balik ke Timika dan Merauke tapi itu-lah indanhya perjuangan. Harus tetap kita syukuri. Tidak ada kata tidak jika sudah diminta untuk pindah tugas, kita taat. Alhamdulillah di Merauke itu anak pertama saya lahir,”ujar suami dari Eva Bariyanti ini bahagia.
Sebagai seorang dai Hidayatullah, Sultan harus siap dipindahtugaskan. “Apa yang Ustadz Abdullah Said sampaikan itu menjadi motivasi bagi saya, bahwa Allah yang ada di jawa, Kalimantan, atau Irian itu sama saja. Alhamdulillah kita tetap hidup di jalan perjuangan ini,” lanjutnya.
Sultan memang dai yang sering dimutasi, setidaknya ia tercatat pernah ditugaskan ke Merauke, Timika, Biak, Sorong, Jayapura, dan Manokwari. Bahkan, saat hendak mengambil pendidikan S1 di Makassar pun Sultan tak lepas dari tugas berdakwah. Waktu itu, ia justru diminta untuk merintis pesantren Hidayatullah di Bulukumba.
Pendekatan humanis pun menjadi metode dakwah andalannya. Ia mengatakan di manapun tempat dakwah, pendekatan humanisme selalu ampuh. Masalah dan tantangan yang dihadapi dalam dakwah, sebesar apapun, ketika dihadapi dengan santun, akhirnya bisa diterima dengan baik.
Jadi Tukang Kebun
Ketika SMA, Sultan bercita-cita ingin belajar di pesantren dan menjadi seorang dai. Keinginannya muncul ketika ia aktif gabung di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Bontoala, Makassar. Training Center (TC) keagamaan yang sering diikutinya di IPM, kian membulatkan tekatnya buat belajar ke pesantren Hidayatullah di Balikpapan.
Dengan restu dari orangtua dan bekal seadannya, Sultan berangkat ke Balikpapan. Setibanya di Gunung Tembak, Balikpapan (1991), betapa kagetnya dia. Bukannya disambut dengan buku dan pena, melainkan disuruh menjadi tukang kebun.
“Betul-betul kaget. Rasanya ingin pulang. Lalu saya dapat nasihat dari almarhum Ustadz Anshor Amiruddin. Ikuti saja sistem yang ada di pesantren, nanti kau tahu sendiri hasilnya. Saya pun diajak ke rumahnya, kemudian dikasih baju, sarung dan songkok untuk shalat,”kenang ayah dari tujuh orang anak anak ini.
Motivasi Berdakwah
Seperampat lebih usia Sultan habis di medan dakwah. Pahit manisnya perjalanan dakwah sudah dia rasakan. Mulai dari sulitnya membuka lahan baru, menghadapi “serangan” warga, sulitnya medan dakwah, hingga sakit malaria. Tetapi semua itu tak pernah mematahkan semangatnya dalam berjuang mensyiarkan Islam.
“Kita tak kan melarat jika mengurus agama Allah. Allah sendiri yang bilang dalam firman-Nya. Siapa yang menolong agama Allah, maka, Allah akan menolongnya,” tegasnya.
Ketika ditanya apa motivasinya berdakwah? Pria kelahiran Bontojai, 1 September 1972 ini, pun menjawab dengan mengutip ucapan Allahuyarham Ustadz Abdullah Said.“Anda ke sini (pesantren) untuk belajar mengamalkan Islam, untuk berislam. Bukan hanya mengetahui Islam,” tuturnya.
Motivasi-motivasi seperti itulah yang membuat Ketua Dewan Murabbi Wilayah (DMW) Hidayatullah Papua Barat ini, istiqomah dalam berdakwah.* Supriyanto Refra
Catatan: Tulisan ini sekaligus meralat rubrik Serial Da’i di Majalah Suara Hidayatullah edisi Agustus 2021, yang pada paragraf ketiga tertulis “… almarhum Ustadz Sarbini Nasir…”. Atas kesalahan tersebut kami mohon maaf yang sebesar-sebesarnya kepada Ustadz Sarbini Nasir, segenap keluarga, dan berbagai pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.