RUMAH itu tampak sepi. Tak nampak orang di beranda maupun di ruang tamu. Jendela kaca rumah dibiarkan terbuka. Beberapa sandal terserak di anak tangga yang terbuat dari kayu. Pertanda ada orang di dalam rumah. Apalagi, sebuah motor butut terparkir di halaman. Lamat-lamat terdengar suara murattal Al-Quran dari kaset dari samping kamar.
“Assalamu’alaikum…”
Tak ada jawaban. Mungkin penghuni rumah sedang di dalam dan tidak mendengar. Salam itu diulang dua kali. Kali ini agak lebih keras. Terdengar jawaban dari dalam kamar, “Wa’alaikumsalam….Sebentar tunggu.” Langkah kaki dua anak kecil tiba-tiba berhambur ke ruang tamu. Bunyinya seperti derap kaki kuda. Mereka tertawa dan berteriak seolah memberi tahu kalau ada tamu.
Tak lama, lelaki itu keluar dari kamar dan berkata, “Oh, ada tamu. Silakan masuk.”
Suara itu masih seperti dulu. Sama seperti ketika berdakwah di pelosok Sumatera Selatan. Tetapi, tidak dengan tubuhnya. Usianya telah menginjak lebih dari 60 tahun. Sudah tua. Tubuh lelaki bernama lengkap Amin Mahmud kelahiran Enrekang, Sulawesi Selatan ini sudah banyak berubah. Tidak segagah dan sekuat waktu muda.
Beberapa labirin menghias di wajah yang berkulit putih. Dua titik hitam kecil bekas sujud di dahinya agak melebar. Kulitnya yang dulu kencang kini tampak mengendor, diikuti warna rambutnya yang memutih. Begitu pula warna jenggotnya yang tebal dan panjang. Namun, ada yang tidak berubah: semangat dakwahnya! Itu tampak dari aura wajahnya yang tidak berubah.
“Wah, kamu to. Lama enggak ketemu. Apa kabar?” katanya agak kaget sambil melanjutkan perkataanya, “Maaf, tadi agak lama. Habis mengurus ibu yang sakit.”
Ibu yang dimaksud itu istrinya yang bernama Siti Marfu’ah. Perempuan kelahiran Pacitan, Jawa Timur itu telah hidup bersama sejak dinikahinya pada 25 Desember 1976. Ustadz Amin—demikian akrab disapa—adalah santri pertama Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan, Kalimantan Timur.
Ketika itu, dia masih berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai guru. Tetapi, pasca bergabung, profesi itu ditinggalkan. Dia lebih tertarik berdakwah—menjadi lentera penerang umat di penjuru negeri—daripada menjadi abdi negara. Tak lama setelah itu, dia langsung dinikahkan dengan santri putri yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya itu.
Memilih Jalan Dakwah
Amin adalah santri pertama yang dinikahkan oleh pesantren. Pasca menikah, langsung ditugaskan berdakwah keluar kota Kaya Minyak, Balikpapan. Awalnya, dia masih berdakwah di sekitar Kalimantan, seperti Berau, Tarakan, Samarinda, dan Sempaja. Tak lama setelah itu, dia akhirnya dipindah lagi untuk bertugas ke luar provinsi. Tidak ada kata yang keluar ketika itu kecuali hanya kalimat pendek, “Sami’na wa’athona.”
Berbeda dari yang lain. Amin diberi pilihan tempat dakwah oleh mendiang Abdullah Said (allahu yarham), pendiri Pesantren Hidayatullah, Balikpapan. Tetapi, pilihan itu sama-sama beratnya: Palembang, Sumatera Selatan atau Papua, Irian Jaya. Kabar tak sedap tentang dua daerah ini sering didengarnya. Baik dari cerita orang maupun media masa.
Palembang terkenal krimaniltasnya. Bahkan, konon, di Bumi Sriwijaya itu terkenal murah nyawa. Gara-gara masalah sepele bisa berabe. Ya, tetapi itu kata orang. Toh, Amin belum mengetahui langsung dengan mata kepala sendiri. Bisa jadi berbeda. Tetapi Papua? Daerah ini tidak kalah menantang. Sebuah daerah yang terletak di ujung negeri yang menyimpan banyak emas itu itu terkenal nyamuk malaria yang mematikan. Tidak hanya itu, nyamuknya juga konon ada yang sebesar anak ayam.
“Pilihan yang sama-sama berat,” ujar Amin dulu sekitar tahun 1999 di hadapan para santri di Pesantren Hidayatullah, Palembang.
Pilihannya lalu jatuh ke Palembang. Tentu dengan berbagai pertimbangan. Namun, sebelum itu, dia ditugaskan untuk berdakwah ke Dumai pada tahun 1989 untuk membantu seorang dai yang merintis di sana. Di daerah yang juga kayak minyak ini, hanya bertugas tiga tahun 1989-1991. Setelah itu, baru dipindahkan ke Palembang. Di kota yang terkenal makanan khas empek-empek ini dia bertugas cukup lama, yaitu sejak tahun 1991 sampai 2001 atau sekitar sepuluh tahun.
Seperti penugasan dai Hidayatullah pada umumnya. Amin membuka pesantren Hidayatullah cabang Palembang juga dari nol, dari tidak ada apa-apa. Boro-boro uang pesangon atau modal jutaan rupiah, uang yang dibawa saja cukup untuk transpor dan makan. Selebihnya harus mencari sendiri. Padahal, waktu itu dia membawa putra-putri yang masih kecil.
“Waktu itu zamanya susah sekali. Makan hanya dengan garam dan minyak jelantah,” ujarnya.
Tapi, tidak ada kata mundur dari gelanggang. Apapun keadaan dan tantangannya. Tugas dakwah harus dijalankan. Amin harus menjadi lentera penerang pedalaman Sumatera. Sekali layar terkembang pantang mundur ke belakang. Mungkin itulah semangatnya dalam membangun pesantren. Tentu dengan keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wata’ala akan menolongnya. Seperti kata ayat yang selalu didengarnya dari mendiang pendiri Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, “Intansurullah yansurkum” (Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu)
Amin mendapat lahan wakaf dari seorang dermawan di Desa Tanjung Merbau, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Musi Banyu Asin. Jarak dari kota sekitar dua jam ketika itu. Cukup jauh. Lahan yang akan dibangun pesantren masih berupa hutan. Pepohonan besar tumbuh lebat dan sebagiannya berupa rawa-rawa. Tidak ada masyarakat tinggal di situ. Betul-betul sepi dan angker.
Sebelum pesantren dibangun, konon tempat ini dikenal angker. Tempat pembuangan mayat. Entah benar atau tidak. Yang jelas, menurut banyak orang seperti itu. Kadang juga katanya sering terlihat harimau yang lewat. Karena itu, jarang yang berani melewati jalan depan tempat ini pada malam hari karena takut. Mungkin karena itu lahan ini diwakafkan untuk dibangun pesantren agar ramai dan aman.
Karena belum ada rumah yang bisa ditempati Amin tinggal di kota. Selama itu pula dia harus pulang pergi hingga terbangun rumah dan masjid sederhana. Perlahan tapi pasti pesantren yang terletak di pelosok Rambutan itu pelan-pelan jadi. Bermula dari bangunan masjid yang cukup representatif, rumah Ustadz, asrama, dan gedung sekolah.*/Ansor (BERSAMBUNG)