Hidayatullah.com– Suatu daerah yang sedang dilanda bencana seperti gempa bumi, banjir, dan tsunami atau konflik, peperangan sangat urgen didirikan Rumah Sakit Lapangan (RSL).
Namun untuk mendirikan RSL tetap harus mengikuti prosedur yang berlaku. Selain itu, juga harus mempunyai struktur dan organisasinya, jenis pelayanan, dan model bangunan.
Hal tersebut disampaikan Dr Wolfgang Titus dalam acara Seminar Internasional Manajemen RS Lapangan di Wilayah Bencana dan Konflik di RS Olahraga Nasional Cibubur, Jakarta Timur, Ahad (27/11/2016).
“Ada beberapa model Rumah Sakit Lapangan yang bisa didirikan, seperti model tenda, kontainer, kombinasi tenda dan kontainer atau kontainer dan gedung,” kata Wolfgang, ahli bedah asal Jerman dan juga Direktur-Ret di RS Militer Berlin Jerman ini.
“Masing-masing model mempunyai kelebihan dan kekurangan. Di Indonesia disarankan menggunakan tenda karena melihat kondisi di lapangan,” tambahnya.
Rumah Sakit di Aleppo Dibom, Lusinan Orang Terperangkap dalam Reruntuhan
Bukan Modal Semangat Saja
Hal lain yang harus menjadi perhatian adalah para dokter, perawat, dan relawan saat bertugas di tempat bencana atau konflik, harus tahu apa yang harus dikerjakan. Juga harus pandai berkomunikasi dan bertanggung jawab penuh atas tugasnya.
“Bukan hanya modal semangat pengabdian saja,” ujar Wolfgang yang berpengalaman 20 tahun mengelola RSL di berbagai negara, antara lain Kosovo, Kongo, Afghanistan, Iran, dan Kamboja.
Sementara itu, narasumber lainnya, Dr dr Basuki Supartono, Direktur RS Olahraga Nasional, mengatakan, untuk mendirikan RSL, pada prinsipnya harus tetap menjaga kualitas. Tetapi tentu fasilitasnya tidak selengkap rumah sakit yang permanen.
Kata Basuki, ada saja kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi saat di lapangan. Misalnya SDM, dana, atau koordinasi. Apalagi untuk daerah konflik, tidak mudah membangun RSL.
“Kita harus lapor ke pemerintah setempat, harus tahu diri, ini masalah keamanan, kita sipil bukan militer. Kita harus punya mitra di tempat lokasi, kalau sendirian akan membahayakan kita,” ujar Basuki yang juga pembina Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI).
Seminar ini dihadiri sekitar 200 peserta dari umum, relawan BSMI, dan mahasiswa kedokteran dari berbagai perguruan tinggi.* Dadang Kusmayadi