TES urine bisa mendeteksi potensi gagal ginjal pada seseorang, kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Prof dr Moch Thaha, PhD, Sp.PD-KGH, FINASIM, FACP, FASN.
Gagal ginjal itu tidak tampak gejalanya dan biasanya baru tampak gejalanya bila sudah stadium 4, sehingga kondisinya sudah akut. Deteksi gagal ginjal sebelum stadium 4 bisa dilakukan dengan memeriksakan diri ke dokter melalui tes urine.
Guru besar kelahiran Surabaya pada 8 Mei 1972 yang dikukuhkan pada 20 September 2014 ini, mengatakan, deteksi gagal ginjal sebelum stadium 4 bisa dilakukan dengan memeriksakan diri ke dokter melalui tes urine.
“Jadi, sebaiknya lakukan tes urine bila usia sudah di atas 45 tahun, sehingga akan ketahuan apakah ada potensi gagal ginjal atau tidak. Bila terdeteksi positif, maka pencegahan bisa dilakukan tanpa menunggu stadium 4,” kata guru besar kelahiran Surabaya pada 8 Mei 1972 yang dikukuhkan pada 20 September 2014 ini.
Pada stadium 4 pasien membutuhkan terapi pengganti fungsi ginjal berupa cuci darah, hemodialisis atau dialisis peritoneal, maupun cangkok ginjal.
“Baik cuci darah maupun cangkok ginjal tentu menimbulkan beban ekonomi pada pasien maupun negara dalam hal ini sebagai penjamin pelayanan kesehatan,” kata Guru Besar Bidang Ilmu Penyakit Dalam di FK Unair itu.
Selain biaya yang besar, terapi pengganti fungsi ginjal ini tidak selalu memberikan hasil yang menjanjikan. Karena itu tindakan preventif penyakit ginjal kronik (PGK) perlu dilakukan.
“Prevalensi penyakit ginjal kronik di Indonesia kini telah mencapai 9 persen dari total penduduk Indonesia atau 21 juta orang, meski data Kemenkes hanya menyebut 480 ribu orang,” kata alumnus doktoral Nephrology Juntendo University, Tokyo.
Untuk pencegahan, ia mengatakan, risiko tradisional seperti merokok, obesitas, hipertensi, dan sebagainya bisa dihindari, namun faktor risiko non-tradisional PGK juga penting dihindari.
Faktor risiko non-tradisional PGK, di antaranya albuminuria, hiperhomosisteinemia, anemia, metabolisme kalsium-fosfat abnormal, ketidakseimbangan elektrolit, dan stres oksidatif.
“Dari beberapa studi telah ditemukan bahwa stress oksidatif meningkat setelah pemberian terapi besi pada pasien anemia. Sementara itu, pemberian antioksidan N-Acetyl Cystein (NAC) dapat mencegah peningkatkan stress oksidatif dan menurunkan kadar homosistein,” katanya, seperti dilaporkan Antara.
Prof Thaha merupakan keluarga profesor. Kedua orang tuanya juga Guru Besar FK Unair yaitu Prof Dr dr Sayid Hood Alsagaff Sp.P(K) dan Prof Dr dr Juliati Hood A., MS. Sp.PA(K) FIAC.
“Saya memperhatikan bagaimana orang tua saya rutinitasnya terorganisasi dengan baik. Hal itu membuat saya ingin menjadi seperti beliau,” kata Guru Besar ke-428 sejak Unair berdiri pada 1954 atau Guru Besar ke-136 sejak Unair berstatus PTN-BH itu.*