Hidayatullah.com—Kemungkinan Covid-19 juga menular secara airborne, dari hirupan udara yang mengandung coronavirus, diremehkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kata sekelompok ilmuwan.
Dalam sebuah surat terbuka yang akan dirilis pekan ini, 239 ilmuwan dari 32 negara menyeru pengakuan yang lebih besar atas kemungkinan bibit penyakit Covid-19 ditularkan secara airborne melalui udara, bukan sekedar droplet percikan air liur atau lendir orang yang positif coronavirus ke orang lain. Ratusan ilmuwan itu juga mendesak agar pemerintah-pemerintah segera mengambil tindakan untuk mengatasinya.
Panduan WHO tentang Covid-19 menyebutkan bahwa virus penyebab penyakit itu utamanya menular ke orang lain lewat droplet dan kontak dengan orang yang positif. Sementara penularan aerosol melibatkan partikel-partikel yang lebih kecil yang dapat berada di udara untuk jangka waktu yang lama dan bisa menular ke orang lain yang berjarak lebih dari 1 meter.
Anggota-anggota komite pencegahan infeksi di WHO pernah mengatakan bahwa sementara kemungkinan penularan aerosol memainkan peran, tetapi bukti dalam jumlah yang sangat banyak menunjukkan jalur penularan langsung Covid-19 terjadi melalui kontak langsung, dan percikan cairan tubuh yang keluar ketika orang batuk, bersin atau berbicara. Mereka mengatakan penerapan kebijakan baru untuk mencegah penularan aerosol tidak layak dan sepertinya tidak akan membuat banyak perubahan terhadap penyebaran penyakit tersebut.
Dilansir The Guardian Ahad (5/7/2020), surat yang akan dipublikasikan di jurnal Clinical Infectious Diseases tersebut ditulis oleh Lidia Morawska dari Queensland University of Technology di Brisbane dan Donald Milton dari University of Maryland, dan telah disokong oleh lebih dari 200 ilmuwan, termasuk di antaranya beberapa ilmuwan yang terlibat dalam penyusunan panduan WHO tentang Covid-19.
Mereka mengatakan semakin banyak bukti menunjukkan bahwa penularan secara airborne layak mendapatkan pengakuan lebih dari WHO. Contohnya wabah Covid-19 yang muncul di Jerman dari klaster sebuah rumah pemotongan hewan.
Linsey Marr, seorang pakar penularan penyakit yang disebabkan virus secara airborne di Virginia Tech dan salah satu penandatangan surat tersebut, mengatakan kepada New York Times bahwa WHO mengandalkan hasil studi di sejumlah rumah sakit yang menunjukkan hanya terdapat virus dalam jumlah kecil di udara. Itu meremehkan risiko, katanya, karena di kebanyakan gedung “tingkat aliran pergantian udara biasanya lebih rendah, sehingga memungkinan virus terkumulasi di udara.”
WHO mengatakan sejumlah prosedur medis tertentu, seperti intubasi (pemasangan selang alat bantu pernapasan pada pasien), diketahui meningkatkan penularan penyakit secara aerosol. Namun, hal itu di luar konteks ini dan buktinya masih kurang jelas. “Ini area penelitian aktif,” kata WHO.
Paul Hunter, profesor bidang kedokteran di University of East Anglia dan anggota komite pencegahan infeksi WHO, mengatakan bahwa WHO sudah berusaha seimbang dalam pedoman-pedoman yang dikeluarkannya.
“Transmisi aerosol dapat terjadi tetapi kemungkinan tidak dalam skema sebesar itu. Ini semua soal droplet,” ujarnya. “Mengendalikan penularan airborne tidak akan banyak berpengaruh pada pengendalian penyebaran Covid-19. Hal itu justru akan menimbulkan beban yang tidak perlu, terutama di negara-negara di mana mereka tidak memiliki cukup staf terlatih atau kesiapan sumber daya.”
Apabila penularan secara airborne menunjukkan sebagai faktor utama, sebagian pakar menyarankan pemakaian masker di dalam ruangan tertutup meskipun jaga jarak sudah dipraktikkan. Selain itu sejumlah aturan perlu diperketat seperti regulasi ventilasi udara dan pendingin udara, dan mungkin perlunya pemasangan lampu-lampu UV di sejumlah bangunan guna mematikan partikel-partikel yang potensial menularkan penyakit.*