WANITA hamil yang terkena polusi tingkat tinggi di jalan raya selama trimester kedua kehamilan, berada pada risiko tinggi melahirkan anak dengan paru-paru yang lemah, kata para peneliti, Senin (20/10/2014).
Dalam studi yang dilakukan cukup lama, peneliti di Barcelona meneliti 1.295 wanita hamil yang menghadiri klinik pra-kelahiran di Sabadell, Catalonia, dan di Gipuzkoa di wilayah barat laut Basque.
Mereka mengukur dua polutan lalu lintas –bensin dan nitrous dioksida– di lingkungan perumahan para wanita pada waktu yang berbeda selama kehamilan mereka.
Mereka menggunakan data ini untuk menyusun model paparan polusi untuk wanita, dan juga untuk anak-anak mereka selama tahun pertama hidup mereka.
Model penelitian mengambil perbedaan data dalam geografi, iklim, kepadatan penduduk di sepanjang tahun.
Ketika anak-anak mencapai usia empat setengah tahun, seorang perawat mengukur kapasitas paru-paru mereka dengan gadget inflasi yang disebut spirometer.
Sebanyak 620 balita diuji –banyak balita lainnya tidak dapat meniup dengan benar ke dalam perangkat.
Anak-anak perempuan yang terpapar polusi bensin yang lebih tinggi selama bulan keempat sampai keenam kehamilan ibunya adalah 22 persen lebih mungkin memiliki gangguan fungsi paru-paru dibandingkan mereka yang berasal dari daerah kurang tercemar, demikian temuan studi tersebut, dilansir Malay Mail Online, Selasa (21/10/2014).
Untuk nitrous oksida, risikonya 30 persen lebih tinggi.
Hubungan lebih kuat terhadap anak-anak berupa alergi, atau alergi juga ditemukan pada anak-anak dari kelas sosial yang lebih rendah.
Tapi tingkat paparan polusi lalu lintas pada tahun pertama kehidupan anak tidak ada bedanya untuk kekuatan paru-paru, kata penemuan tersebut.
Hasil “menunjukkan bahwa paparan polusi udara dari lalu lintas selama periode prenatal dapat berdampak negatif terhadap paru-paru yang sedang berkembang,” kata para peneliti dalam tulisannya di jurnal Thorax.
“Manfaat kesehatan substansial” dapat diperoleh dengan cara membatasi terkena polusi lalu lintas, kata mereka.
Tim peneliti yang dipimpin Eva Morales di Pusat Penelitian Epidemiologi Lingkungan di Barcelona (Creal), percaya bahwa mereka adalah pihak yang pertama memberikan pandangan jangka panjang tentang bagaimana polusi udara selama kehamilan dapat mempengaruhi paru-paru anak.
Studi itu sudah mempertimbangkan kebiasaan orang tua anak yang merokok sebelum atau selama kehamilan.
Tapi penelitian ini tidak memeriksa paparan gas, debu atau asap selama ibu hamil aktif dalam pekerjaannya. Juga tidak meneliti paparan materi partikulat, polutan lalu lintas lain yang cukup dikenal.
Dalam komentar yang bersifat independen, Seif Shaheen, seorang profesor epidemiologi pernapasan di Barts dan London School of Medicine and Dentistry, mengatakan, gambaran yang lebih jelas mungkin muncul jika tingkat polusi dipantau langsung di rumah para relawan daripada di lingkungan mereka.
Meski begitu, temuan ini harus diambil tindakan dengan sangat serius oleh para pembuat kebijakan, kata Shaheen dalam Britain’s Science Media Centre.
“Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk mengurangi polusi udara dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat, dan khususnya kesehatan paru-paru dari generasi berikutnya,” katanya.*