BADAI dengan nama wanita cenderung menyebabkan lebih banyak kematian daripada badai dengan nama pria, kata satu penelitian di AS.
Para peneliti mengatakan, saat terjadi badai dengan nama feminin, cenderung dipandang remeh. Masyarakat mungkin melakukan lebih sedikit tindakan perlindungan, yang mengakibatkan justru menimbulkan masalah besar untuk mereka.
“Masalahnya, nama badai tidak ada hubungan dengan dahsyatnya. Penetapan nama itu hanya berdasarkan penetapan yang berganti-ganti antara nama pria dan wanita,” kata pemimpin peneliti Kiju Jung, kandidat doktor pemasaran dari University of Illinois.
“Orang-orang di wilayah badai, kemudian menilai risiko berdasarkan nama badai, ini bisa berpotensi sangat berbahaya,” kata Jung, dilansir The Malaysian Times (3/6/2014).
Jung dan rekan meneliti semua badai dahsyat yang terjadi di AS dari 1950 sampai 2012, termasuk Badai Katrina (2005 dan Badai Audrey (1957) yang menimbulkan banyak korban.
Mereka menemukan, badai yang menimbulkan kerusakan dengan nama wanita lebih banyak menimbulkan korban tewas.
Studi tersebut menyebutkan, jika mengubah nama badai dari “Charley” (pria) ke “Eloise” (wanita), diperkirakan bisa menimbulkan korban tiga kali lipat lebih banyak.
“Dalam menilai intensitas badai, orang tampaknya menerapkan keyakinan tentang bagaimana pria dan wanita berperilaku,” kata Sharon Shavitt, profesor pemasaran di Illinois dan pendamping penelitian ini.
“Penyebutan nama badai, khususnya nama yang sangat feminin seperti Belle atau Cindy, bahkan disangka lebih lembut dan kurang menimbulkan kerusakan,” katanya.
Dalam tindak lanjut penelitian, para peneliti juga meneliti bagaimana masyarakat menilainya terhadap nama-nama badai yang dikaitkan dengan nama gender.
Mereka menemukan, orang yang berada di jalur badai “Alexandra” (atau “Christina dan “Victoria”) menilainya sebagai kurang berisiko dibandingkan dengan mereka yang berada di jalur badai “Alexander” (atau “Christopher” dan “Victor”).
“Ini penemuan sangat penting. Bukti positif, faktor-faktor budaya mengarahkan kepada tindakan kita,” kata Hazel Rose Markus, profesor dalam ilmu perilaku di Stanford University yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
Badai menimbulkan korban lebih dari 200 orang di AS setiap tahun dan badai yang parah bisa menyebabkan korban mencapai ribuan.
Badai-badai di AS sebelumnya selalu diberi nama wanita, tetapi sejak tahun 1970-an diberi selang-seling nama wanita dan pria terkait dengan kesadaran seksisme pada masyarakat AS.
Penelitian tersebut menemukan adanya konsekuensi yang disayangkan dan tidak diinginkan atas penamaan gender badai yang dilakukan para pembuat kebijakan, ahli meteorologi, pemberitaan media, dan masyarakat umum, mengenai informasi badai dan kesiapsiagaan.
Para peneliti mengatakan, penelitian ini merupakan yang pertama, yang menunjukkan stereotip gender dapat memiliki konsekuensi mematikan, yang biasanya dalam kehidupan sehari-hari dalam mengambil keputusan dan penilaian bisa bermaksud baik.
Studi ini diterbitkan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences di AS.*