Hidayatullah.com– Istilah Internet of Things alias IoT semakin mencuat di era industri 4.0 saat. Tapi, makhluk apaan kah IoT, masih banyak yang belum mengenal betul.
Menurut IoT Innovation Program Manager PT XL Axiata Tbk, Novi Arian, ST.MSC, IoT pada dasarnya diawali oleh perkembangan internet yang kemudian masuk dalam wilayah-wilayah kebutuhan manusia dalam banyak hal. Namun di Indonesia belum masif penerapannya.
Hal itu ia sampaikan pada diskusi Majelis Reboan DPP Hidayatullah yang mengangkat tema Peluang dan Tantangan IoT (Internet of Things) dalam Pengembangan Ekonomi Umat di Gedung Pusat Dakwah Hidayatullah, Jakarta, Rabu (08/01/2020).
“Sebenarnya omongan industri 4.0 itu sudah sering kita dengar, tapi orang enggak tahu apa sih. Ilustrasinya cukup banyak, bagaimana orang bicara blockchain tapi belum bisa menjelaskan secara clear, termasuk artificial intelligent,” terangnya mengawali paparannya sebagai narasumber.
Disebutkan, secara angka, penduduk Indonesia sejumlah 132 juta jiwa telah memiliki akses ke internet.
“Artinya sudah lebih dari separuh terkoneksi, dimana mereka tersambung ke informasi luas, termasuk temuan-temuan baru, sehingga sangat kaya informasi. Dan, 130 juta jiwa terkoneksi ke media sosial dengan akses terbesar melalui smartphone sebesar 177,9 juta,” imbuhnya.
Jika memerhatikan data lebih lanjut, menurut alumnus UI itu, internet telah menghubungkan manusia tidak saja komunikasi tapi juga transaksi keuangan.
“Jika umat hadir di sini, misalnya jualan online atau ekonomi secara umum, peluangnya masih cukup besar,” tegasnya.
Tantangan umat saat ini adalah bagaimana bisa dengan segera melakukan akselerasi menguasai apa itu yang ada dalam industri 4.0.
“Industri 4.0 merupakan gabungan dari beragam teknologi. Positif sekaligus ada dampak harus dihadapi, seperti banyak pengangguran, banyak pekerjaan yang hilang, tapi ada muncul pekerjaan baru,” ulasnya.
Tantangan itu secara lebih konkret menghendaki umat untuk lebih kolaboratif dan total fokus.
“Di era 4.0 masuk era Digital Technopreneur, jadi bukan lagi entrepreneur atau techno preneur. Tetapi digital technopreneur yang artinya orang harus mampu menggunakan teknologi online, yang butuh kreativitas, teknologi informasi, marketing, analisis dan lain sebagainya. Jadi memang butuh kehati-hatian dan tidak bisa sendirian, maka kini disebut era kolaborasi, duduk bareng,” urainya.
Dalam praktiknya, IoT kini sudah masuk ke wilayah peternakan, seperti ayam, kambing, sapi, bahkan hidroponik, dimana teknologi ini mampu meningkatkan ketelitian dalam kebutuhan proses yang berkualitas tanpa harus lagi menggunakan tenaga manusia.
“Jika ini disadari dengan baik, maka umat Islam akan unggul dan dapat menguasai ekonomi di era 4.0, setidaknya tidak tertinggal jauh dari perkembangan yang terus melaju kencang,” pungkasnya.* Imam Nawawi