Ada banyak hikmah dalam pelaksanaan ibadah haji, thawaf, sa’I, wukuf dan berkumpul di Arafah, semua melambangkan ketaatan dan bagaimana harus berserah diri kepada Allah Swt
Hidayatullah.com | HAJI adalah rukun Islam yang kelima. Setiap muslim diwajibkan menunaikan haji hanya sekali seumur hidup bagi yang mampu, termasuk biaya pengeluaran, kesehatan dan keamanan.
Ilmu merupakan landasan penting dalam menunaikan ibadah haji. Jamaah harus mempelajari, menghayati dan membekali diri dengan ilmu yang berkaitan dengannya mulai dari rukun, syarat, sunat dan kewajiban haji serta menjalankan pantangan-pantangan selama haji.
Dengan persiapan yang matang – ruhani dan jasmani serta bekal ilmu yang mendalam – jamaah mampu menunaikan ibadah haji dengan penuh keyakinan dan kesempurnaan. Karena ini merupakan kesempatan sekali seumur hidup, maka haji harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin sesuai petunjuk dan sunnah Rasulullah ﷺ.
Dengan demikian, ibadah yang dilakukan hanya semata karena Allah Sw dan dilakukan sesuai apa yang diperintahkan Baginda Nabi ﷺ insya Allah akan mencapai gelar mabrur yang sarat pahala.
Rasulullah ﷺ bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: العُمْرَةُ إِلَى العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anh berkata, “Sesungguhnya Rasûlullâh shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “Umrah satu ke Umrah lainnya adalah penebus dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada pahala baginya selain Surga.” (HR Bukhari dan Muslim).
Haji adalah wasiat seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, Sang Pencipta. Perintah haji wajib dilakukan pada tahun ke-6 Hijrah. Ini mengikuti aturan ibadah sebelumnya seperti sholat, puasa dan haji.
Bekal yang paling utama adalah taqwa sebagaimana yang tertuang dalam firman Allah Swt:
اَلۡحَجُّ اَشۡهُرٌ مَّعۡلُوۡمٰتٌ ۚ فَمَنۡ فَرَضَ فِيۡهِنَّ الۡحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوۡقَۙ وَلَا جِدَالَ فِى الۡحَجِّ ؕ وَمَا تَفۡعَلُوۡا مِنۡ خَيۡرٍ يَّعۡلَمۡهُ اللّٰهُ ؕ وَتَزَوَّدُوۡا فَاِنَّ خَيۡرَ الزَّادِ التَّقۡوٰى ۚ وَاتَّقُوۡنِ يٰٓاُولِى الۡاَلۡبَابِ
“(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!.” (Surat Al-Baqarah ayat 197).
Haji bukan sekedar ritual, tapi sarat dengan nilai sejarah yang penting. Mulai mengenakan pakaian ihram yang melambangkan asketisme sebagai proses melatih diri untuk kembali ke fitrah aslinya yang suci dan suci.
Hal ini melambangkan pertapaan manusia sebagai latihan untuk kembali ke fitrah aslinya, yaitu sehat dan bersih. Mengenakan ihram berarti manusia itu sama di mata Allah, yang membedakannya adalah ketinggian takwanya.
Pada hakekatnya wukuf di Arafah, rasa sahdu dan haru yang muncul seharusnya menyadarkan dan meyakinkan kita bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara. Akhirnya kita akan dikumpulkan di Padang Mahsyar dan dibangkitkan di akhirat nanti.
Kehadiran kita di Arafah diiringi dengan doa, takbir, tahmid, tasbih mengharap dan hanya mengagungkan kebesaran Allah saja. Kita juga diingatkan bahwa setiap amal ibadah yang dilakukan selama di dunia ini akan dimintai pertanggungjawaban dan dinilai secara adil.
Tawaf dan sa’I yang dilakukan secara bersamaan dalam keadaan khusyuk juga semata hanya mengagungkan kemuliaan Allah. Setiap bacaan yang dibacakan mengandung kalimat-kalimat yang mensucikan dan memuji Allah saja.
Ini juga berarti bahwa seorang mukmin harus menjalani hidup dengan perjuangan dan pengorbanan. Peristiwa ini menimbulkan rasa keseriusan demi kehati-hatian dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi kekangan-Nya.
Tujuan utamanya adalah untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan yang diridhai Allah di dunia dan akhirat.
Selain itu, selama bulan-bulan haji, umat Islam di seluruh dunia mengadakan pertemuan tahunan berskala besar. Mereka berasal dari berbagai penjuru negara yang terdiri dari berbagai suku, ras dan warna kulit.
Semua dipersatukan di bawah Ka’bah. Maka Ka’bah menjadi simbol atau lambang persatuan dan kesatuan umat Islam.
Pada kesempatan yang sangat berharga ini, kebutuhan untuk mempererat jaringan silaturahmi guna memajukan dan mengembangkan potensi umat Islam dalam rangka perubahan pola dunia ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan sebagainya yang tidak menentu perlu dimanfaatkan secara maksimal.
Melalui haji, kita diilhami untuk menjadi orang yang berwawasan jauh ke depan – yang bisa menambah ilmu dan pengalaman dalam mengejar ‘khairah ummah’.
Ibadah haji juga mendidik kita menjadi orang yang tangguh dalam berbagai bidang seperti ilmu, akhlak, harta dan lain sebagainya.
Melalui perkenalan dan silaturahmi yang berkesinambungan, memupuk rasa ukhuwah Islamiyah yang mendalam yang saling menghargai, menghargai dan menguntungkan.
Oleh karena itu, haji tidak hanya bersifat ritualistik dan spiritual, tetapi menjangkau lebih jauh dari itu untuk memakmurkan hidup ini dengan menunaikan kewajiban sebagai khalifah di muka bumi.
Dengan ilmu yang dimiliki dalam menjalankan suatu ibadah, khususnya memperoleh haji yang mabrur, dapat membentuk kepribadian unggul yang lebih manusiawi.
Mempererat hubungan kita dengan Allah, mempererat persaudaraan, dan memupuk semangat kemanusiaan agar hidup ini lebih bermakna dengan nilai-nilai murni yang terkandung dalam Al-Quran dan Al-Sunnah untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.*