SETIAP manusia mendamba kebahagiaan. Dan, untuk itu (kebahagiaan) Allah menurunkan para Nabi dan Rasul agar dijadikan teladan lengkap dengan Al-Qur’an sebagai panduan.
Namun, sekalipun manusia bisa memahami dengan baik bahwa sebuah motor merek A tidak bisa diperbaiki kecuali sebagaimana panduan dari produsen motor merek A, kebanyakan manusia gagal memahami bahwa tidak ada jalan untuk menggapai bahagia, melainkan sebagaimana panduan dari yang Maha Mencipta.
Semua itu terjadi karena manusia sebagaimana diungkapkan pepatah Arab, “Kebanyakan manusia adalah anak dari kemauannya.” Cenderung memilih memuaskan nafsu daripada mendapatkan ketenangan. Condong memperturutkan ambisi daripada hati nurani. Dan, lebih memilih kesenangan daripada keimanan.
Padahal, andaikata apa yang dilakukan para Nabi dan Rasul tidak membahagiakan, tentu mereka akan menjadi yang pertama meninggalkan risalah Tuhan. Faktanya tidak demikian, para utusan itu justru sangat bahagia, optimis dan terobsesi untuk menyelamatkan kehidupan umat manusia.
Lantas apa dan bagaimana cara yang mesti ditempuh agar kita bisa mencapai kebahagiaan sepanjang hari dalam kehidupan dunia ini?
Pertama, shalat.
Hingga kini, sebagian besar dari umat ini masih banyak yang enjoy meninggalkan kebutuhan hakikinya ini (shalat). Padahal, Nabi tidak pernah main-main dalam masalah shalat. Satu di antara sebab mengapa tidak sedikit orang meninggalkan shalat tidak lain karena anggapan mereka bahwa shalat itu beban, tidak enak dan paling nyata lemah iman, sehingga malas mendirikan shalat.
Pada hakikatnya shalat itu adalah jalan terbaik setiap Muslim sampai pada ketenangan dan kebahagiaan.
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Tegakkan shalat untuk mengingat-Ku.“ (QS: Thahaa [20]: 14).
الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ketahuilah, dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.” (QS: Ar-Ra’du [13] : 28).
Hal ini menunjukkan bahwa shalat itu penting dan amat dibutuhkan oleh hati setiap Muslim. Pantas Rasulullah amat mendorong umatnya untuk memperhatikan tiang agama ini (shalat).
Adalah ilustrasi menarik ketika di media sosial ada sebuah motivasi yang mengatakan bahwa saat sendi-sendi tubuh ini lelah, maka Allah memanggil kita dengan janji atau seruan yang sangat menggugah,
“Hayya alash shalat, Hayya alal falah.” Yang Artinya, “Mari dirikan shalat, mari menuju kemenangan.”
Dengan kata lain, siapa meninggalkan shalat ia bukan saja merobohkan agama, tetapi juga terjerembab dalam kekalahan, kegelisahan, dan kesengsaraan.
Kemudian, logika sederhananya, kalau dipanggil kekasih hati sangat luar biasa senang, mengapa tidak demikian saat yang memanggil hati ini adalah pencipta diri sendiri? Shalat adalah paggilan Allah kepada setiap insan beriman untuk mengadu, bersandar, memohon dan berharap sepenuh hati hanya kepada-Nya.
Mulai sekarang berusahalah, kemudian konsistenlah dalam mendirikan shalat. Sebab, jika Alah menempatkan shalat sebagai amal pertama yang akan dihisab, berarti tida akan ada jaminan kebahagiaan sekali bila hingga kini, hati masih malas mendirikan shalat secara berjama’ah dan tepat waktu.
Dan, yang tidak kalah menarik adalah, shalat itu bisa menjauhkan hati ini dari berbuat keji dan munkar.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al ‘Ankabut [29]: 45).
Dengan demikian, jika benar-benar mendamba kebahagiaan hidup sehari-hari, jangan sekali-kali nyaman meninggalkan shalat meski hanya satu kali. Sebab, sekali ditinggal, hati manusia tidak akan pernah bebas dari gempuran setan yang mendorong hati untuk berani melakukan perbuatan-perbuatan keji dan munkar.
Kedua, membaca Al-Qur’an
Al-Qur’an itu bukan sekadar bacaan, tetapi juga obat, penenang dan solusi jika benar-benar diresapi, dimaknai dan diamalkan. Misalnya kala hati terserang futur (malas) maka saat hati kita membaca dengan sebaik-baiknya ayat berikut ini;
ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ ٢
“(Allah-lah) yang menciptakan kematian dan kehidupan supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalannya dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” [QS. Al-Mulk [68]: 2).
Membaca ayat tersebut tentu akan mendorong hati untuk terus (meminjam istilah di lapangan hijau) on fire dalam mengisi hari demi hari, sehingga tidak sempat rasa malas, rasa kesal terlalu lama bersemayam di dalam hati. Bak penyerang di sebuah kesebelasan, selalu ingin mencetak gol, selalu ada target kebaikan yang ingin diraih dari waktu ke waktu sepanjang hari.
Oleh karena itu, menghadirkan hati kala membaca Al-Qur’an akan sangat membantu hati kita merasakan kenikmatan dan kebahagiaan luar biasa, sehingga senantiasa ada rasa rindu, rasa takjub dan rasa bersalah jika tidak membaca Al-Qur’an dengan sepenuh hati.
Bahkan, dalam beberapa kesempatan, jika memang memungkinkan meminta sahabat yang baik bacaan Qur’annya untuk kita itu akan jauh mengesankan, karena Nabi tidak jarang juga meminta Ibn Mas’ud membacakan Al-Qur’an untuk beliau.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah kepadaku Al-Qur’an.” Ibnu Mas’ud berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah saya akan membacakannya kepadamu sementara ia diturunkan kepadamu?” Beliau menjawab, “Aku senang mendengarnya dari orang selain diriku.” Maka aku pun membacakan surat an-Nisaa’, ketika sampai pada ayat [yang artinya], “Bagaimanakah jika [pada hari kiamat nanti] Kami datangkan dari setiap umat seorang saksi, dan Kami datangkan engkau sebagai saksi atas mereka” (QS. an-Nisaa’: 41). Aku angkat kepalaku, atau ada seseorang dari samping yang memegangku sehingga aku pun mengangkat kepalaku, ternyata aku melihat air mata beliau mengalir.” (HR. Bukhari Muslim).
Ketiga, sedekah
Sedekah ini manfaatnya luar biasa. Mari perhatikan ayat Allah ini.
وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَلِأَنفُسِكُمۡۚ وَمَا تُنفِقُونَ إِلَّا ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ ٱللَّهِۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ يُوَفَّ إِلَيۡكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تُظۡلَمُونَ ٢٧٢
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri, dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridoan Allah, dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup, sedangkan kamu sedikit pun tidak akan dirugikan.” [QS Al-Baqarah [2]: 272].
Setidaknya ada beberapa manfaat langsung yang tentu akan membahagiakan hati kala diamalkan. Pertama, pahala untuk diri sendiri langsung dari Allah. Kedua, diberikan pahala yang cukup. Ketiga, kita akan mendapat keuntungan, kemenangan dan kebahabagiaan. Karena sedekah tidak akan merugikan sama sekali.
Dengan demikian, mari berlatih untuk senantiasa bersedekah. Karena sedekah tidak semata soal pahala, tetapi juga ketenangan jiwa. Sebagaimana ketika pohon apel misalnya berbuah pasti menyenangkan hati. Seperti itulah sedekah menjadi buah dari keimanan. Semakin banyak dan ikhlas dalam sedekah (buah) semakin kuat keimanan dalam hati insha Allah.
Semoga tiga amalan ini dapat kita biasakan dalam keseharian kita, sehingga kita tidak sempat menjadi pribadi yang sering murung, lemah semangat, lemas dan tidak bersemangat dalam menguatkan dan menyuburkan iman yang akan menjadi penyelamat kehidupan dunia-akhirat kita sendiri. Wallahu a’lam.*