Hidayatullah.com– Akibat dari terbitnya Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor 6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), berbagai macam dampak negatif bisa muncul.
Menurut Peneliti Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) Mustofa B. Nahrawardaya setidaknya ada delapan dampak karena terbitnya SE tersebut yaitu pertama mempersempit ruang kritis masyarakat untuk menagih janji pemerintah.
Pertama, mempersulit pemerintah mendapat masukan atas kegagalan program.
“Akibatnya mempersulit pemerintah mendapat masukan dari masyarakat terhadap kegagalan dalam memenuhi kewajiban untuk menunaikan janjinya,” kata Mustofa kepada hidayatullah.com, Kamis (05/11/2015) siang.
Kedua, menutup informasi adanya gejolak masyarakat terkait kegagalan pemerintah. Sehingga, pemerintah hanya mendapatkan input yang sifatnya birokrasi saja.
“Jadi bukan dari masyarakat, tetapi input laporan kegagalan pemerintah itu hanya dari catatan-catatan PNS, atau orang-orang yang dibayar sehingga tidak equal,” imbuh Mustofa.
Ketiga, akan memperkuat propaganda sepihak dari pemerintah terhadap rakyat sehingga cenderung banyak informasi yang tidak berimbang dan akhirnya informasi hanya didapatkan dari pemerintah karena masyarakat tidak berani menyebarkan sebuah informasi.
Keempat, berpotensi membentuk, menyimpan dan memaksa konflik yang ada di masyarakat sehigga berpotensi membentuk konflik yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Dan kemudian SE akan tersebut menjadi kasak kusuk di masyarakat.
Kelima, informasi hanya menjadi penghibur bagi penguasa sehingga solusi dalam menangani masalah itu tidak akan pernah tepat. Jadi, hanya jadi penghibur saja, di mana media massa hanya akan memuji-muji saja dalam pemberitaan begitu juga media sosial karena adanya SE tersebut.
“Semua akan menganggap berhasil sehingga pemerintah tidak akan pernah tepat mengeluarkan sebuah solusi karena apa yang dilakukan sifatnya hanya sebuah penghiburan saja,” ujar Mustofa.
Keenam, akan membangun kokohnya sebuah arogansi kekuasaan karena tidak terkendali, bahkan bahayanya dapat membahayakan demokrasi karena cenderung bersifat otoriter.
Ketujuh, menjauhkan rakyat dari aparat maupun pemerintah yang berkuasa, sehingga menyebabkan permusuhan antara penguasa dengan yang dikuasai yaitu masyarakat.
“Kalau SE ini diterbitkan dan tidak ada penjelasan secara jelas maka aka nada permusuhan baru antara pemerintah dengan masyarakat,” kata Mustofa.
Kedelapan, kata Mustofa dampak yang paling berbahaya akan menimbulkan kebencian baru antara masyarakat kepada pemerintah atau sebaliknya. Akibatnya tidak akan pernah terwujud kehidupan yang sehat dan nyaman.
“Masyarakat mencurigai pemerintah, pemerintah mencurigai masyarakat dan seterusnya. Karena itu, Polri dan presiden harus menjelaskan yang dimaksud dalam SE itu ujaran atau dampaknya,” demikian tandasnya.*