MENGATAKAN diri beriman tentu tidak sulit. Namun, membuktikannya butuh perjuangan sekaligus pengorbanan.
Ketika Nabi Ya’kub kehilangan putranya Yusuf, boleh jadi rasionya mengatakan, kemana Yusuf hendak dicari. Namun, keyakinan kuat bahwa Allah Maha Kuasa membuatnya mampu tegar dan bersabar. Menariknya itu terjadi justru kala beliau melihat dengan jelas bahwa putra-putranya yang zalim kepada Yusuf begitu ringan membohongi dirinya.
وَجَآؤُوا عَلَى قَمِيصِهِ بِدَمٍ كَذِبٍ قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنفُسُكُمْ أَمْراً فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ
“Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: ‘Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS. Yusuf [12]: 18).
Dalam situasi tersebut, sungguh berat apa yang menimpa Nabi Ya’kub. Sekian lama beliau menjaga Yusuf, namun akhirnya putra kesayangannya itu harus hilang dari pelukannya karena tipu daya saudara-saudara Yusuf yang dipenuhi kedengkian dan berani membohonginya.
Akan tetapi, lihatlah pilihan sikap yang diambil oleh Nabi Ya’kub. “Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu, maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku).”
Terhadap ucapan tersebut, Ibn Katsir menjelaskan bahwa Nabi Ya’kub bertekad untuk bersbar dengan sebaik-baik kesabaran dalam menghadapi masalah yang disekongkolkan putra-putranya yang zalim. Dirinya berupaya yakin bahwa Allah pasti memberikan pertolongan.
Ungkapan Nabi Ya’kub menunjukkan hati yang menang, hati yang diliputi keimanan. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Iman seseorang tidak akan sempurna sehingga hatinya telah lurus (istiqomah). Dan hatinya tidak akan lurus sehingga lisannya pun lurus.” (HR. Thabrani).
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita menghadapi situasi-situasi sulit. Di sinilah peperangan dalam hati, antara iman dan hawa nafsu harus dimenangkan oleh keimanan.
Sebagai contoh sederhana, saat mendengar panggilan sholat melalui adzan di masjid, pertarungan akan segera terjadi. Iman mendorong diri untuk segera bangkit dan menuju masjid. Hawa nafsu sebaliknya, tunda dulu bahkan kalau bisa tidak perlu sholat. Masih banyak pekerjaan dan masih bisa sholat kapan-kapan.
Pertarungan sedikit lebih sengit terjadi di dalam hati kala diri sudah menetapkan komitmen untuk taat di jalan Allah.
Seperti dialami oleh seorang pengusaha yang bertutur kepada penulis. Dirinya mulai paham bahwa riba itu buruk dan nista. Seketika ia bertekad untuk meninggalkan segala macam rupa riba. Akibatnya jelas, teman-teman sesama pengusaha mempertanyakan keputusannya, bahkan sebagian memperolok-olokkannya. Dan, pada saat yang sama, akses untuk mendapatkan modal berupa dana, menjadi sangat terbatas.
Dalam situasi sulit tersebut, bukan tidak mungkin pertarungan antara iman dan hawa nafsu berkecamuk begitu hebat. Dan, mereka yang yakin bahwa taat kepada Allah akan mendatangkan keberkahan hidup, ujian yang pasti berakhir dari sisi keduniawian itu pasti siap ia lalui dengan baik.
Keimanan memantabkan pilihan hati bahwa mengikuti atau kalah dari hawa nafsu adalah seburuk-buruk kekalahan. Sebagaimana syair menyebutkan;
Jika orang selalu menuruti hawa nafsu
Maka pada kebathilan ia akan menuju
Pada dosa dan cela-lah ia akan tiba
Hanya karena kesenangan yang mudah sirna
Demikian pula bagi kaum wanita yang memutuskan diri untuk hijrah dengan kembali menutup aurat (berhijab). Spontan orang-orang yang selama ini mengelilinginya, menemani makan dan mungkin juga punya hubungan sangat dekat langsung berubah sikap dengan pilihan diri berhijab.
Sebagian menertawakan, sebagian seolah menasehati namun justru melemahkan tekad. “Yang penting itu hati yang berhijab.”
Bahkan belakangan, karena ramai di internet berita hoax putri Raja Salman tidak berhijab, seolah-olah semakin menguatkan argumen bahwa Muslimah tidak harus berhijab, yang penting sholat dan hatinya baik.
Padahal, hijab adalah perintah dan karena itu, hijab bukan soal pilihan, tetapi ketaatan. Mereka yang menyadari hal ini, akan teguh dengan hijabnya, meski manusia di sekelilingnya selalu salah paham dengan perjuangannya untuk taat kepada-Nya dengan berhijab.
Demikianlah bila pertarungan dalam hati dimenangkan oleh iman. Boleh jadi akan muncul kalimat dalam dirinya yang merupakan buah dari pemahaman mendalam akan hakikat hijab, “Berhijab adalah langkah awal memperbaiki diri dan menata hati untuk lebih taat kepada Ilahi.”
Untuk itu, mari kondisikan hati kita untuk selalu diisi oleh keimanan, sehingga pertarungan di dalam hati tidak pernah dimenangkan oleh hawa nafsu.
“Adapun orang-orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya). Adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at [79]: 37 – 41).
Semoga Allah senantiasa membimbing hati kita pada keimanan, sehingga kita bisa meraih kemenangan sejati berupa ridha Ilahi Rabbi dari kini (dunia) hingga nanti (akhirat). Wallahu a’lam.*