Oleh: Paridah Abas
Ketiga, RINGAN TANGAN
BERKACA kepada akhlaq Rasulullah shallallahu alaihi wassalam terhadap isteri-isterinya.Di antara yang telah dimuat kemarin, selain beriman dan bertaqwa, ciri suami yang sholeh adalah PERHATIAN dan PENYABAR. Selain itu masih ada ciri yang lain, yakni RINGAN TANGAN.
Ringan tangan, maksudnya suka membantu. Suami yang ringan tangan, ia kerap membantu istrinya. Inilah salah satu pria idaman para isteri. Maknanya adalah, suami yang tidak segan membantu urusan-urusan rumah-tangga dan tidak takut dicela sebagai suami yang takutkan isteri. Bukankah Rasulullah juga menghulurkan tangan bagi meringankan beban isterinya?
At-Tabari meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wassalam membantu kerja-kerja rumah, membantu isterinya seperti memotong daging, menyapu rumah malah membantu pembantunya melakukan tugas. Dalam riwayat lain dinyatakan bahwa baginda menjahit pakaiannya dan menampal kasutnya.
Al-Aswad bin Yazid pula berkata, aku bertanya kepada Aisyah tentang apakah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wassalam di rumahnya? Aisyah menjawab, “Beliau membuat tugas keluarganya, yaitu membantu kerja keluarganya. Apabila masuk waktu shalat, beliau pun keluar untuk shalat.” [Hadith riwayat Bukhari]
Banyak para suami kurang menyadari, bahwa bahwa pekerjaan istri di rumah itu tidak ada habisnya dan selalu diburu deadline. Ditambah lagi bila sudah memiliki cahaya mata atau cahaya hati, yang berarti ada penambahan tanggungjawab. Jadi, selain pekerjaan rumah, isteri juga mengharap agar dibantu dalam pengurusan anak. Memandikan, mengasuh, menghibur, mendidik adalah antara tugas-tugas yang dapat dilakukan untuk meringankan beban isteri.
Pepatah melayu menyatakan, “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” Begitulah seyogyanya pasangan suami-isteri. Tidak ada pembagian kerja berdasarkan gender di dalam rumah. Hikmahnya, kerja menjadi ringan dan segera dapat diselesaikan yang bermakna akan lebih banyak waktu untuk diluangkan bersama. Hikmah yang lebih besar, cinta isteri semakin subur karena bagi seorang isteri, kesanggupan suami membantu adalah salah satu manifestasi cinta. Secara tersirat ia menggambarkan betapa suami memahami isterinya, beban dan tanggungjawabnya.
Kempat, TIDAK EMOSI
Antara tanda sikap bijaksana dalah tidak mudah terpancing emosi, marah utamanya. Ada banyak hal yang dilakukan atau secara tidak sengaja dilakukan oleh isteri yang berpotensi membangkitkan kemarahan suami, membuat suami bersedih atau paling tidak, menyinggung hati suami. Sikap isteri yang berubah-ubah seperti lalai, lupa, malas, marah, mengada-ngada, melankolis berhari-hari, adalah hal-hal biasa, namun adakalanya terlihat luarbiasa dan membuat seorang suami merasa tak sabar.
Mencari tahu dan mencari sebab kenapa hal-hal tersebut terjadi adalah cara menahan diri yang baik. Wanita dilahirkan sebagai manusia, dengan perasaan, saraf dan hormon, sama seperti lelaki. Mereka tidak terlahir dengan manual program atau remote control. Sering pula mereka tidak sedar telah menyakiti hati suami. Dan sering pula kesalahan yang dikatakan dilakukannya sebenarnya tidak pernah dia lakukan.
Mari kita ambil pelajaran dari kisah fitnah yang menimpa Aisyah radhiyallahu anha dan Shafwan bin al-Mu’attal radhiyallahu anhu sepulangnya mereka dari ekspedisi penaklukan Bani Mushtaliq. Bagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersikap dan bereaksi terhadap berita fitnah yang sampai padanya. Meski teriris hatinya, baginda tetap tenang dan memilih mengadu kepada Rabb-nya, meminta pendapat dan nasihat dari sahabat-sahabat yang terpercaya.
Musibah fitnah ini terjadi tatkala suatu ketika dalam suatu perjalanan kembali dari ekspedisi penaklukan Bani Musthaliq, ‘Aisyah terpisah tanpa sengaja dari rombongan karena mencari kalungnya yang hilang dan kemudian diantarkan pulang oleh Shafwan yang juga tertinggal dari rombongan karena ada suatu keperluan.
Kemudian ‘Aisyah naik ke untanya dan dikawal oleh Shafwan menyusul rombongan Rasullullah SAW dan para shahabat, akan tetapi rombongan tidak tersusul dan akhirnya mereka sampai di Madinah.
Peristiwa fitnah terjadi tatkala ada hasutan dari golongan Yahudi dan munafik bahwa telah ‘terjadi apa-apa’ antara ‘Aisyah dan sahabat Shafwan.
Masalah semakin pelik karena sempat terjadi perpecahan di antara kaum Muslimin yang pro dan kontra atas isu tersebut. Sikap Nabi juga berubah terhadap ‘Aisyah, beliau menyuruh ‘Aisyah untuk segera bertaubat. Sementara ‘Aisyah tidak mau bertaubat karena merasa tidak pernah melakukan dosa yang dituduhkan kepadanya, ia hanya menangis dan berdoa kepada Allah agar menunjukkan yang sebenarnya terjadi. Kemudian Allah menurunkan ayat yang menunjukkan kepada kaum Muslimin bahwa Rasulullah adalah orang yang paling baik maka pastilah wanita yang baik pula yang menjadi istri beliau, yaitu ‘Aisyah r.a.
Dari sinilah Allah kemudian menurunkan Surat An-Nuur: 26.
Fitnah yang menimpa Aisyah boleh kita kategorikan sebagai mimpi ngeri dan kasys berat bagi seorang isteri. Rrumah yang tak sempat ditata rapi, makan malam yang lambat dimasak, anak yang rewel, pakaian yang tak terbasuh dan seribu kecacatan lain hanyalah kasus kecil yang dapat dibicarakan dengan baik dan ditegur dengan sopan. Namun saya percaya, setiap isteri yang merupakan wanita sholehah tidak akan membiarkan hal-hal demikian terjadi di dalam rumahtangga mereka. Kalau pun ada, pastilah ia disebabkan hal-hal yang tidak disengajakan dan tak dapat pula dielakkan.
Bukankah Aisyah juga pernah tertidur waktu menjemur gandum sehingga gandumnya dimakan burung? Dan pernah menyedekahkan semua uang yang dia miliki kepada fakir miskin dan tidak menyisakan sedikitpun untuk sekadar membeli makanan ringan?
Saya belum pernah membaca atau terbaca Rasulullah shallallahu alaihi wassalam memarahinya atas sebab-sebab itu.
Mengenali isteri dan memahami perwatakannya akan menbantu dalam menentukan sikap, kerana untuk tidak mudah emosi, sebenarnya sangat berkait erat dengan husnudzhon dan kesabaran dalam mendapatkan kebenaran.
Kelima, SOPAN dan BERADAB
Bersopan santun terhadap orang lain itu sangat mudah, terutama apabila orang tersebut darjatnya lebih tinggi; lebih alim, lebih amal, lebih dermawan, lebih berpengalaman….dan mungkin lebih kaya, lebih tinggi jawatannya , lebih besar pengaruh dan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Tetapi, berhadapan dengan seorang isteri, lain lagi ceritanya.
Dengan predikat sebagai Ketua Rumahtangga, seorang suami diharap dapat berlaku sopan terhadap isteri yang merupakan timbalannya, orang yang melakukan hampir segalanya untuknya, hidupnya dan anak-anaknya. Bukan hanya isteri yang berpendidikan tinggi dan berjawatan tinggi yang mendapatkan hak diperlakukan dengan sopan, malah semua isteri, tanpa mengira tahap pendidikan, latar belakang soaial, asal usul keluarga dan sejarah silamnya.
Sopan meliputi penggunaan bahasa, cara bergaul dan cara hidup. Ucapan ‘tolong’, ‘terima kasih’ selalu digunakan walaupun untuk hal-hal kecil. Makan dengan beradab walau hanya di depan isteri, memakai pakaian yang menyenangkan mata yang memandang (ini juga bermakna tidak makan dalam keadaan tidak berbaju), menegur dan marah dengan suara yang rendah, meminta izin bila berurusan dengan barang-barang kepunyaan isteri dan banyak lagi hal-hal lain yang kalau kita ringkaskan, sebenarnya inilah apa yang apa yang kita namakan ‘sunnah Rasul’. Jadi maksud ‘sunnah Rasul” tidaklah hanya masalah poligami saja.*
Penulis adalah seorang pendidik dan ibu dari enam orang anak
/Seri Pertama/