ALLAH Subhanahu wa Ta’ala memuji keluarga Fir’aun yang beriman, sekaligus mengabadikan munajat mereka kepada-Nya, sembari menentang keras kaumnya sendiri.
“Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (Ghafir: 44).
Nabi Shalallaahu ‘Alahi Wasallam bersabda kepada dua orang, “Serahkan urusan kalian berdua kepada Allah Azza wa jalla, agar kalian merasa tenang.”
Amir bin Abdullah berkata kepada saudara perempuannya, “Serahkan urusanmu kepada Allah, agar kau merasa tenang.”
Berserah diri kepada Allah merupakan masalah penting. Orang yang dianugerahi sifat dan sikap ini tidak akan merasa bingung menjalani kehidupan, tidak takut kepada manusia, atau berhasrat mendapatkan harta mereka, serta tidak peduli dengan pandangan orang lain terhadap kebajikannya. Semua ini akan membuat hati tenang, sehingga punya waktu luas guna menaati Tuhan, sebagaimana dikukuhkan Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam melalui sabdanya di atas.
Berserah diri berpautan dengan niat, dan tidak membebani hati dan badan. Tapi ketenangan yang didapatkan bisa dirasakan hati dan badan. Orang yang berserah diri kepada Allah tidak akan merasa gundah, gelisah, dan tidak takjub memandang dirinya sendiri.
Jika pengagum dunia yang berserah diri kepada orang yang disegani saja, jiwa dan raganya bisa tenang, serta kegundahan, kegelisahan, keresahan, dan kesedihannya berkurang. Lantas bagaimana dengan orang yang berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla, Maharaja paling agung yang kehendak dan keinginan-Nya pasti terjadi, sanggup melakukan apa saja, dan tak ada sesuatu apa pun yang luput dari jangkauan-Nya?
Atas dasar itulah, Allah menyuruh manusia berserah diri kepada-Nya. Dia menjamin akan melindungi orang yang berserah diri dari sesuatu yang dikhawatirkannya, dan melancarkan segala urusan yang dipasrahkan kepada-Nya.
Berserah diri adalah bagian dari tawakal yang murni karena percaya dan menyadari kehendak-Nya pasti terlaksana, dan menginsafi besarnya kasih sayang dan kemurahan-Nya. Berserah diri adalah menyandarkan hati kepada Allah dalam semua urusan yang ditakutkan atau diharapkan. Atau urusan dunia dan akhirat yang diperlukan.
Dalam hal ini, manusia terbagi dua kelompok. Pertama, orang yang meyakini dirinya telah memasrahkan seluruh urusannya kepada Allah, menyandarkan segala daya dan upaya kepada-Nya, tidak kepada diri atau orang lain. Hanya menanti belas kasih dan anugerah dari sisi-Nya.
Jiwanya jernih dan pasrah dalam menyerahkan segala urusan kepada Allah. Namun dalam keadaan ini, dia sangat rentan terhadap tipu daya setan yang akan membuatnya lupa dan lalai terhadap urusan yang sangat sulit dikerjakan. Ketika urusan tersebut gagal, setan pasti menggodanya dari pintu ujub secara halus. Hanya ulama cerdas yang bisa menyadari tipu daya ini.* [Tulisan selanjutnya]
Dari buku Hidup Tanpa Derita karya Abu Abdillah Al-Muhasibi.