KEDUA, orang yang meyakini dalam hati bahwa dia sama sekali tidak memiliki urusan, daya, upaya, dan kekuatan, sehingga perlu bersandar kepada Tuhan. Dia berikut seluruh urusannya hanya milik Allah.
Arti memasrahkan urusan dalam konteks ini adalah menyerahkan berbagai urusan yang tidak dimiliki kepada Allah Azza wa Jalla. Batinnya berkata, “Seluruh urusan milik Allah, dan hanya Allah yang menciptakan dan mengaturnya. Karena itu, kupasrahkan semua urusanku kepada-Nya. Aku hanya menanti keputusan dan ketentuan-Nya. Segala urusan hanya milik-Nya dan telah kupasrahkan pada-Nya. Aku bersandar sembari menanti takdir dan kemurahan-Nya.”
Makna ucapan, “Kupasrahkan semua urusanku kepada-Nya,” yakni urusan yang tidak kumiliki. Kata “aku” bukan dimaksudkan milikku. Kata “urusanku” maknanya urusan milik Tuhan yang kubutuhkan, bukan milikku, sebab Dialah yang memiliki urusan tersebut. Ucapan itu sama dengan, “Aku membutuhkan rezekiku”, artinya yang tidak kumiliki sebelumnya.
Inilah bentuk penyerahan diri yang benar. Memposisikan diri selaku hamba seperti yang diinginkan Tuhan. Mengakui bahwa hak mencipta, berkehendak, dan mengatur segala urusan hanya milik-Nya semata, dan tidak yang lain. Orang seperti inilah yang dijamin dan dipilih oleh Allah menjadi kekasih-Nya.
Bila terjadi penyimpangan, ia berharap Allah memberinya kemampuan melewati penyimpangan itu. Sebab hatinya telah dijejali hasrat menyerahkan segala urusan kepada Tuhan.
Orang yang berserah diri akan merasa aman dan tenang. Silakan cermati perkataan hamba saleh yang dibadaikan Tuhan berikut pertolongan-Nya, saat hamba tersebut memasrahkan urusannya kepada Allah.
“Aku serahkan secara total urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat kepada para hamba.” (Ghafir: 44).
Allah berfirman,
“Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk.” (Ghafir : 45).*
Dari buku Hidup Tanpa Derita karya Abu Abdillah Al-Muhasibi.