SETIAP orang boleh memiliki ambisi, dan boleh ambisius terhadap ambisinya. Tapi sebagai seorang muslim, tentu saja cara-cara yang ditempuh haruslah sesuai dengan yang telah difirmankan oleh Allah dan dituntunkan oleh Rasul-Nya.
Ada yang memiliki impian, dan terus berjuang bagaimanapun caranya untuk dapat mencapai apa yang diinginkannya. Meskipun harus menempuh cara-cara yang tidak baik, bahkan bertentangan dengan aqidahnya. Ada yang berusaha sekuat tenaga menyingkirkan rintangan demi rintangan yang menghambat jalan impiannya, dengan berfokus pada keyakinan dan kemampuannya saja. Ada pula yang hanya bergantung pada kekuatan do’a, tapi tidak memaksimalkan usahanya. Dan ada yang memaksimalkan kekuatan diri dan do’a, serta yakin bahwa apa yang diusahakan akan berakhir pada tujuannya dengan cara-cara yang baik saja. Kira- kira kita termasuk dalam kategori yang mana?
Ambisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti keinginan (semangat) yang besar untuk menjadi (memperoleh, mencapai) sesuatu. Sedangkan ambisius adalah berkeinginan keras mencapai sesuatu, penuh ambisi.
Agar belum terlalu jauh kemungkinan terjebak dalam ambisius yang salah, ada baiknya kita kembalikan ambisi kita pada beberapa hal berikut:
1. Jadikan Allah sebagai tujuan
Allah Subhaanahu Wa ta’aala telah menuntun kita dalam firman-Nya:
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, hanya karena Allah Pemelihara seluruh alam.” (Surah al-An’am [6]: 162)
Diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Bukan berarti lantas hanya untuk berdo’a saja. Ibadah dalam hal ini bermakna luas. Bekerja menafkahi keluarga, membantu suami, berbuat baik kepada orang tua, menolong sesama, semua dapat digolongkan sebagai ibadah jika Allah yang menjadi tujuannya.
Dalam surah yang lain:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka Bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Surah al-Jumuah [62]: 10)
Mencari karunia dan tetap mengingat Allah. Dua poin penting dalam ayat tersebut tentu dapat kita jadikan pegangan. Bahwa apapun ambisi kita, baik peningkatan pendidikan, peningkatan finansial serta kesejahteraan keluarga, haruslah tetap mengutamakan Allah Ta’ala. Mengingat sebuah ungkapan, “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, Memikul kayu lebih mulia dari pada mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik dari pada muslim yang lemah. Allah menyukai mukmin yang kuat bekerja.”
2. Dahulukan kepentingan akhirat
Allah berfirman:
{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan.” (Surah Hud [11]: 15-16).
Ambisi yang hanya mengutamakan pendapat dan penilaian orang lain, biasanya akan mengurung seseorang untuk terus mencapai tingkatan demi tingkatan agar dipandang oleh orang lain. Berbuat baik, dan bekerja keras agar hasilnya dapat dilihat oleh orang lain. Padahal semua itu adalah tipu daya dunia dan tidak akan membekas bagi bekal akhiratnya.
3. Berusaha dengan cara yang halal dan baik
Di zaman sekarang ini, tak jarang orang yang melakukan apapun untuk memenuhi ambisinya. Ambisius terhadap impian yang menutup nurani serta akal fikiran. Tidak lagi bisa memilih cara yang dituntunkan oleh agama. Tidak bisa bersabar menanti jawaban Allah atas munajat dan ikhtiarnya sehingga mengambil jalan pintas, mengikuti bisikan hawa nafsu dan syaitan. Padahal Allah telah berfirman:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (Surah al-Baqarah [2]: 172).
4. Muhasabah diri
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akherat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Surah al-Hasyr [59]: 18)
Bermuhasabah atau menghisab diri ini penting untuk menyadari apa yang kurang dan apa yang harus diperbaiki. Agar hari ini tak sama dengan hari kemarin, dan esok lebih baik dibandingkan hari yang telah berlalu. Dengan bermuhasabah, kita dapat mengingat dan menimbang kembali apakah jalan yang kita tempuh sudah benar, tidak melanggar apa yang telah disyari’atkan, ataukah ada yang melenceng dan harus segera diperbaiki.
Deteksi dengan cepat adakah pengaruh hawa nafsu syaitan yang melenakan dalam proses mencapai target keinginan. Apakah impian yang ingin diraih itu benar-benar kebutuhan, menjadi sarana untuk lebih bermanfaat dan mendekatkan diri padanya, ataukah hanya sekedar ambisi untuk menyetarakan level di hadapan manusia?
Bersemangat atau berambisi untuk mewujudkan impian apapun bentuknya adalah hal yang positif. Memperbaiki diri dan kehidupan sehingga terus ada peningkatan memang sangat dianjurkan. Jangan tergoda dengan cara ambisius yang melenakan. Sehingga dapat melupakan hakikat dan kewajiban sebagai hamba. Sebab ini seringkali terjadi tanpa disadari. Kita berambisi tetapi lupa akan tempat kembali. Semoga kita semua bisa istiqomah selalu di jalan-Nya, dikuatkan hati dan jiwa dalam kondisi dan situasi apapun.Wallahu a’lam bi ash-shawab.*/Rizki N. Dyah, Ibu Rumah Tangga, tinggal di Kutai Barat