Sambungan artikel PERTAMA
Kedua: Berjihad di jalan Allah
Allah berfirman:
لكن الرسول والذين آمنوا معه جاهدوا بأموالهم وأنفسهم وأولئك لهم الخيرات وأولئك هم المفلحون
“Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, mereka berjihad dengan harta dan jiwa. Mereka itu memperoleh kebaikan. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At-Taubah [9] :88).
Ibn Hajar al-Atsqalani dalam Kitab Fath al-Bari menyebutkan, jihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir. Istilah jihad juga digunakan untuk melawan hawa nafsu, setan dan orang-orang fasik. Adapaun melawan hawa nafsu yaitu dengan mempelajari agama Islam, mengamalkan dan mengajarkannya. Jihad melawan setan adalah dengan menolak segala bentuk syubhat dan syahwat. Sedangkan jihad melawan orang kafir adalah dengan harta, lisan dan hati.
Senada, Ibn Taimiyah dalam kitab Majmu’ Fatawa berkata, pada hakikatnya jihad adalah meraih apa yang dicintai Allah berupa iman dan amal shaleh, dan menolak apa yang dibenci Allah, berupa kekufuran dan maksiat. Keutamaan jihad telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Allah akan menyediakan ganjaran bagi hamba-Nya yang berjihad dengan niat yang mulia.
Ketiga: Sami’na wa atha’na
Allah berfirman:
إنما كان قول المؤمنين إذا دعوا إلى الله ورسوله ليحكم بينهم أن يقولوا سمعنا وأطعنا وأولئك هم المفلحون
“Hanya ucapan orang-orang mukmin, yang apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-nya agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka, mereka berkata, “kami mendengar dan kami taat.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS An-Nur [24]: 51).
“Sami’na wa atha’na” bisa disebut sebagai penghulu kata dalam membuktikan eksistensi keimanan seseorang. Perintah Allah dalam al-Qur’an tak membuatnya terjebak dalam pertanyaan “kenapa Allah menyuruh begini dan kenapa Allah melarang begitu.” Namun syahadat yang dipunyai boleh jadi sudah mengakar dan mampu mendorong dia menjalankan segala perintah Allah dan Rasul-Nya dan menjauhi setiap larang yang ditetapkan.
Muslim demikian sudah sanggup terjun ke alam realitas dengan berbagai cobaan dan tantangannya. Dengan segala keterbatasan yang melekat pada dirinya, namun ia yakin, jika suatu saat Allah memberikan kecukupan baginya. Dan pastinya ialah orang yang beruntung dengan keimanan yang kokoh tersebut.
Keempat: Shalat dan Zakat
Allah berfirman:
الذين يقيمون الصلاة ويؤتون الزكاة وهم بالآخرة هم يوقنون (4) أولئك على هدى من ربهم وأولئك هم المفلحون
“Yaitu orang-orang yang melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan mereka meyakini adanya akhirat. Merekalah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Lukman [31]: 4-5).
Menjalankan ibadah dengan baik adalah keberuntungan bagi seorang muslim. Diketahui, shalat dan zakat adalah dua pilar utama dalam beribadah kepada Allah. Shalat merupakan amalan yang paling utama dan menjadi pertama kali dihisab kelak. Shalat juga menjadi tameng ampuh dalam membentengi diri dari kemaksiatan.
Sedang zakat, ia adalah ibadah yang berdimensi infiradi (personal) dan jama’i (sosial).
Yusuf al-Qaradhawi mengatakan, zakat yang dikeluarkan karena ketaatan kepada Allah niscaya mensucikan jiwa dari segala kotoran dan dosa. Selain itu, zakat juga menumbuhkan rasa cinta kasih orang-orang yang lemah dan miskin.
Kelima: Menjauhi riba
Allah berfirman:
ياأيها الذين آمنوا لا تأكلوا الربا أضعافا مضاعفة واتقوا الله لعلكم تفلحون
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kepada Allah agara kamu beruntung.” (QS. Ali Imran [3]: 130).
Maraknya praktek riba selama ini tidak lepas dari strategi musuh-musuh Islam dalam menghancurkan umat Islam. Maraknya bank konvensional kian meresahkan umat Islam. Sebab akibatnya berdampak kepada sistem pinjaman berbunga menjadi hal yang dianggap biasa di masyarakat. Ia bahkan seolah tak terpisahkan dari sejumlah transaksi keuangan perbankan selama ini.
Kini transaksi ribawi menjadi sarana mempermulus kemiskinan yang kian menjadi di tengah orang-orang yang tak mampu. Sebaliknya orang-orang kaya dan berpunya makin berpesta di atas penderitaan orang miskin tersebut. Untuk itu, menjauhi riba adalah syarat mutlak meraih keberuntungan. Baik di dunia terlebih di hari Akhirat nanti.*/Arsyis Musyahadah, mahasiswi Pascasarjana UIKA Bogor, Program Pendidikan dan Pemikiran Islam