SESEORANG bisa meraih husnul khatimah berdasarkan ketaatan dan ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan didasari tauhid yang benar. Sebab lainnya adalah sikap hati-hati yang selalu tertanam pada diri sendiri terhadap perbuatan yang haram, dan keinginan untuk segera bertobat jika melakukan kesalahan dan dosa, utamanya dosa syirik kecil dan besar.
Cara lain meraih husnul khatimah adalah selalu berdoa kepada Allah SWT agar ia dimatikan dalam keadaan beriman dan bertakwa. Selain itu, ia juga harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk memperbaiki diri, lahir dan batin, juga agar niat dan tujuannya hanya terfokus pada usaha mewujudkan hal itu.
Sudah merupakan sunnah-Nya jika Allah akan senantiasa memberi taufik kepada siapa saja yang mencari kebenaran kepada-Nya. Allah juga akan mengukuhkan hati dan memberikan akhir yang baik pada kehidupan seseorang yang selalu memohon kepada-Nya.
Dalam Shahih al-Bukhari dijelaskan beberapa faktor seseorang mendapatkan husnul khatimah:
1. Takut kepada Allah dan takut mendapatkan akhir yang buruk (su’ul khatimah).
Para salafussaleh sangat khawatir jika diri mereka mendapatkan su’ul khatimah. Namun, kekhawatiran mereka tetap disertai dengan harapan besar akan rahmat dan karunia Allah. Oleh karena itu, mereka selalu berusaha memperbaiki amal perbuatannya, karena rasa khawatir yang disertai harapan dapat mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan baik.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Siapa yang takut (kepada Allah) maka ia akan bergadang malam; siapa yang bergadang malam maka ia akan sampai ke tempat yang luhur (tujuannya). Ingatlah bahwa sesungguhnya barang perniagaan Allah itu mahal; ingatlah bahwa sesungguhnya barang perniagaan Allah itu adalah surga.” (At-Tirmidzi)
Oleh sebab itu, para sahabat dan generasi sesudahnya sangat takut dan sangat berhati-hati terhadap sifat munafik. Karena sebagai seorang mukmin, sepatutnya ia mengkhawatirkan diri dari kemunafikan meski hanya kemunafikan kecil. la juga harus takut jika kemunafikan kecil itu mendatanginya di akhir masa hidupnya sehingga mendorongnya untuk melakukan kemunafikan besar.
Dalam Shahih al-Bukhari, Ibrahim al-Taimi berkata, “Aku tidak memalingkan ucapanku dari perbuatanku, tak lain karena aku takut menjadi seorang pendusta.”
Abdullah ibn Abi Mulaikah juga berkata, “Aku mengenal 30 orang sahabat Nabi dan masing-masing sangat mengkhawatirkan dirinya dari kemunafikan. Tak seorang pun di antara mereka yang mengaku bahwa keimanannya setaraf dengan keimanan Jibril dan Mika’il.”
Diriwayatkan juga dari al-Hasan, katanya, “Tak ada yang merasa takut terhadap kemunafikan kecuali seorang mukmin, dan tak ada yang merasa tenang dengan kemunafikan kecuali seorang munafik.”
Abu Darda juga berkata, “Keyakinanku bahwa Allah akan menerima satu shalatku lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya, karena Allah SWT berfirman, ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (pengorbanan) dari orang-orang bertakwa.’” (al-Ma’idah: 27).
2. Bertobat atas semua dosa dan maksiat dibarengi dengan amal saleh.
Sikap menunda-nunda tobat adalah salah satu sebab su’ul khatimah. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman, “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang beriman, supaya kamu beruntung.” (al-Nur: 31).
Dalam ayat lain, Allah berfirman, “Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku-lah Sang Pengampun lagi Sang Penyayang, dan sungguh azab-Ku sangat pedih.” (al-Hijr: 49-50).
Seseorang yang telah bertobat dari segala dosa bagaikan orang yang tidak mempunyai dosa sama sekali (Sunan Ibnu Majah). Tentunya tobat ini harus diikuti dengan amal yang baik, sesuai dengan firman Allah SWT, “Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (Thaha: 82).
Setelah menjelaskan siksa bagi orang musyrik, orang yang membunuh tidak dengan jalan hak, dan orang yang berbuat zina, Allah juga berfirman, “Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka Allah ganti dengan kebajikan. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Furqan: 70).
Diriwayatkan dari Anas r.a. bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Jika Allah menghendaki kebaikan pada diri seorang hamba, Dia akan mempekerjakannya.” Beliau ditanya, ‘Bagaimana Allah mempekerjakan seorang hamba, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, “Allah akan membantunya untuk mengerjakan amal saleh sebelum kematiannya.” (At-Tirmidzi)
‘Amr ibn al-Hamaq berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Jika Allah menghendaki kebaikan pada diri seorang hamba, Dia akan memaniskannya sebelum kematiannya.” Para sahabat bertanya, ‘Apa [maksud] memaniskannya?’ Beliau menjawab, “Akan dibukakan baginya kesempatan untuk melakukan amal saleh menjelang kematiannya sehingga ia diridhai.” (Ibnu Hibban).* [Tulisan berikunya]
Dipetik dari tulisan Aiman Mahmud dalam bukunya Semakin Tua Semakin Mulia.