SEBAGAIAN manusia mungkin beranggapan, keberuntungan bagi orang miskin adalah memiliki harta melimpah dan hidup mewah. Sedang bagi seorang murid, keberuntungan adalah menjadi seorang guru karena tak perlu lagi mengerjakan tugas atau mendapat hukuman jika tidak mengerjakannya.
Berbeda halnya bagi rakyat biasa. Keberuntungan baginya adalah memiliki kedudukan dan jabatan tinggi hingga ia bisa dikenal banyak orang. Sedang bagi pengendara motor, keberuntungan adalah memiliki mobil berfasilitas AC, sehingga ia tidak lagi kepanasan di bawah terik matahari saat berkendara.
Demikian sederet pendapat manusia ketika mendefinisikan atau memaknai keberuntungan. Ketika manusia bertanya, apakah yang mereka cari selama ini. Sebagiannya menjawab, keberuntunganlah yang akan menjadikan hidupnya menjadi lebih baik. Keberuntungan adalah kunci menggapai segala yang dicita-citakan selama ini.
Sebenarnya, bersikap ambisius dalam memperoleh impian atau keberuntungan sah-sah saja dilakukan oleh setiap orang. Ia boleh saja banting tulang dan bekerja keras siang malam untuk meraih keberuntungan menurut definisinya. Namun, yang dikhawatirkan adalah apakah keberuntungan di dunia otomatis mengantar menjadikannya beruntung di di hari Akhirat kelak? Apakah keberuntungannya di mata manusia serta merta menjadikan mereka sebagai orang yang beruntung di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt)?
Terkadang, kenikmatan materi yang diperoleh seseorang tak mampu menjadi kepuasan bathin dalam hidupnya. Meski segalanya telah ia dapatkan dan nikmati, masih saja menyisakan setumpuk mimpi dan khayalan keinginan lainnya. Demikian ciri manusia yang digariskan secara mendasar. Ia melekat dalam bawaan manusia sebagai al-insan. Ada rasa tak pernah puas terhadap kenikmatan dan karunia yang diberikan Allah.
Sejak dini al-Qur’an sebagai petunjuk hidup orang beriman punya pengertian tentang keberuntungan (al-falah). Sedang diakui atau tidak, definisi keberuntungan yang dimaknai manusia saat ini lebih banyak berkutat pada persoalan materi dunia.
Uniknya, berbeda dengan takrif keberuntungan di atas, dalam ajaran Islam, setiap manusia bisa dan berhak meraih keberuntungan. Mulai dari guru, pejabat, pedagang, sopir atau buruh sekalipun, asal mereka mau mengikuti petunjuk yang dijelaskan dalam al-Qur’an.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam Kitab al-Fawaid mengatakan, “Keberuntungan adalah setiap kali seorang hamba bertambah ilmunya, maka tawadhu’ dan kasih sayangnya bertambah. Jika amalnya bertambah, rasa takut dan waspadanya meningkat. Ketika umurnya kian menua, kerakusannya terhadap kehidupan dunia berkurang, dan acap hartanya bertambah, maka bertambah pula kedermawanannya. Juga setiap kali kedudukannya meninggi, ketundukkaannya kepada Allah dan kedekatannya serta bantuannya kepada orang lain makin menjadi pula.”
Menurut Ahmad Musthafa al-Maraghi, al-falah (keberuntungan) adalah tercapainya tujuan yang dicita-citakan, berkat ilham yang diberikan Allah pada orang-orang yang bertakwa untuk menuju jalan keberhasilan.
Al-Qur’an menilai keberuntungan itu tak hanya dilihat dari status dan kedudukan manusia di dunia. Tidak pula diukur dari wajah dan ketampanan yang dibanggakan. Apalagi hanya dengan tumpukan harta yang tak berarti apa-apa di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala.
Al-Qur’an adalah petunjuk yang sempurna bagi seorang Muslim yang menginginkan keberuntungan dunia dan akhirat. Amalan-amalan yang dilakukan bagi perindu surga merupakan barometer untuk mendapat predikat keberuntungan. Berikut ini beberapa amalan kebaikan di dalam al-Qur’an yang layak dikerjakan oleh seorang Muslim.
Kiranya hal itu bisa menjadi menjadikan dirinya sebagai sosok beruntung (al-muflihun) di hadapan Allah;
Kesatu: Amar makruf nahi munkar
Manusia adalah khalifatullah yang memiliki amanah yang wajib dipenuhi kepada Allah. Selain bersujud dan beribadah kepada-Nya. manusia memiliki kewajiban menebar kebaikan pada setiap makhluk. Allah memberikan waktu dengan porsi yang sama bagi setiap hamba-Nya. Namun tak setiap orang lalu menggunakan waktu tersebut dengan kegiatan dan manfaat yang sama. Olehnya, setiap Muslim hendaknya memaksimalkan waktu yang tersedia untuk menebar kebaikan. Kebaikan yang ia lakukan niscaya menjadikan dirinya sebagai mukmin yang beruntung.
Allah berfirman:
ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali-Imran [3]: 104).
Abu Ja’far al-Baqir meriwayatkan, Rasulullah membaca firman Allah di atas lalu berkata: Yang dimaksud dengan kebaikan ini adalah mengikuti al-Qur’an dan sunnahku. Amalan yang makruf adalah amalan yang mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan munkar adalah perbuatan yang menjauhkan diri dari Allah.*/Arsyis Musyahadah, mahasiswi Pascasarjana UIKA Bogor, Program Pendidikan dan Pemikiran Islam (BERSAMBUNG)