Disadari, setiap kebaikan yang dicanangkan manusia pasti harus siap bertarung dengan keburukan. Ketaatan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt) itu tak pernah akur dengan kemaksiatan sebagai jualan laris dari setan dan konco-konconya.
Garis takdir ini tidak pernah bergeser sebagai sunnatulah dalam kehidupan manusia hingga hari Kiamat. Di sana ada penegak kebenaran yang menyeru kepada al-haq.
Seperti halnya para pendukung kebatilan juga tak henti berkoar meneriakkan tipu daya mereka. Tanpa letih, setiap saat setan terus bergerilya mencari mangsa untuk dijadikan korban akal bulus mereka selama ini.
Bahkan pertarungan itu bermula sejak kehidupan Nabi Adam beserta istrinya, Hawa di surga.
Adam akhirnya tergelincir dari rel ketaatan di jalan Allah. Ia terpedaya dan bermaksiat dengan memakan buah yang terlarang sebelumnya.
Selain tipu muslihat Iblis yang berjalan sesuai rencana, ternyata Allah menilai ada faktor x lainya di balik kejadian tersebut. Yaitu Allah menganggap tidak adanya tekad yang kuat (azam) dari Nabi Adam untuk menjauhi larangan-Nya.
ولقد عهدنا إلى آدم من قبل فنسي ولم نجد له عزما
“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.” (Thaha [20]: 115)
Perkuat Tekad Selalu
Rumus kehidupan berkata, kesuksesan itu bukan sesuatu yang instan, tiba-tiba datang begitu saja.
Demikian dalam melakoni kebaikan, manusia juga membutuhkan proses dan mujahadah (usaha maksimal). Ia butuh niat dan tekad kuat untuk bisa istiqamah menjalani proses kebaikan itu.
Azam atau kemauan yang kuat berasal dari kehendak jiwa yang ikhlas. Orang yang berbuat dengan sepenuh hati dan ikhlas tentu berbeda dengan orang yang bekerja separuh hati hati.
Sejak dini perbedaan di antara keduanya itu tampak. Mulai dari proses yang dilakukan hingga kepada hasil yang dicapai, cenderung tidak sama antara amalan yang berbalur ikhlas sepenuh hati dengan perbuatan yang didorong oleh setengah hati saja.
Senada, Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhuma (Ra) berkata: Tekad yang kuat itu adalah buah dari kesabaran jiwa. Untuk itu hendaknya setiap Muslim menggandeng kesabaran dalam setiap langkah dan perbuatannya.
Sebab kesabaran itu meliputi perintah Allah yang harus dikerjakan dan larangan-Nya yang mesti dijauhi oleh hamba. Keduanya membutuhkan pengorbanan yang tulus dari hati yang ikhlas.
Evalusi diri
Berbagai pengalaman hendaknya menjadi pelajaran berharga sekaligus bahan evaluasi kehidupan manusia.
Tak sedikit niat baik yang tertancap dalam hati, namun seringkali kebaikan itu tak berumur panjang hingga akhirnya seolah lenyap ditelan masa.
Alih-alih kualitas bacaan al-Qur’an meningkat, misalnya. Sekedar untuk istiqamah bertahan rutin mengaji sungguh terasa berat bagi sebagian manusia.
Olehnya belajar dari pengalaman Nabi Adam, setiap Muslim tak boleh merasa berada di zona aman ataupun nyaman.
Selama orang itu masih berpijak di dunia, ia tak boleh tertipu dengan amalannya sendiri. Apalagi sampai merasa ujub (bangga diri) dengan apa yang diperbuat.
Lebih parah lagi jika ikut-ikutan terjebak menilai perbuatan orang lain. Sedang ia sendiri, saat memvonis orang lain, belum beranjak dari ‘kursi malasnya’ yang hanya bergoyang-goyang di teras rumah.
Jangankan memberi motivasi dan dukungan berupa materi atau moril, orang itu hanya sibuk mengurus kesalahan orang lain. Hingga lalai dari mengurus aib sendiri.
Sejak genderang perang ini ditabuh, sejak itu pula seluruh balatentara setan senantiasa stand by mengintai setiap celah kelemahan dan titik kelalaian manusia.
Jika ibadah seorang hamba tak dibarengi dengan tekad yang kuat dan keikhlasan serta kesabaran yang terus diasah. Tentunya terlalu mudah bagi setan untuk mengelabui dia.
Sebagai muhasabah diri, tentu bukan pertarungan melawan setan yang harus disesali.
Sebab hal itu sudah menjadi sunnatulah (garis hidup) yang ditetapkan Allah bagi siapa yang ingin menegakkan agama Allah.
Namun hendaknya kedekatan diri dengan Allah dan usaha maksimal (all out) yang harus senantiasa dievaluasi oleh manusia.
Boleh jadi selama ini justru dirinya yang belum sepenuh hati dalam mengerjakan perintah Allah atau menjauhi larangan-Nya.*/Masykur Abu Jaulah