Hidayatullah.com | RASULULLAH ﷺ menemui istrinya dalam keadaan takut luar biasa setelah menerima ayat-ayat pertama dari Allah Ta’ala lewat malaikat Jibril di Gua Hiro. Oleh sang istri, Khadijah, beliau ditenangkan dan dibawa kepada Waraqah ibn Naufal ibn Asad ibn Abdul Aza, sepupu Khadijah.
Waraqah adalah tokoh Nasrani pada masa Jahiliyah. Beliau pernah menulis kitab Injil dalam Bahasa Ibrani. Saat ditemui Rasulullahﷺ dan Khadijah, Waraqah sudah berusia amat lanjut dan buta.
“Wahai putra saudaraku, apa yang telah terjadi padamu?” tanya Waraqah kepada Rasulullahﷺ .
Maka Rasulullahﷺ menceritakan semua hal yang dialaminya kepada Waraqah. Lalu, Waraqah berkata, “Itu adalah rahasia paling besar yang pernah diturunkan Allah kepada Musa. Wahai, seandainya aku bisa menjadi muda dan kuat, semoga aku masih hidup dan bisa menyaksikan dirimu diusir oleh kaummu.”
Rasulullah ﷺ terkejut mendegar penuturan Waraqah dan bertanya, “Benarkah kaumku kelak akan mengusirku?”
Waraqah menjawab, “Ya, karena tidak ada satu pun Nabi yang datang dengan membawa seperti apa yang engkau bawa itu melainkan mereka akan diusir dan disakiti. Seandainya aku bisa menjumpai hari di saat engkau dimusuhi dan disakiti itu, niscaya aku akan menolong dan membantumu dengan sekuat tenagaku,” (Riwayat Bukhari dan Muslim, atau pada kitab Ahmad: al-Fath ar-Rabbani).
Tak lama setelah berkata demikian, Waraqah meninggal dunia.
Benturan yang diisyaratkan Waraqah ini memang benar-benar terjadi dalam kehidupan Rasulullahﷺ selanjutnya. Beliau benar-benar dimusuhi, disakiti, difitnah, dan dituduh gila.
Bahkan, ketika beliau hijrah keThaif sambil berdakwah, masyarakat di sana beramai-ramai meneriakkan cacian, olok-olokan, ejekan, dan mengusir beliau. Dalam riwayat Musa ibn Uqbah dikisahkan bahwa ketika itu kaum kafir Thaif menjerat kedua kaki Rasulullahﷺ hingga beliau terjerambab jatuh dan tak bisa bergerak. Tak cukup itu, kaum kafir Thaif melempari kedua kaki Rasulullahﷺ dengan batu secara bertubi-tubi hingga berdarah.
Malaikat Jibril dan malaikat pemelihara gunung yang tak tega melihat keadaan Muhammadﷺ berkata kepada Rasulullahﷺ ketika beliau telah berhasil lolos dari penganiayaan itu, “Wahai Muhammad, maukah engkau sekiranya aku membalikan kedua gunung ini agar menimpa mereka?”
Rasulullahﷺ menjawab, “Jangan lakukan, karena aku masih berharap agar Allah melahirkan dari keturunan mereka orang-orang yang hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan apa pun.”.
Begitulah sunatullahnya, pertarungan antara para pemilih jalan lurus dan jalan bengkok akan terus berlangsung sepanjang hidup. Sebab, kebenaran (haq) dan kebathilan adalah dua hal yang bertolak belakang, tak mungkin berkumpul satu sama lain. Yang satu pasti akan berusaha menyingkirkan yang lain. Jika kita memilih yang satu, berarti kita harus meninggalkan yang satunya lagi. Tak bisa kita ambil dua-duanya.
Andaikan pemilih jalan lurus dan pemilih jalan bengkok terlihat rukun, boleh jadi karena ketidaktahuan atau kurangnya ilmu dari masing-masing pihak tentang hakikat dari kebenaran dan kebathilan yang mereka perjuangkan beserta konsekuensinya. Atau, keadaan salah satu dari mereka masih lemah sehingga tak berani berjuang untuk mengubahnya.
Jadi tak heran bila benturan yang dialami oleh Rasulullahﷺ juga dialami oleh para Nabi dan Rasul sebelum beliau. Allah Ta’ala berfirman dalam Ali ‘Imran [3] ayat 184, “Maka jika mereka mendustakan engkau (Muhammad), rasul-rasul sebelum engkau pun telah didustakan, (padahal) mereka membawa mukjizat-mukjizat yang nyata, (yakni) Zabur, dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.”
Demikian pula para pewaris risalah Rasulullahﷺ setelahnya, akan menghadapi benturan serupa. Jika Rasulullahﷺ yang terjaga dari kesalahan saja didustakan dan dimusuhi oleh para pemilih jalan bengkok, apalagi para dai dengan segala keterbatasannya dalam berdakwah. Kecaman, hinaan, permusuhan, bahkan siksaan yang pernah dialami oleh Rasulullahﷺ , akan dialami pula oleh mereka.
Namun, Allah Ta’ala telah menetapkan bahwa jika kebenaran sudah datang, pada akhirnya kebathilan akan lenyap. Sebab, keduanya tak mungkin bersatu. Allah Ta’ala berfirman dalam surat ar-Ra’d [13] ayat 17, “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah ia di lembah-lembah menurut ukurannya. Arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti (buih arus) itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (tentang) yang benar dan yang batil. Adapun buih akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; sedangkan yang bermanaaf bagi manusia, maka tetap ada di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan.” Wallahu a’lam.*/Mahladi Murni