Hidayatullah.com | PERNAHKAH membayangkan ketika menempuh perjalanan dari Jakarta ke Surabaya dengan berjalan kaki? Jarak antara kedua kota tersebut 784,2 km.
Begitu jauhnya jarak yang ditempuh dan begitu luasnya Jawa. Padahal luas Pulau Jawa hanyalah 0,025 % dari luasnya Bumi tempat manusia bernaung.
Jika dibandingkan dengan luasnya matahari, yang diameternya 109 kali diameter Bumi, semakin tak terbayang dalam pikiran bagaimana luasnya matahari.
Dalam kajian astronomi, pusat tata surya tersebut termasuk bintang kecil dari miliyaran bintang di galaksi bimasakti. Ada bintang yang jauh lebih besar dibandingkan matahari di galaksi ini yaitu UY Scuti yang diameternya 1.708 kali diameter matahari.
Cahaya bintangnya butuh waktu 5.070,16 tahun cahaya untuk sampai ke bumi, dengan 1 tahun cahaya setara 9,45 triliun tahun. Padahal Bimasakti hanyalah salah satu galaksi dari ratusan miliyar galaksi di alam semesta.
Sejauh ini benda langit terjauh yang bisa diamati dari Bumi adalah berjarak 13,8 miliyar tahun cahaya. Jadi bagaimana posisi manusia di Bumi dibandingkan dengan alam semesta ini? Ya hanya butiran debu yang tak berarti.
Ini baru membahas ukuran alam semesta, belum isi kandungannya. Jangankan membahas isi kandungan bintang-bintang dan benda langit lainnya. Di Bumi saja tak terbilangnya makhluk mati dan hidup yang terhampar di dalamnya, pengkajian dan pembahasannya tak ada habisnya.
Apalagi melihat ukiran alam nan elok baik di pantai, lautan, gunung, ngarai, danau, kawah, kutub dan sebagainya. Jutaan varietas tumbuhan dan hewan dengan berbagai karakteristik dan keunikannya.
Hamparan sumber daya berharga baik di permukaannya maupun di perutnya yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dan keajaiban alam lainnya yang menimbulkan decak kagum.
Mentadaburi ayat cintaNya
Sungguh semuanya terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah SWT yang tak terbantahkan bagi setiap manusia yang berakal sehat. Alam semesta yang luasnya tak bertepi ada dalam genggaman Allah. Pun sama, apa yang ada di langit dan bumi semuanya milik Allah.
Ini telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam ratusan ayat-ayat cintaNya baik dalam Al Quran maupun hadits.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang yang mengingat Allah, sambil berdiri, duduk, atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, peliharalah kami dari siksa api neraka.” (QS: Ali ‘Imran ayat: 190-191).
“Sesuatu yang sebenarnya tidak pernah diketahui”. Jawaban dari para astrofisikawan ketika ditanya seberapa luas alam semesta. Kendati dengan teknologi canggih dan perkembangan keilmuan mutakhir, belum ada ilmuwan yang dapat menjelaskan secara pasti ukuran dan asal usul ‘rumah raksasa’ kehidupan dunia.
Namun keberhasilan astrofisikawan mendeteksi secuil noktah alam semesta, mampu membelalakan mata, bahwa begitu dahsyatnya penciptaan alam semesta. Maka ketika mentadaburi Surat Ali ‘Imran ayat 190-191, lisan ini kelu.A
Lidah saya tak mampu mengungkapkan indahnya rangkaian kata demi kata dalam ayat-ayat di atas. Menyentuh qalbu bagi hambaNya yang senantiasa berdzikir dan bertafakur. Tak dapat menafikkan kebenaran kalamNya. Semakin menambah keyakinan akan ke Maha AgunganNya.
Rasulullah ﷺ pun tak mampu menahan tangisnya ketika mendengar pertama kali ayat-ayat ini. Sebelum ayat-ayat ini diturunkan, kaum Quraisy dengan berbagai cara mengolok-olok dan menghentikan seruan iman.
Mereka sengaja mendatangi ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) untuk menanyakan tanda-tanda kenabian Musa as dan Isa as. Lantas membandingkan dan merendahkan risalah yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ.
Mereka meminta Rasulullah ﷺ mengubah bukit shafa menjadi emas sebagai bukti kekuasaan Allah SWT dan tanda kerasulan Beliau.
Turunnya ayat-ayat indah di atas merupakan jawaban telak bagi permintaan Quraisy. Apa yang mereka minta tiada artinya dibandingkan dengan kompleksitas penciptaan alam semesta.
Sekaligus membungkam kesesatan jahiliyah mereka. Karena menyekutukan Allah dengan sesuatu yang hakikatnya adalah makhluk ciptaanNya yang lemah, terbatas dan sama sekali tak kuasa menciptakan sesuatu apapun. Sayangnya kekufuran tetap melingkupi mereka, bahkan semakin keras memusuhi dakwah Rasululullah ﷺ dan para shahabat.
Ya ayat-ayat di atas tak akan mampu menyentuh orang yang sombong dengan kekuasaanNya dan menutup qalbunya dari kebenaran. Karena dirinya lebih tertarik pada kenikmatan dunia yang menipu.
Sejatinya jika lautan dijadikan tinta untuk mengurai kesempurnaan ciptaan Allah yang ada di bumi dan langit tak akan pernah cukup. Sekalipun didatangkan lautan berulang-ulang.
Tak ada cela sedikitpun dan tak ada yang sia-sia, karena pasti ada manfaatnya bagi kehidupan. Ini hanya mampu dipahami oleh orang-orang yang ulul albab.
Siapakah Ulul Albab?
Allah SWT menjabarkan karakteristik hambaNya yang berhak menyandang gelar ulul albab dalam ayat-ayat ini. Pertama, orang-orang yang senantiasa berdzikir mengingat Allah baik dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring. Maksudnya berdzikir tak hanya saat ibadah ritual tapi dalam setiap aktifitas kesehariannya. Tumbuh kesadaran akan hubungan dirinya dengan Allah.
Meyakini bahwa Allah selalu bersamanya, melihatnya dan mendengarnya. Tak ada satu pun yang tersembunyi bagi Allah bahkan apa yang terbersit dalam pikiran dan hatinya.
Sehingga dirinya tak akan berani untuk bermaksiat pada Allah walaupun dalam kesendirian. Ini akan menjadikannya terikat hukum syara’ dimanapun, kapan pun dan dalam kondisi apapun, yang pada gilirannya ketakwaan itu melekat pada dirinya.
Kedua, orang-orang yang senantiasa bertafakur. Maksudnya mengarahkan akalnya untuk merenung, mengamati dan meneliti kebesaran dan keagungan Allah melalui ciptaanNya.
Keteraturan, kesempurnaan dan tak ada kebatilan dalam ciptaanNya, akan menumbuhkan kekaguman pada Sang Khaliq. Menumbuhkan kesadaran bahwa pada setiap ciptaanNya yang tak berakal saja Allah tak pernah bermain-main.
Apatah lagi syari’atNya dalam Al Quran dan hadits untuk mengatur manusia yang berakal. Menumbuhkan ketundukan pada syari’at Allah, karena keyakinan bahwa syari’atNya adalah yang terbaik untuk kemashlahatan manusia baik di dunia maupun akhirat.
Tak mungkin mencela apalagi menghujat syari’atNya, karena itu adalah bentuk kemaksiatan dan pengingkaran imannya. Berupaya menerapkan syari’atNya secara kaffah dalam kehidupan sebagai pembuktian imannya, yang akhirnya mengharap kembali ke pangkuanNya dalam keadaan mendapat rahmat dan ridhaNya serta selamat dari siksa neraka.
Sungguh beruntung orang-orang yang ulul albab, karena mampu mengambil pelajaran dan hikmah dalam kehidupan dengan tuntunanNya, sesuai dengan firman Allah SWT :
يُؤۡتِى الۡحِكۡمَةَ مَنۡ يَّشَآءُ ۚ وَمَنۡ يُّؤۡتَ الۡحِكۡمَةَ فَقَدۡ اُوۡتِىَ خَيۡرًا كَثِيۡرًا ؕ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ
Artinya : Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang ulul albab (QS. Al Baqarah ayat 269). Wallahu a’lam bish-shawabi.*/Desti Ritdamaya, praktisi pendidikan