Oleh: Moh. Isom Mudin
RAJAB, Sya`ban dan Ramadhan merupakan trilogi tahapan tepat untuk perubahan ke arah kebaikan. Sebuah ungkapan Ahli Hikmah yang dikutip dalam buku Zubdah al-Wâidzîn, “Rajab adalah alat pembersihan badan (Jasad), Sya`ban sarana peyucian hati (Qâlb), dan Ramadhan media penyucian jiwa (Rûh).”
Oleh sebab itu, ketiga tahap ini adalah tangga menuju kesempurnaan. Jiwa yang suci tidak akan dicapai apabila jasad dan hatinya masih kotor. Bisa juga dikatakan jika pembersihan badan dari dosa tidak dilaksanakan, maka penyucian hati dan jiwa itu sulit dilakukan, bahkan keungkinan besar akan menuai kegagalan.
Sebenarnya, bisa saja tiga hal itu dilaksanakan dalam satu waktu secara bersamaan khususya di bulan Ramadhan nanti. Namun, ini mungkin hanya mampu diakukan sedikiti orang, tentunya sangat berat dilaksanakan bagi orang-orang secara umum.
Sangat dikhawatirkan, jika sampai usaha itu putus di tengah jalan hanya karena terlalu berat memikul beban. Akan sangat lebih baik, start usaha menuju puncak kebaikan itu dimulai di hari jauh sebelumnya. Dapat dipastikan hasilnya akan jauh lebih baik dan sempurna.
Mengapa perlu penyucian, karena hati (Qalb) ini adalah pusat kepribadian dan pengendalian diri manusia. Para hukama` (ahlu hukum) menamakanya dengan ‘Nafs an-Nâthiqah’ (jiwa yang berfikir), al-Qur`an menyebutnya ‘Nafs al-Muthmainah’ (jiwa yang tenang), semua ini berlawanan dengan ‘Nafs Hayawâny’ (perilaku hewan). Dua kekuatan diri ini saling berebut pengaruh untuk mengendalikan aktifitas manusia.
Jika pemegang kendali ini salah, maka seluruh aktifitas tubuh juga akan mengikutinya, begitu juga sebaliknya. Namun, pengandalian akan dipegang hati jika didukung dengan usaha penyucian.
Akibatya, akan memunculkan jiwa yang tenang. Kondosi seperti Khusyu`, taqwa, mahabbah, ridla dan qana’ah, yaqin, dan sabar akan menghiasinya.
Puasa Sy`aban adalah salah satu bentuk aktifitas yang bisa dilaksanakan. Dalam hukum fikih, kesunnahan puasa ini sudah jelas dan tidak ada perdebatan dikalangan para ulama. Hal ini karena adanya beberapa hadits shahih yang menguatkanya.
Salah satunya adalah kesaksian Siti Aisyah RA yang mengatakan “Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam berpuasa penuh selain bulan Ramadhan. Aku juga tidak pernah melihat beliau banyak berpuasa di bulan lain seperti halnya bulan Sya`ban.” (HR. Bukhari Dan Muslim).
Maka, puasa di bulan Sya`ban ini tidak bisa dipandang sebelah mata saja, sebuah amalan yang sangat luar biasa.
Selain itu, rahasia pelaksanan puasa ini terletak pada keistimewaan bulan Sy`aban itu sendiri. Yaitu dilaksanaknya pembukuan catatan perbuatan baik ataupun buruk. Dengan logika sederhana, alangkah eloknya ketika pembukuan itu dilaksanakan seseorang melakukan aktifitas istimewa seperti puasa, tentu ada kesan lebih bagi pelaksana juga penerima laporan itu. Kata Rasulullah ‘….ini adalah bulan dimana amal-amal diangkat kepada Tuhan semesta alam, Aku ingin amalanku diangkat ketika aku sedang berpuasa’. (HR. An-Nasai).
Harapan dan kemungkinan besar yang bisa saja terjadi. Dengan puasa istimewa yang dilaksanakan waktu itu, Allah Subhanahu Wata’ala akan melipatgandakan pahalanya.
Bisa juga, jika ada laporan merah dalam pencatan itu, Allah menghapusnya dan mengampuninya karena kasih sayangnya, memberikan hidayah kepada hambanya untuk berusaha mengisi hidupnya dengan kebikan. Karena Dia yang ‘menghapus’ dan ‘menetapkan’ apa yang dikehendakinya.
Hanya saja perlu sedikit diperhatikan pada hari ‘Syakk’. Prof. Dr. Wahbah Zuhaily menjelaskan dalam bukunya ‘al-Fikih al-Islam wa adillatuhu’; Ulama berbeda pendapat seputar hukum puasa hari syakk, yaitu tanggal tiga puluh jika ada kesimpangsiuran ketetapan masuknya Ramadahan karena mendung. Ulama Hanafiyyah menghukumi makruh tahrim, Syafi`iyyah mengharamkanya ditambah dua hari sebelumya, Malikiyyah dan Hanabilah hanya memakruhkanya. Hanya saja mereka sepakat memperbolehknya jika sudah menjadi kebiasaan seperti puasa Senin-Kamis dan Daud atau Puasa Nadzar, Kafarat Qadla`.
Adapun pertengahan terkahir Bulan Sya`ban, ulama Syafi`iyyah juga mengharamkanya, dengan dasar hadits, “Jika sudah lewat pertengah Sya`ban, jangan berpuasa.” Hadits ini Hasan namun dianggap dlaif oleh Imam Ahmad dan Imam yang lain sehingga tidak dijadikan pijakan hukum.
Diperbolehkan menjalankanya dengan persyaratan sama pada hari Syakk, juga jika sudah memulainya pada pertengahan Sya`ban sebelumnya.
Ada juga yang menyatakan hadits ini sudah di-takhsis oleh hadits larangan pada hari Syakk itu, sehingga boleh saja menjalankanya.
Hemat penulis, tidak usah risau dengan perbedaan ini. Pelaksanaan sesuai ketentuan adalah tujuan utamanya.
Di sisi lain, ibadah semacam puasa mempunyai peran sentral terhadap kebaikan manusia.
Puasa mempunyai daya efektifitas yang luar biasa sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas spiritual dan mental. Puasa tak ubahnya seperti magnit yang menarik amal-amal kebaikan yang lain, juga sebagai perisai tangguh yang dapat menangkal perbuatan-perbuatan negatif yang sangat mungkin bisa mudah dilakukan ketika tidak sedang berpuasa.
Maka, pembiasaan puasa dibulan ini menjadi media untuk peningkatan totalisan taqwa di bulan Ramadhan nantinya. Wallah a`lam.*
Penulis di Yayasan Bina Qolam Indonesia