Tawakkal berarti dari kata tawakkala – yatwakkalu – tawakkalan yang artinya berserah diri atau memasrahkan.
Oleh: Imam Nawawi
Sebagai negara tropis, Indonesia tidak bisa menolak takdir adanya cuaca panas dan hujan.
Meski belakangan ramai diberitakan cuaca buruk masih akan terus terjadi.
Media Indonesia mengabarkan (21/3) bahwa di Jawa Tengah BMKG memperkirakan potensi bencana alam akan terjadi selam tiga hari ke depan.
“Hujan dengan intensitas sedang dan lebar disertai angin kencang serta petir harus diwaspadai. Potensi bencana berupa banjir, banjir bandang, tanah longsor dan angin puting beliung,” ujar Kepala BMKG Stasiun Meteorologi Ahmad Yani di Semarang.
Bahkan lebih jauh disampaikan ancaman banjir itu akan terjadi juga di wilayah lain, seperti NTB dan Jawa Barat.
Tetapi, kalau mau sedikit menggunakan perspektif iman, dunia mau banyak bencana dan sebagainya itu seutuhnya urusan Tuhan, Allah SWT.
Sekarang ketika manusia sadar cuaca buruk lalu mengambil sikap waspada, siapa manusia yang bisa menahan banjir, mencegah tanah longsor. Tidak ada.
Jadi, langkah terbaik sebenarnya mengisi kehidupan dunia ini, mau musim panas atau musim hujan, ibadah dengan baik, akhlak mulia dibangun. Jangan merusak alam, jangan senenaknya sendiri. Jangan membuat kebijakan yang merusak ekosistem kehidupan.
Kalau ada yang merusak, mengancam alam, beri tindakan tegas secara hukum yang berlaku.
Lebih jauh, bagi setiap Muslim, kalau memang musibah terjadi, sikap terbaik adalah tawakkal kepada Allah. Tidak perlu melakukan hal-hal yang irasional dan malah dapat mengundang murka Allah.
Dan, kalau bencana masih berupa potensi dan masuk dalam perkiraan badan yang otoritatif soal itu, maka perkuat ibadah kepada Allah dengan banyak ibadah, sedekah dan menahan diri dari berbuat keburukan.
Makna
Tawakkal berarti dari kata tawakkala – yatwakkalu – tawakkalan yang artinya berserah diri atau memasrahkan.
Imam Ghazali menerangkan bahwa itu berarti penyandaran hati hanya kepada wakil (yang ditawakkali) semata.”
Kemudian Al-Manawi menerangkan, tawakkal itu ialah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang ditawaakali, yakni Allah Ta’ala.
Sebagaimana perintah-Nya, “Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin berawakkal.” (QS. Ibrahim [14]: 11).
Namun penting dipahami, tawakkal bukan berarti diam dan malas. Itu pemahaman yang keliru terhadap tawakkal.
Tawakkal ialah memacu diri dalam upaya terbaik dan menyikapi keadaan yang terjadi dengan terus berharap kebaikan hanya kepada Allah. Tawakkal itu pekerjaan hati agar diri tidak putus harapan karena keadaan.
Perintah Nabi
Dalam sebuah riwayat disebutkan, seseorang berkata kepada Nabi SAW. “Aku lepaskan untaku, (lalu) aku bertawakkal.”
Nabi menegur orang itu kemudian bersabda, “Ikatlah dulu untamu, kemudian bertawakkallah.” (HR. Hakim).
Jika BMKG memprediksi akan terjadi hujan dan potensi bencana alam terjadi, maka bersiaplah dengan segala kemungkinan.
Mulai dari titik penyelamatan terdekat, persediaan bahan makanan darurat, hingga jalur dan alat evakuasi yang memungkinkan.
Kemudian perbanyak doa, ibadah, sedekah dan kebaikan. Jika nanti ternyata benar, musibah terjadi, maka tawakkallah kepada Allah.
Jadi tawakkal itu adalah sikap terakhir seorang Mukmin dalam menghadapi segala kemungkinan dalam hidup, setelah diri sadar, disiplin dan penuh persiapan.
Pernah suatu waktu Umar bin Khathab bertemu dengan sekelompok penduduk Yaman yang tidak berusaha.
Melihat mereka, Umar bertanya, “Mengapa kamu tidak berusaha?”
Mereka menjawab, “Kami hanya bertawakkal kepada Allah.”
Umar pun menjawab, “Kalian berbohong. Kalian bukan orang yang bertawakkal. Orang yang bertawakkal itu menaburkan benih ke dalam tanah yang subur, lalu memeliharanya sesuai ketentuan-ketentuan bercocok tanam, dan barulah menyerahkan diri bertawakkal kepada Allah.”
Pertanyaannya mengapa harus bertawakkal? Tidak lain karena hanya Allah itulah Tuhan Semesta Alam.
“Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Furqan [25]: 58).*
Penulis aktif di www.masimamnawawi.com