Sebagian besar manusia hanya mengikuti apa kata orang lain, lalu dengan mudah menyimpulkan dan berbuat semaunya, itulah imma’ah
Hidayatullah.com | IMMA’AH adalah sifat labil yang mengikuti arus, mengikuti tren atau kebanyakan orang. Imma’ah adalah sikap yang tidak punya prinsip, krisis identitas dan berjiwa pembebek.
Dalam hal apapun, sifat imma’ah akan selalu terlihat buruk. Lawan dari imma’ah adalah tauthinun nafsi; teguh, punya pendirian dan ciri khas, mengerti identitas diri, dan tegar di atas prinsip.
لَا تَكُونُوا إِمَّعَةً تَقُولُونَ: إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا، وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا، وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا، وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَا تَظْلِمُوا
“Janganlah kalian menjadi orang yang suka ikut-ikutan, yang berkata, “Jika orang-orang baik, maka kami juga akan berbuat baik. Dan jika mereka berbuat zhalim, maka kami juga akan berbuat zhalim.” Akan tetapi mantapkanlah hati kalian, jika manusia berbuat baik kalian juga berbuat baik, namun jika mereka berlaku buruk, janganlah kalian berbuat dhalim.” (HR: Tirmidzi).
Arus informasi yang makin deras membuat gelombang tren silih berganti menghantam. Sifat imma’ah pun seperti jamur di musim hujan, tumbuh subur dalam hati yang kosong dari prinsip iman dan identitas diri.
Saat gelombang tren berupa pakaian serba terbuka menghantam, manusia imma’ah pun seperti buih yang tersorong ombak. Tak peduli pantas atau tidak, tak peduli bertambah cantik atau malah memalukan, manusia, khususnya wanita pun beramai-ramai membuka auratnya.
Giliran jilbab menjadi tren, mereka pun ikut berjilbab, bukan karena hijrah dan kesadaran diri, tapi murni karena ingin terlihat trendy. Ketika gaya hidup berpakaian mewah menjadi tren, tidak sedikit anak-anak muda yang memaksa diri untuk mengikuti.
Tak peduli penghasilan yang sebenarnya belum seberapa, tapi sepatu-sepatu mahal, tas-tas branded, alat elektronik mahal, baju-baju bermerk dan kendaraan terbaru pun nekat dibeli. Semua demi mengikuti tren, semua demi gaya hidup, semua demi pandangan orang lain.
Beginilah manusia imma’ah menghargai diri, nilainya disamakan dengan harga yang tertera pada label pakaian dan barcode barang dan yang terpenting adalah “apa kata orang.”
Imma’ah menjangkiti agama
Hal terparah adalah ketika sifat imma’ah meracuni cara beragama seseorang. Beragama hanya ikut-ikutan tren dan kebanyakan manusia.
Cara beragama yang tidak memiliki pondasi, tidak didasarkan pada prinsip-prinsip asasi, tahapan-tahapan pemahaman yang baik dan pengetahuan yang matang mengenai agama. Hanya mengikuti apa kata manusia, lalu dengan mudah menyimpulkan dan berkata atau berbuat semaunya.
Belajar agama hanya dari internet. Saat ada sesuatu yang tengah hangat dibicarakan, ia pun membaca beberapa artikel, membaca status atau video tokoh idolanya via internet, entah itu tokoh ahli agama atau bukan, lalu sudah merasa mengetahui segalanya. Komentar ke sana ke mari, pasang kritik di status pada media sana dan sini, layaknya agamawan yang telah belajar puluhan tahun.
Inilah penyebab utama, mengapa sering kita saksikan orang awam seenak perutnya menghardik ulama, kiai, bahkan melecehkan fatwa MUI. Orang yang baca Alfatihah saja tidak lancar tak segan-segan mendebat dan menyalahkan ustadz, atau manusia-manusia oportunis yang suka sekali mengikuti pendapat-pendapat nyeleneh dalam beragama.
Rasulullah ﷺ mewanti-wanti umatnya agar menghindari sifat imma’ah. Hadits tersebut memang lemah dari segi sanad tapi shahih dari segi makna.
Intinya, seorang muslim haruslah memiliki prinsip. Prinsip yang bukan sembarang prinsip tapi prinsip-prinsip Islam. Teguh dalam prinsip yang salah bukan berprinsip namanya, tapi ngeyel dan keras kepala.
Tegar di atas kebenaran
Dan jika kita merenungi ayat dan hadis, juga nasihat dari para ulama, akan kita temukan bahwa agar menjadi muslim yang berprinsip, ada beberapa hal yang perlu kita lakukan:
Pertama, menguatkan ash shillah billah, hubungan dengan Allah. Perhatikanlah ayat-ayat berikut:
اَلَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ اِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ اِيْمَانًاۖ وَّقَالُوْا حَسْبُنَا اللّٰهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ
“(Yaitu) orang-orang (yang menta’ati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan:”Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab:”Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS. [3] Ali Imran : 173).
Kedekatan hubungan dengan Allah akan membuat hati lebih teguh, tidak mudah goyah bahkan oleh godaan dan ancaman yang dahsyat sekalipun, apalagi sekadar godaan tren.
Bagi seorang muslim, menghormati ulama dan orang-orang berilmu, dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka, adalah prinsip dalam berakhlak dan berthalibul ilmi. Dia akan tetap berhati-hati saat menyampaikan pendapat karena sadar sikap sok hanya akan menjatuhkan martabat seseorang.
Bagi seorang muslimah, hijab syar’i adalah identitas diri. Apapun kata orang, apapun pendapat tokoh-tokoh liberal, dia tidak peduli. Dia bukanlah dirinya tanpa hijab.
Dan bagi muslim dan muslimah secara umum, ridha Allah adalah tolok ukurnya, harga dirinya dan Islam adalah identitasnya. Seperti apapun gelombang tren bergolak, meriuh rendah saban hari, dia adalah karang yang tetap kokoh di atas ajaran Islam yang shahih.
Kedua, kedekatan hubungan dengan Rasulullah.
Maknanya, menyelami teladan-teladan Rasulullah dalam hidup sebagai muslim yang berprinsip. Lihatlah keteguhan hati beliau saat dirayu dengan berbagai nikmat dunia agar berpaling dari dakwahnya.
“Wahai pamanku, demi Allah, jika pun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku berhenti dari dakwah ini sampai Allah memenangkannya atau aku hancur karenanya, aku tetap tidak akan berpaling dari dakwah dien ini!”
Adapun jiwa-jiwa imma’ah, jangankan tawaran dunia, jangankan matahari dan rembulan, sekadar demi secuil pujian dan pengakuan pun, mereka bisa melupakan agamanya. Demi secuil kekuasaan, mereka bisa menjual agama dan loyalitasnya.
Ketiga, belajar agama dengan benar
Para ulama sangat membenci tradisi belajar agama yang disebut shahafi, yaitu orang-orang yang malas belajar kepada para ulama dan hanya mencukupkan diri dengan membaca. Membaca memang merupakan sumber ilmu yang utama, tapi agama bukanlah sekadar bahan bacaan.
Agama adalah ilmu, pemikiran, olah hati, akhlak, teladan dan praktik nyata dalam kehidupan. Dan semua itu membutuhkan pendidikan, pembelajaran yang nyata dan bertahap, bukan sekadar memasukkan informasi sebanyak-banyaknya ke dalam otak.
Oleh karenanya, para ulama tetap menganjurkan belajar agama kepada para ahli secara langsung. Saat seseorang hadir di majelis ilmu, dia sedang belajar sekian banyak hal: menyerap informasi atau ilmu, belajar bersikap sopan kepada ahli ilmu, menghargai ilmu, berakhlak kepada kawan, bertoleransi, menghargai waktu, bersabar dalam melalui tahapan ilmu dan lain sebagainya.
Hasilnya tentu berbeda dengan orang yang hanya comat-comot sebagian paragraf dari sebuah artikel atau potongan-potongan video.
Tahapan dalam belajar Islam juga sangatlah penting. Jangankan agama, ilmu-ilmu yang hanya akan digunakan di dunia pun harus dipelajari dari basiknya, dari dasar, lalu ke tahap selanjutnya.
Seseorang, secerdas apapun tidak bisa mengabaikan basik dan tahapan dalam belajar. Jika pun memaksakan, hasilnya pasti akan kacau. Dalam belajar Islam, hal ini lebih ditekankan.
Cara pandang dan sikap orang yang belajar agama dari basik lalu bertahap ke level selanjutnya hingga mampu memahami agama, tentu akan sangat berbeda dengan cara pandang dan sikap orang yang belajar agama secara parsial. Orang yang kedua ini, pasti akan memiliki banyak cacat, celah dan kekeliruan karena pengetahuannya tidak komperhensif.
Pembelajaran agama yang benar akan melahirkan pribadi muslim yang berprinsip dan benar-benar mengerti identitas dirinya. Tidak mudah goyah menghadapi berbagai godaan dan tidak gampang ikut-ikutan pemikiran yang bertebaran dan tren yang menyelihisi Islam.
Demikian, semoga Allah meneguhkan hati kita di atas kebenaran. Wallahua’lamu bishawab. */ Taufik Anwar, ar-Risalah