Hidayatullah.com — Koalisi wali murid Muslim dan Kristen di Bethel, Ohio, Amerika Serikat dengan bantuan America First Legal (AFL) menggugat dewan sekolah setempat yang membolehkan siswa menggunakan kamar mandi dan ruang loker berdasarkan identitas gender yang mereka pilih.
Kebijakan dewan sekolah ini, menurut koalisi, dilaksanakan secara diam-diam tanpa persetujuan publik. Aturan ini, lanjut koalisi, dapat menyebabkan anak-anak menggunakan kamar mandi yang sama dengan lawan jenis. Ini jelas melanggar hak Konstitusional orang tua dan agama mereka serta melanggar undang-undang negara bagian Ohio.
Distrik Sekolah Bethel mulai mengizinkan siswa untuk menggunakan fasilitas yang sesuai dengan “identitas gender pilihan” mereka usai seorang anggota departemen mengusulkan perubahan tersebut pada rapat dewan sekolah pada 13 September 2021, menurut gugatan.
Sebelum peraturan berubah dan sejak didirikan pada tahun 1917, sekolah distrik itu telah melarang siswa menggunakan fasilitas seperti toilet dan ruang loker, yang tidak sesuai dengan jenis kelamin biologis mereka.
Anggota departemen yang memperkenalkan perubahan aturan kepada dewan sekolah mengatakan tidak adil bahwa siswa transgender harus menggunakan toilet khusus jauh dari toilet utama dan bahwa seorang siswa yang mengidentifikasi sebagai perempuan tidak dapat menggunakan toilet perempuan hanya karena mereka terlahir sebagai laki-laki.
Sejak rapat dan akhirnya aturan baru diterapkan, pihak sekolah tidak mendiskusikan atau memungut suara mengenai aturan tersebut, ujar koalisi wali murid. Mereka menduga perubahan aturan dilakukan “secara rahasia untuk menghindari penolakan masyarakat”.
Meski dewan sekolah mengklaim bahwa perubahan itu sesuai dengan Amandemen Pendidikan Title IX, koalisi wali murid menyebut itu tidak sesuai. Menurut koalisi, Title IX “secara tegas mengatur praktik bersejarah Bethel yang memisahkan fasilitas intim berdasarkan jenis kelamin biologis”.
“Distrik sekolah di seluruh negeri – yang kepemimpinannya telah ditangkap oleh para ideolog yang sadar dan birokrat yang lemah – secara aktif menghancurkan hak-hak fundamental,” kata Wakil AFL, Gene Hamilton dalam sebuah pernyataan dilansir Fox News (23/11).
“Bebeberapa generasi orang Amerika telah tumbuh di lingkungan yang tidak diragukan lagi menghormati privasi pribadi siswa di ruang intim, dipisahkan oleh jenis kelamin biologis,” tambahnya. “Namun di sini kita sebagai masyarakat di tahun 2022 menjadikan siswa di seluruh negeri ini semacam anti-sains, eksperimen sosial yang pernah tak terduga dan absurd satu dekade lalu.”
Komunitas Muslim Bethel, termasuk yang menggugat sekolah, meminta dibangun toilet untuk jenis kelamin netral di samping toilet sekolah lainnya. Komunitas Muslim bahkan telah menyumbangkan sumber daya untuk membangunnya.
Mereka percaya toilet netral akan memungkinkan siswa transgender menggunakan kamar mandi di area yang sama dengan siswa lain, sehingga mereka tidak perlu menggunakan toilet di bagian lain gedung, menurut gugatan tersebut. Alih-alih mengembalikan aturan ke aturan yang lama, Distrik Sekolah Bethel “mengambil sumber daya para donatur dan membangun kamar kecil” tetapi melanjutkan dengan aturan baru, “tanpa memberi tahu para donatur,” bantah AFL.
Sekolah juga mengatakan siswa transgender dapat menggunakan fasilitas komunal dari identitas gender pilihan mereka dan jika siswa lain tidak ingin menggunakan fasilitas yang sama, mereka dapat menggunakan toilet pribadi satu orang, seperti yang disediakan oleh komunitas Muslim.
Beberapa anak yang diwakili dalam gugatan mengatakan bahwa “karena kebijakan baru itu” mereka “menahan kencing dan menghindari menggunakan kamar kecil di sekolah jika memungkinkan” dan jika mereka melakukannya “itu menyebabkan mereka cemas dan tertekan secara emosional.” Seorang anak mengatakan dia pergi ke kamar mandi dengan seorang teman “untuk membantu melindunginya dan memastikan tidak ada anak laki-laki yang melanggar kesopanannya.”
Orang tua Muslim yang terlibat dalam gugatan percaya kebijakan sekolah menempatkan anak-anak mereka dalam situasi kesopanan yang dikompromikan dan membebani hak mereka untuk membesarkan anak-anak mereka dalam keyakinan Muslim karena sekolah mempromosikan ideologi LGBTQ+, menurut gugatan tersebut.*