Akhlak dan adab menurut Islam merupakan hal yang harus dimiliki sebelum belajar atau mencari ilmu
Hidayatullah.com | DALAM sebuah postingan di sebuah media sosial, seorang ustadz menuduh Syekh Dr Yusuf Al Qaradhawi bukanlah ulama yang punya ilmu. Ia bahkan menyebut Al Qaradhawi tak perlu diambil ilmunya.
Tak pelak, pernyataan ini menimbulkan kehebohan di sejumlah kalangan umat Islam di medsos. Sebagai ulama Mesir yang sangat terkenal Tanah Air, Yusuf al-Qaradhawi bukanlah sembarangan orang. Ia adalah ulama moderat yang pernah menjadi ketua umum Persatuan Ulama Dunia (International Union of Muslim Scholars) dan sudah menulis 148 buku hingga usia senja beliau sekarang 94 tahun, penerima King Faisal International Prize.
Sebaliknya, dibandingkan al-Qaradhawi, pengkritik tidak memiliki rekam jejak yang jelas, baik secara intelektual (semisal jumlah buku yang telah ditulis) ataupun ketokohannya di kalangan umat Islam, baik lokal atau global.
Akhlak dan Adab
Berbeda pendapat bukan berarti harus bermusuhan dan memfitnah ulama lain yang bukan satu golongan dengan kita. Itu namanya kebusukan.
Sayangnya banyak dai-dai seperti ini tidak memilkiki kepasitas keilmuan serta memiliki dada yang lapang yang mampu menghargai perbedaan pendapat. Apa yang menimpa para dai ini sejatinya menunjukkan jurang yang menganga lebar (a great yawning gap) antara intelektualitas dan adab.
Problem ini sebetulnya menyiratkan bahwa sejumlah pendakwah kita terbentur dengan dua krisis akut.
Pertama, lokalisasi pemikiran
Ketertutupan bahkan resistensi terhadap pemikiran lain tak ada hubungannya dengan level pendidikan seseorang. Ia merupakan buah dari kesempitan jiwa.
Ron Ritchhart, seorang psikolog dari Universitas Harvard, menyatakan bahwa kecerdasan otentik lebih merupakan kebiasaan alih-alih hadiah. Ini adalah kecenderungan untuk ingin tahu tentang dunia di sekitar kita, untuk menghargai pemahaman dan pengetahuan daripada keyakinan dan pikiran tertutup.
Layaknya moralis yang selalu memperlakukan orang lain dengan adil dan hormat, seorang intelektual sejati bakal melihat dunia dan memperlakukan orang lain dengan pikiran terbuka dan rasa ingin tahu, bukan ‘sempit kalang’ karena kebencian dan kebodohan.
Keyakinan itu seperti palu. Ia terkadang menjadi alat yang hebat, tetapi lain waktu bisa menimbulkan masalah. Namun keyakinan di atas pijakan kemerdekaan berpikir selalu memikirkan kemungkinan alternatif, melebihi apa yang sudah Anda ketahui.
Bila toleransi lebih bersifat pasif, keterbukaan pikiran berwatak aktif sebab ia mendorong seseorang bergerak melewati batas interpretasi yang dipahaminya selama ini.
Inilah yang menjelaskan mengapa para ulama empat madzhab tak pernah saling menjelekkan apalagi menghina dan menyerang. Buya Hamka memilih berqunut di kala Subuh ketika menjadi imam di kalangan jamaah warga NU, atau sikap ulama Saudi allahyarham Syekh Bin Baz yang mengakui keluasan ilmu Yusuf Al Qaradhawi terlepas perbedaan antara keduanya.
Bagi mereka, kebenaran dan pendapat adalah hal yang berbeda, dan hanya ketika mereka mengeksplorasi pengetahuan dan asumsi di balik pemikiran sendiri, mereka dapat menyesuaikan pendapat tersebut lewat sikap-sikap toleran tanpa harus mengorbankan keyakinan sendiri. Ulama paripurna mengerti tentang integrasi antara ilmu dan adab serta akhlak.
Kedua, lemahnya tradisi menulis
Kelemahan para dai di Tanah Air adalah mereka jarang melahirkan buku-buku secara produktif dan menghabiskan banyak waktu berceramah yang ditayangkan secara visual lewat media sosial. Konsekuensinya mereka tak pernah atau tak terbiasa berpikir dialektis.
Nama-nama semisal Imam Al Ghazali, Imam Syafi’i, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, Yusuf al Qaradhawi, Buya Hamka, M Natsir, KH Hasyim As’ari, selalu berkibar dan bertahta di hati umat bertahun-tahun karena buku-buku mereka. Usia karya-karya intelektual mereka melebihi umur biologis mereka yang dibatasi ruang dan waktu.
Ulama yang menulis (bukan sekadar tesis atau disertasi) lazimnya memiliki pemikiran yang mendalam dan tidak cenderung menghakimi sebab tradisi intelektual ini menggiringnya bersentuhan dengan gagasan penuh nuansa ala pelangi, ketimbang dunia hitam putih semata. Inilah adab mulia dari orang-orang berilmu.*/ Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas