Hidayatullah.com | SUATU HARI –secara tak sengaja– ketika penulis membuka koleksi majalah “Serial Khutbah Jum’at” (1398/1978: hal 64-73), terbaca satu khutbah menarik dari Prof. Rasjidi dengan tajuk “Sekitar Natal dan Tahun Baru”.
Saat itu, terbetik keinginan untuk mengulasnya sebagai artikel. Baru saat inilah keinginan itu terwujud. Terlebih setelah salah satu teman mengirimkan file khutbah yang lebih lengkap dan dijadijan buku kecil yang berjudul “Sekitar Natalan dan Tahun Baru.” (1975)
Esensi dari dua rujukan itu sejatinya sama yaitu bersumber dari khutbah Jum’at yang disampaikan oleh Prof. Rasjidi di Masjid Al-Munawwarah Jakarta pada 5 Januari 1973. Hanya saja, edisi yang sudah menjadi buku kecil sebanyak 20 halaman tersebut jauh lebih lengkap.
Pada pendahuluan khutbah, Prof. Rasjidi bercerita bahwa pada akhir bulan Desember 1972, mendapat kiriman surat dari satu universitas Islam di Sumatra. Dalam tulisan yang sudah dicetak itu, terdapat ungkapan: “MENGUCAPKAN SELAMAT HARI NATAL DAN TAHUN BARU 1973.”
Lantas Prof. Rasjidi pun dirundung rasa heran. Kok bisa salah satu universitas Islam di Sumatra yang konon keislamannya lebih tebal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, kok mengiri surat untuk mengucapkan “Selamat Hari natal dan Tahun baru 1973!” Ini membuat beliau terasa sanksi dan ganjil. Surat itu pun oleh beliau akhirnya tak dibalas.
Setelah mengemukakan kisah tersebut, Prof. Rasjidi menandaskan, “Kejadian ini memberikan kepada saya satu kesan, bahwa banyak diantara kita yang hidup di Indonesia yang tidak tahu menahu soal-soal sejarah, soal-soal tradisi Islam kita yang penting, dan dengan tidak sadar terpengaruh oleh hal-hal yang terjadi disekeliling kita.”
Beliau prihatin dengan sikap kebanyakan masyarakat Indonesia yang asal ikut dengan tradisi yang sebenarnya dia tidak tahu asal-usulnya. Ketika ditanya “Hari Natal itu Apa?” Ternyata tidak tahu. Demikian juga yang ikut merayakan tahun baru, asal ikut saja yang penting meriah. Biasanya memakai mercon yang kadang menimbulkan korban dan seterusnya.
Dalam khutbah tersebut, ada catatan kritis dari profesor jebolan Al-Azhar Kairo ini. Yang dimaksud dengan natal adalah kelahiran Nabi Isa ‘Alaihis salam. Di Eropa atau di Barat mereka memeriahkannya dengan pohon cemara serta hiasan lainnya serta simbol santa claus yang digambarkan memberi hadiah dengan kereta kudanya.
Kata beliau setelah menceritakan sedikit gambaran natal di Barat, “Inilah gambaran Hari Natal yang sangat tidak ada hubungannya sama sekali dengan kita ummat Islam ini, sehingga jikalau satu Universitas Islam mengirim kepada saya surat ‘Mengucapkan selamat Hari Natal dan Tahun Baru’, saya kira saudara-saudara dapat menyetujui, kalau perasaan saya mengaggap itu satu hal yang aneh, yang ganjil.”
Jadi, Hari Natal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan umat Islam. Bahkan kata Prof. Rasjidi, dengan agama Kristen pun sebenarnya tidak ada hubungannya juga. Beliau meluruskan bahwa –dari sumber bacaannya yang ditulis penulis Italia yang dekat dengan Vatikan– Isa tidak dilahirkan pada 25 Desember. Karena pada bulan itu kondisi sangat dingin. Ini juga bertentangan dengan penjelasan al-Qur`an (yang menggambarkan kelahiran Isa pada saat kurma berbuah dan itu tidak dalam musim dingin).
Tak hanya itu. Sampai abad ke-IV, sebagaimana sumber yang dibaca Prof. Rasjidi, orang merayakan Hari natal itu pada tanggal 28 Maret dan ada yang tanggal 18 April dan 28 Mei. Dengan demikian, kelahiran Isa yang dikatakan tanggal 25 Desember terbantahkan dan tak kuat dijadikan landasan.
Istilah Prof. Rasjidi, “Hari Natal yang digambarkan oleh gambaran pohon cemara dengan kapasnya, dengan kereta yang ditarik oleh kuda salju, gambaran itu semua adalah gambaaran yang tidak autentik.” Lalu mengapa tradisi itu bisa menjadi tradisi internasional?
Beliau menjelaskan bahwa justru 25 Desember itu dulunya bertepatan dengan peringatan hari lahirnya pemimpin agama yang dianut orang Eropa saat itu yaitu “Mithra”. Diboncenglah momen ini kemudian disebutkan bahwa Isa lahir pada tanggal ini. Ini dilakukan oleh pendakwah Kristen agar agamanya bisa diterima. Akhirnya, ketika Mithraisme lenyap, tangaal 25 Desember tetap dipercaya sebagai kelahiran Isa.
Saat Prof. Rasjidi di Amerika Utara dan mengetuai Perhimpunan Islam di sana, ada hal menarik yang dihadapi. Pada momen Natal, jika mereka tidak ikut merayakan maka dianggap tidak bergaul dengan mereka. Ada ide menarik Rasjidi. Yaitu “Natalan” dengan mengaji dan merenungi ayat-ayat dalam surah Maryam yang membicarakan tentang kelahiran Isa. Dan itu tak harus dibaca 25 Desember. Kapan saja bisa karena Isa adalah Nabi yang diakui dan diimani oleh umat Islam.
Setelah menjelaskan bahwa Natal atau kelahiran Isa bukan pada 25 Desember, Prof. Rasjidi berkata, “Inilah riwayat daripada Hari Natal, yang bukan pada tanggal 25 Desember, seperti yang dikirimkan kepada saya oleh salah satu Universitas Islam dari Sumatera itu.”
Adapun terkait tahun baru, beliau menyoroti bahwa kebanyakan umat Islam lebih mengenal tahun Masehi daripada Hijriah. Padahal, seharusnya yang lebih dikenal oleh orang Islam adalah Hijriah. Selain itu, tahun Masehi yang didasarkan dari kelahiran Isa, menurut buku yang dibaca Prof. Rasjidi dari penulis Italia, ternyata Nabi Isa dilahirkan 7 tahun sebelumnya. Artinya, penentuan awal tahun Masehi pun terdapat kekeliruan.
Semua itu dikemukakan Prof. Rasjidi agar umat Islam suka melakukan penyelidikan serta berpikir melepaskan kebiasaan ikut-ikutan tanpa mengerti hakikatnya. Apalagi kalau berkaitan dengan akidah Islam.
Dari khutbah singkat Prof. Rasjidi yang sudah dibukukan ini, ada beberapa pesan menarik yang bisa disarikan:
Pertama, umat Islam jangan latah mengikuti tradisi yang tidak ada kaitannya dengan Islam. Sebagaimana Prof. Rasjidi yang tidak ikut-ikut mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru.
Kedua, Nabi Isa bukan dilahirkan pada 25 Desember.
Ketiga, kajilah kelahiran Nabi Isa misalnya melalui surah Maryam. Dan itu tidak harus pada momen 25 Desember.
Keempat, ada kesalahan dalam penentuan awal tahun baru Masehi.
Kelima, umat Islam semestinya lebih dekat dan mengenal tahin Hijriah daripada masehi.*/Mahmud Budi Setiawan