Oleh: Beggy Rizkiyansyah
SALAH satu hal yang turut menentukan perjuangan umat Islam adalah penguasaan media massa. Melalui media massa, peperangan pemikiran yang sengit, penyebaran ilmu serta penguasaan opini di masyarakat dapat dikuasai.
Perjuangan umat Islam di Indonesia melalui media massa nyatanya memang telah berurat dan berakar, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Jika kita bercermin dari lembaran sejarah, akan terlihat media massa Islam menjadi roda-roda penggerak perjuangan umat Islam, menjadi minyak yang membakar perjuangan umat Islam, bahkan seiring sejalan dengan terbit atau terpuruknya nasib umat di negeri ini.
Selama berabad-abad, umat Islam di Indonesia telah menjadi satu bagian penting dari umat Islam di dunia. Ulama-ulama Melayu-Nusantara merajut ukhuwah sekaligus jaringan keilmuan dengan ulama-ulama lain berbagai penjuru dunia. Mereka membaur, memusat di Makkah dan Madinah yang menjadi pusat menimba ilmu di dunia.
Para penuntut ilmu itu membentuk suatu komunitas jawi (ashab al-jawiyun). Entah mereka berasal dari Sumatera, Malaya, Jawa, Sulawesi atau bagian lain dari Nusantara, mereka akan dikenal sebagai orang Jawi. Komunitas ini berperan besar dalam transmisi ilmu di Nusantara. Selepas menuntut ilmu, sebagian dari mereka menetap dan mengajar di Tanah Suci, sebagian lainnya kembali ke kampung halamannya. Menyebarkan ilmunya, mencerahkan umat di tanah air, dan mendirikan institusi-institusi pendidikan seperti pesantren, surau atau dayah. Melalui institusi semacam inilah pengetahuan Islam ditimba. Dan Ulama menjadi poros keilmuan Islam di masyarakat.
Lembaran sejarah memasuki halaman baru, di abad ke 19. Setelah Makkah dan Madinah, Kairo kemudian mulai dilirik oleh orang-orang Melayu-Nusantara sebagai salah satu kiblat pendidikan Islam di dunia. Pesona institusi bernama Al Azhar menyinarkan kemilaunya. Namun gerakan pembaruan (atau biasa disebut reformasi) Islam yang menjadi ruh utamanya. Pengaruh Al Afghany dan khususnya Muhammad Abduh meniupkan sebuah angin perubahan yang kencang mendera seluruh negeri, sampai menjalar ke tanah air.
Banyak dari penuntut ilmu yang sebelumnya berguru di Makkah dan Madinah, kemudian melanjutkan studinya di Kairo. Di sini para penimba ilmu dari Melayu-Nusantara, membentuk komunitas pelajar yang berasal dari Hindia Belanda dan Malaya, yang disebut Jawi Riwaq [Zakariya, Hafiz. 2011. Cairo and The Printing Presses as The Modes in the Dissemination of Muhammad Abduh’s Reformism to Colonial Malaya. IPEDR, vol 17].
Mereka kemudian menjadi penyerap ide-ide Muhammad Abduh, yang tersebar melalui sirkulasi Majalah Al Manar. Seruan pembaruan yang menggelorakan gerakan kembali ke Al Quran dan Sunnah mendapat sambutan hangat. Ide-ide Abduh yang berusaha menjawab keterpurukan umat Islam turut menarik perhatian kala itu. Pemikiran Abduh semakin meluas dengan dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridha.
Salah satu yang terpengaruh oleh ide-ide ini adalah seorang pelajar bernama Tahir Jalaluddin (1869-1956). Pemuda Minang, keturunan Tuanku Nan Tuo, seorang ulama besar pada masa Paderi. Setelah 12 tahun belajar di Makkah dengan Syeikh Ahmad Khatib Minangkabawi, tahun 1895 Thahir Jalaluddin meneruskan pendidikannya di Kairo. Di sini ia mulai mengenal Al-Manar dan mengenal Rashid Ridha.
Bersama sahabatnya, Syeikh Sayid Al Hadi (1867-1934), Thahir Jalaluddin menempa ilmu di Kairo. Paham pemurnian Islam melaju deras bersama modernisasi dalam gerak Islam. Pemakaian mesin cetak untuk media massa dan buku-buku pelajaran Islam, yang sebelumnya ditolak oleh sebagian ulama karena dianggap bagian dari sekularisasi, nyata-nyata menginspirasi para murid Riwaq Jawi ini. Pemakaian teknologi ini kemudian melahirkan sebuah budaya cetak yang revolusioner, yang akan mengubah wajah dunia Islam di Hindia Belanda dan sekitarnya. [Burhanuddin, Jajat. 2004. The Fragmentation of Religius Authority : Islamic Print Media in Early 20th Century Indonesia.Studia Islamika, 11]
Mesin cetak pertama kali dikenalkan ke Nusantara, bahkan Asia Tenggara, oleh missionaries Kristen Jesuit tahun 1588 di Filipina. Namun baru 1744 ketika Vendunieuws muncul sebagai surat kabar pertama di Batavia. Kemudian Bataviasche Coloniale Courant (1801) menyusul. Keduanya merupakan surat kabar yang kebanyakan berisi berita pelelangan dan iklan. Berikutnya perkembangan surat kabar tak lagi terbendung. Pemilikan dan peruntukan surat kabar mulai dari orang asing, hingga yang diperuntukkan bagi masyarakat Melayu, yaitu Al Djuab (1795-1801) bersemi saat itu. Namun, yang seringkali dikenang adalah Bintang Hindia, yang di asuh oleh Abdul Rivai, karena mulai memberikan gambaran Hindia sebagai sebuah bangsa. Ada pula Tirtoadsurjo, tokoh Sarekat Dagang Islam (SDI) yang dikenal mula-mula, mendirikan Soenda Berita, sebuah mingguan berbahasa Melayu pertama di Indonesia tahun 1903. [Sunarti, Sastri. 2013. Kajian Lintas Media, Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau (1859-1940-an). Jakarta : KPG]
Begitu menjamurnya surat kabar, namun tak satu pun yang membawa Islam sebagai benderanya. Barulah pada tahun 1906, selepas pulang dari Kairo, Syeikh Tahir Jalaluddin menerbitkan Al Imam di Singapura. Bersama Syeikh Al Hadi (Singapura), serta Haji Abbas bin Muhammad Taha (Aceh) merintis Al Imam menjadi media massa Islam pertama di tanah Melayu-Nusantara. Tentu saja saat itu belum ada negara bernama Indonesia, Singapura ataupun Malaysia. Yang ada ialah wilayah-wilayah yang dijajah oleh Inggris dan Belanda. Majalah Al Imam mampu menerobos batas-batas kolonial itu, hingga mampu menciptakan bayangan akan sebuah komunitas bernama bangsa Melayu. Sebuah bayangan yang mampu untuk menembus sekat-sekat wilayah yang diciptakan penjajah dan mengikat bangsa Melayu menjadi satu dalam ikatan agama Islam. Pernyataan itu di tandai oleh Al Imam dengan pemakaian istilah Umat Timur, Umat Melayu, Umat Kita sebelah sini, Umat Islam kita di sini, oleh Al Imam untuk menyebut bangsa Melayu.[Laffan, Michael Francis. 2003. Islamic Nation Hood and Colonial Indonesia, The Umma Below the Winds. New York : RoudledgeCurzon.]
Sejak awal Al Imam memang bersuara menyatakan penyesalannya akan nasib umat Islam di tanah Melayu-Nusantara yang tertajajah di mana-mana. Dalam sebuah edisinya, mereka menyebut Tanah Sumatera, Tanah Manado, Tanah Jawa, Tanah Borneo dalam genggaman Belanda, hingga tanah Melayu peninsula dalam cengkeraman Inggris. (Al Imam Vol. 1, No. 3, 19 September 1906). Harapan mereka tak lain agar umat Islam mampu meraih kemerdekaannya
Al Imam berdiri mengibarkan Islam sebagai dasarnya. Menyebarkan dakwah Islam. Mengikuti jejak jejak Al Manar dengan semangat pembaruan dan pemurnian Islam, Al Imam menegaskan haluannya untuk ; mengingatkan mereka yang terlupa; membangunkan mereka yang terlelap; menunjukkan arah yang benar kepada mereka yang tersesat; memberi suara kepada mereka yang berbicara dengan bijak; mengajak umat Islam berupaya sebisa mungkin untuk hidup menurut perintah Allah; serta mencapai kebahagiaan terbesar di dunia dan memperoleh kenikmatan Tuhan di Akhirat. (Majalah Al Imam, I Juli 1906). [Burhanudin, Jajat. 2012. Ulama & Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia.Jakarta : Mizan Publika]
Nyatanya pengaruh Abduh dan Ridha memang besar bagi Al Imam. Majalah Al Manar mewarnai Al Imam begitu kental. Bahkan Al Imam memuat tafsir Muhammad Abduh yang dimuat oleh Al Manar. Tafsir ini mereka muat tahun 1908, atau dua tahun setelah terbitnya Al Imam. Pemuatan tafsir Al Manar karya Muhammad Abduh ini, bagaimana pun membuka pintu reformasi agama di tanah Melayu dan Hindia Belanda. Jika sebelumnya tafsir yang dipakai di Hindia Belanda umumnya adalah tafsir Jalalain (Al-Suyuthi) yang hanya dipelajari di pesantren, maka kini Al Imam membuat tafsir yang dapat dibaca oleh kalangan yang lebih luas.
Melalui media massa cetak pula, Al Imam membuka pintu pembelajaran bagi umat Islam, yang biasanya hanya di lakukan di pesantren. Hal ini turut melepas ‘monopoli’ ulama tradisional di Pesantren sebagai satu-satunya pemegang otoritas keilmuan. Dan yang terpenting Al Imam membawa budaya baru bagi umat Islam di Melayu dan Hindia Belanda, yaitu budaya cetak. Kemajuan inilah yang akhirnya membuka pintu lahirnya pers Islam lainnya di Indonesia.
Jejak Al Imam meresap begitu mendalam bagi umat Islam di Hindia Belanda, hingga tahun 1911 di Sumatera Barat terbitlah sebuah majalah bernama Al Munir. Al Munir didirikan sebagai wadah bagi kaum muda yang menggelorakan pembaruan Islam di Sumatera Barat. Didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad, Al Munir menjadikan Al Imam sebagai contohnya. Haji Abdullah Ahmad sendiri sebelumnya adalah perwakilan Al Imam di Padang Panjang. Kunjungannya ke Singapura memungkinkan dirinya untuk mempelajari manajemen penerbitan ala Al Imam dan keterampilan teknis menerbitkan majalah. Begitu sentralnya peran Haji Abdullah Ahmad, hingga ia seringkali dipanggil, Haji Abdullah Al Munir. (bersambung)
Penulis adalah pegiat Jejak Islam untuk Bangsa