Sambungan artikel KEDUA
Oleh: Ilham Kadir
Gelombang yang akhirnya mulai menerpa dan mengancam para Kesatria Salib Franj adalah serentetan pemimpin Muslim yang masing-masing lebih besar dari yang pernah ada.
Yang pertama di antara mereka adalah Jenderal Imaduddin Zanki dari Turki, yang memerintah Mosul, lalu mengambil Aleppo, dan kemudian menyerap kota-kota lainnya yang dikuasai Franj, dan pada akhirnya membuat sebuah teritorial yang ia sebut Suriah Bersatu, Zanki adalah rajanya.
Inilah kebangkitan awal sejak lima puluh tahun, sebuah negara Islam lebih besar daripada satu kota dan sekitarnya di Syam.
Pasukan Zanki dihormati karena dia sosok prajurit arketipal. Hidup apa adanya sebagaimana rakyatnya, makan apa yang mereka makan, dan tidak angkuh. Dia lalu menebar semacam propaganda bahwa umat Islam memiliki musuh bersama (common enemy) lalu mengatur kampanye melawan musuh itu.
Pertama, ia menyaring habis seluruh kelemahan mesinnya dengan melenyapkan para penjilat dari istana serta para pelacur dari pasukannya, dan terpenting, dia membangun jaringan informan propagandis di seluruh Suriah untuk memastikan semua gubernurnya tetap sejalan.
Tahun 1144, Sang Jenderal menaklukkan Edessa, yang menahbis dirinya menjadi pahlawan bagi dunia Muslim. Edessa bukanlah kota terbesar di Timur, tapi merupakan kota pertama yang cukup besar yang berhasil direbut kembali kaum Muslimin dari pasukan Salib, dan dengan merebut Edessa berarti merampas salah satu dari empat ‘Kerajaan Tentara Salib’, dan gelombang harapan mulai menjalar ke segenap pelosok Syam, di lain pihak, gelombang kecemasan telah menerpa Eropa Barat, lalu menginspirasi para raja dan pemuka agama untuk melancarkan: Perang Salib Kedua.
Zanki, mendorong dan mendukung para khatib di masjid-masjid untuk mengobarkan semangat jihad sebagai alat mempersatukan umat, dan itu sangat efektif. Sayangnya, Sang Jenderal memiliki kekurangan secara personal, dan tentu saja tidak disenangi para ulama. Karenanya dianggap tidak layak memimpin pasukan jihad.
Hal terpenting dari jasa Jenderal Zanki adalah ia telah menciptakan sebuah gerakan Anti-Salibis yang dapat dilanjutkan oleh penguasa lain yang lebih shaleh dan maju ke depan sebagai panglima jihad. Ia telah membangun kanal untuk diairi generasi mendatang.
Itulah kenyataannya, putra penerus tahtanya, Nuruddin Mahmud Zanki. Nuruddin Zanki memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki sang ayah. Meskipun memiliki energi kemiliteran sama dengan ayahnya, Nuruddin berperawakan lebih halus, diplomatik, dan shaleh. Dia menyerukan umat Islam untuk bersatu berpegang teguh pada ajaran Ahlus Sunnah wal-Jamaah. Karena itu, sejarawan Barat menjulukinya sebagai pemimpin dogmatis dan menjadikan jihad sebagai salah satu tujuan dalam beragama. [Baca: Nuruddin Mahmud Zanki, Pahlawan Muslim yang Terlupakan [bag. 1]]
Ia telah menghidupkan citra tentang orang adil dan Shaleh yang berjuang bukan untuk ego, atau kekayaan, kekuasaan, tapi untuk umat. Dan, telah membangunkan umat dari mimpi panjang, mengembalikan kesadaran mereka, dan hebatnya, ia dapat memelihara semangat jihad yang dapat digunakan penguasa lain yang lebih besar dan mampu menyusun kemenangan politik dalam arti sesungguhnya.
Dalam kisahnya, Nuruddin Zanki, pernah bermimpi berkali-kali, Nabi minta tolong padanya, kenyataannya, ada orang Yahudi sedang menggali kuburan Nabi untuk mencuri jasadnya.
Pemimpin dan penguasa yang datang setelahnya adalah Salah Al-Din Yusuf ibn Ayub, bahasa Kurdish disebut Silhedine Eyubi. Bahasa Parsinya Selahuddin Eyyubi. Orang Barat menyebutnya, Saladin. Tapi umat Islam mengenalnya sebagai Shalahuddin Al-Ayyubi, keponakan salah satu jenderal tinggi Nuruddin Zanki.
Pada tahun 1163, Nuruddin mengirim paman Shalahuddin untuk menaklukkan Mesir di bawah Dinasti Fathimiyah, ia memang Ahlus Sunnah yang paham akan bahaya dan kesesatan Syiah. Sekaligus untuk berjaga-jaga jangan sampai direbut oleh Tentara Salib atau menghindari adanya kerjasama pasukan Salib dan Syiah.
Sang Jenderal, membawa serta ponakannya, lalu berhasil merebut Mesir, dan tak begitu lama kemudian, ia pun wafat, meninggalkan Shalahuddin sebagai pewaris tanggungjawab. Secara resmi, Mesir masih milik Dinasti Fathimiyah, namun kekuasaan sesungguhnya milik wazirnya, dan pengadilan Mesir dengan senang hati menerima Shalahuddin sebagai wazir baru pengganti sang paman, terutama karena ia masih muda, baru berumur 29 tahun, dan para pembesar istana berpikir bahwa usia muda dan minimnya pengalaman akan membuat ia mudah diperalat.
Shalahuddin, di bawah bayang-bayang pamannya, hanya sedikit menunjukkan tanda-tanda kebesarannya. Berwatak diam dan bersahaja, tidak menunjukkan kecendrungan untuk berperang apalagi ambisi sebagai penguasa. Segera setelah mengambil alih Mesir, Nuruddin memerintahkan untuk menghapus secara total Dinasti Fathimiyah.
Di saat yang sama, Pemimpin Dinasti yang Syiah-Rafidhan itu, adalah seorang pemuda yang baru berusia dua puluh tahun namun sakit-sakitan. Ia benar-benar tidak memerintah, hanya sekadar boneka para pembesar istana.
Shalahuddin menunaikan perintah Nuruddin secara lembut namun terencana. Menggulingkan Khalifah Fathimiyah secara perlahan, sehingga Sang Khalifah bahkan tidak mengetahui akan hal itu. Suatu Jumat, Shalahuddin hanya mengatur agar seorang warga negara berdiri di atas mimbar membaca khutbah atas nama Khalifah Abbasiyah di Bagdad. [Baca juga: Sikap Panglima Shalāhuddin Al-Ayyubi Terhadap Syiah]
Tak ada seorang pun yang protes, dan tindakan penggulingan yang lembut namun jitu itu, tuntas. Sedang, pemimpin dinasti yang muda dan sakit-sakitan itu pun kemudian wafat tanpa ia sadar bahwa dirinya telah menjadi warga biasa dan dinastinya talah lenyap. Lalu, menjadikan Shalahuddin sebagai penguasa tunggal Mesir.
Atasannya di Suriah, Nuruddin selalu mengatur pertemuan dengan sang bawahan, Shalahuddin. Namun, bawahannya selalu ada alasan untuk tidak bertemu dan mengelak. Namun, dia berfikir, senior tidak mesti diperlakukan tidak sopan, dan tetap rutin bekoordinasi dengan Nuruddin, termasuk mengirim upeti dan hadiah, (Ash-Shalabi, 2013).
Dan, tetap bertahan, bahwa dirinya adalah bawahan Nuruddin sampai atasannya meninggal dunia. Kemudian, Shalahuddin menyatakan dirinya adalah penguasa tunggal Mesir dan Suriah. Beberapa pengikut Nuruddin mengutuknya, dan menyebutnya pemula yang sombong dan tak tahu diri, tetapi mereka berenang melawan arus sejarah. Sang Penyelamat telah tiba.
Shalahuddin, berperawakan kecil, tampangnya seperti orang termenung, sorot matanya melangkolis. Tetapi ketika tersenyum, dia bisa memecahkan keheningan ruangan. Sangat dermawan, sampai-sampai memiskinkan dirinya sendiri, rendah hati terhadap yang lemah, tapi gagah di hadapan orang kuat. Tak ada yang dapat mengintimidasi dirinya, namun, kharismanya dapat mengintimidasi seluruh musuhnya. Sebagai seorang pemimpin militer, dia terbilang kawakan, tapi tidak istimewa. Kukuasaan dan kekuatannya, hakikatnya terletak pada kenyataan bahwa rakyat amat mencintainya. Kehidupan pribadinya amat zuhud, dan kerasnya terhadap diri sendiri, sebagaimana atasannya dahulu, Nuruddin, namun tidak menuntut orang lain atau bawahannya untuk ikut seperti dirinya. Para pengkhianat dan penjilat yang datang kepadanya justru heran, karena diberi hadiah atas kelakuannya. Dan inilah manusia yang pernah berkata, Bagiku, uang dan debu tidak ada bedanya, (Syamsuddin Arif, 2007).
Hashashin berusaha keras untuk membunuh Shalahuddin, sebagaimana yang kerap mereka lakukan pada penguasa sebelumnya. Dua kali mereka menerobos langsung ke kamar tidurnya ketika ia sedang terlelap. Sekali mereka melukainya di kepala tetapi dia sedang mengenakan penyangga leher dari bahan kulit dan helm logam di bawah serbannya. Setelah dua percobaan pembunuhan, Shalahuddin memutuskan untuk menumpas habis Hashashin. Dia merencanakan pengepungan benteng mereka di Suriah.
Apa yang terjadi terjadilah. Hashashin yang digambarkan sebagai teroris, mafia, dan bandit yang bagitu besar pengaruhnya bagi imajinasi publik, dan setelah membuat dua kali percobaan pembunuhan pada Shalahuddin, justru menggali lobang kuburan sendiri, dan menjadikan Shalahuddin laksana Hang Tuah dalam sejarah heroik dunia Melayu-Indonesia. Tak terkalahkan!
Peserta Kaderisasi Seribu Ulama (KSU) BAZNAS-DDII; Kandidat Doktor Universitas Ibn Khaldun (UIKA), Bogor