Sambungan artikel KETIGA
Oleh: Muhammad Cheng Ho
Tekad NU untuk mempersatukan umat tampaknya betul-betul bulat. Pada tanggal 20-24 Juni 1937, mereka mengundang organisasi Islam yang berada di luar mereka agar menghadiri Kongres NU ke-12 di Malang. Bunyi undangan itu, “…kemarilah tuan-tuan yang mulia, kemarilah, kunjungilah permusyawaratan kita, marilah kita bermusyawarah tentang apa-apa yang menjadi baiknya Igama (agama –pen) dan umat, baik pun urusan Igamanya, maupun dunianya, sebab dunia ini tempat mengusahakan akhirat dan kebajikan tergantung pula atas beresnya perikeduniaan.” [Safrizal Rambe, Ibid, hlm.284]
Sikap kompromi dan toleransi seperti ini serta aksi perlawanan kaum muslimin terhadap pemerintah kolonial, kaum adat, dan penista agama, mendorong berdirinya suatu federasi Islam yang baru, bernama Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) di Surabaya pada tanggal 21 September 1937.
MIAI dibentuk atas inisiatif Tokoh NU KH. Wahab Hasbullah dan KH. Muhammad Dahlan, Tokoh Muhammadiyah KH. Mas Mansur, dan Tokoh PSII Wondoamiseno. Dalam rapat pembentukan MIAI yang dihadiri beberapa organisasi lokal, tersusun sekretariat pertama yang diisi oleh Wondomiseno sebagai sekretaris, KH. Mas Mansur sebagai bendahara, serta KH. Muhammad Dahlan dan KH. Wahab Hasbullah sebagai anggota.
Sementara itu kedudukan KH. Mansur di Muhammadiyah terus menanjak. Tak hanya berhasil dipilih sebagai ketua cabang Muhammadiyah Surabaya, tetapi juga ditunjuk sebagai konsul Muhammadiyah untuk wilayah Jawa Timur. Lebih dari itu, dalam kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1937, beliau dipilih sebagai ketua pengurus besar. Konsekuensinya, beliau harus pindah ke Yogyakarta. [Soebagijo, K.H. Mas Mansur Pembaharu Islam di Indonesia, Gunung Agung: Jakarta, 1982, hlm.32]
Kepindahannya ke Yogyakarta menyebabkan adanya perubahan dalam susunan pengurus besar MIAI menjadi: KH. Muhammad Dahlan (penasihat), Wondoamiseno (Ketua), Faqih Usman dari Muhammadiyah (Bendahara), serta KH. Wahab Hasbullah, S. Umar Hubeis dari Al-Irsyad, Sastradiwirja dari Persis, dan Abdulkadir Bahalwan dari PSII (anggota).[ Mizan Sya’roni, Ibid, hlm. 58]
MIAI sepakat akan menjadi, “tempat permusyawaratan, suatu badan perwakilan yang terdiri dari wakil-wakil atau utusan-utusan dari beberapa perhimpuanan-perhimpunan yang berdasarkan agama Islam di seluruh Indonesia.” Firman Allah dalam surat Ali-Imran ayat 103 menjadi asas pendirian MIAI, “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” [H.Aboebakar, Ibid, hlm. 359]
Tujuan MIAI sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya, adalah untuk “menggabungkan seluruh organisasi Islam untuk bekerja sama, mendamaikan apabila timbul pertikaian di antara golongan umat Islam Indonesia baik yang telah bergabung di dalam MIAI, maupun yang belum, merapatkan hubungan di antara umat Islam Indonesia dengan umat Islam negara lain, menyelamatkan agama Islam dan umatnya, dan membangun Kongres Muslimin Indonesia.” [Ibid, hlm. 348-349
Di balik itu, kata Prawoto Mangkusasmito, ada tujuan politik gerakan MIAI yang tersembunyi, yakni mempersatukan gerakan Islam untuk melawan kolonialisme Belanda. [Prawoto Mangkusasmito, Memfokuskan Masa Lampau ke Masa Depan, dalam Ahmad Syafii Maarif, Ibid, hlm. 19]
Tampaknya ini strategi MIAI agar tak diberangus oleh pemerintah kolonial.
Kemunculan MIAI disambut positif oleh organisasi-organisasi Islam. Kalau di awal kelahirannya hanya beranggotakan tujuh organisasi, yakni PSII, Muhammadiyah, Al-Islam (Solo), Persyarikatan Ulama (Majalengka), Al-Irsyad (Surabaya), Hidayatul Islamiyah (Banyuwangi), dan Al-Khairiyah (Surabaya), maka tahun 1941 bertambah menjadi 22 organisasi, termasuk 15 anggota biasa yaitu Nahdlatul Ulama, PSII, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Jong Islamieten Bond (JIB), Persyarikatan Ulama, Al-Islam (Solo), Al Ittihadul Islamiyah (Sukabumi ), Partai Islam Indonesia (PII), Partai Arab Indonesia, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (Singli), Musyawarat Al-Tolibin (Kandangan, Kalimantan), Al-Jami’atul Washliyah (Medan), Nurul Islam (Tanjungpandan Bangka Belitung) dan tujuh anggota luar biasa, yaitu Al-Hidayatul Islamiyah (Banyuwangi), Majelis Ulama Indonesia (Toli-toli, Sulawesi), Persatuan Muslimin Minahasa (Manado), Al-Khairiyah (Surabaya), Persatuan Putera Borneo (Kalimantan), Persatuan India Putera Indonesia dan Persatuan Pelajar Indonesia-Malaya di Mesir (sebuah organisasi mahasiswa Indonesia dan Malaya di Mesir).
Persatuan yang MIAI serukan bukan tanpa kerikil. Setidaknya kita bisa saksikan pada empat kejadian. Kejadian pertama, terjadi perseteruan antara NU dan PSII saat kongres pertama MIAI di Surabaya tanggal 26 Februari-1 Maret 1938. NU yang ketika itu belum menjadi anggota MIAI (KH.Wahab Hasbullah dan KH. Muhammad Dahlan mendirikan MIAI atas nama pribadi dan baru masuk pada tahun 1939), mengirim dua utusan ke kongres, yaitu Abdul Fakih dan Abdullah Ubayd. Namun NU segera menariknya kembali ketika kongres sedang berjalan. [Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Gema Insani:Jakarta, 1996, hlm.18]
Sebab NU tak mau kongres pertama MIAI dianggap sebagai lanjutan kongres-kongres Al-Islam tahun 1920-an oleh kalangan PSII. NU ingin kongres itu sebagai awal yang baru bagi persatuan umat Islam di Indonesia. Sementara para pemimpin PSII ingin menuntut pengakuan atas usaha mereka di tahun 1920-an. NU menilai itu sebagai hasrat PSII untuk diakui sebagai imam dari organisasi-organisasi Islam, sehingga NU menganggap acara kongres sekadar untuk menutupi keinginan PSII.
Oleh karena itu, NU mengusulkan agar awalan ini hendaknya membicarakan dasar-dasar MIAI dan baru kemudian membicarakan acara yang telah disusun. NU bukan hendak melenyapkan adanya kongres-kongres Al-Islam sebelumnya, namun menganggap ini bersifat “sementara” untuk mencapai maksud pada masa tertentu. Tapi ketika perdebatan memuncak dalam kongres, NU pun mencap kongres-kongres sebelumnya “tidak berguna untuk kaum muslimin.” Perasaan-perasaan seperti ini akhirnya mencair juga. Wondoamiseno dari PSII yang duduk dalam pengurus MIAI tidak mengambil tindakan terhadap NU karena dilarang federasi.
Kejadian kedua, pernah terjadi konflik di MIAI antara Abikusno dari PSII dan Wiwoho dari PII, yang masing-masing mencoba menguasai MIAI. Namun persaingan ini tidak dapat memecah MIAI sebab pada kongres di Surabaya, MIAI dapat mengeluarkan resolusi-resolusi yang penting, terutama karena usaha-usaha diplomatis Wondoamiseno. [Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda, Gramedia: Jakarta, 2014, hlm.192]
Kejadian ketiga, NU dan PSII berbeda sikap terhadap kelompok Ahmadiyah Lahore. Di kongres tahun 1938 itu, NU menolak keberadaan Ahmadiyah Lahore di dalam MIAI. Sedangkan PSII toleran terhadap Ahmadiyah Lahore. Namun akhirnya sidang Dewan MIAI memutuskan penolakan terhadap organisasi tersebut. Keputusan ini diperkuat oleh sidang pleno MIAI di Solo bulan Juli 1941.
Kejadian keempat, MIAI dan anggota-anggotanya, terutama PSII, berselisih mengenai sikap politik. Ketika itu, MIAI mendukung tuntutan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang menginginkan Indonesia berparlemen. Namun dukungan MIAI ini bukan tanpa syarat, lebih-lebih ketika GAPI menyusun memorandum mengenai rencana konstitusi negara. MIAI dalam surat edarannya, menyatakan keinginannya membuat amandemen karena antara lain “agama mayoritas rakyat Indonesia adalah Islam, maka sudah semestinya Staatshoofd (kepala negara) Indonesia adalah orang Islam.” Ini bukan berarti “kepentingan golongan-golongan bangsa Indonesia yang lain kepercayaannya akan terlantar,” terangnya, karena “Islam dengan ajaran-ajarannya yang mencukupi kebutuhan masyarakat maju, tidaklah mungkin bertindak tidak adil.” MIAI juga menginginkan adanya kementerian yang mengurus pengadilan agama, masjid, wakaf, dan perkara-perkara yang menjadi kepentingan Islam.
Mengetahui hal itu, PSII yang bertanggung jawab atas penyusunan GAPI, lalu mengumumkan bahwa surat edaran MIAI hanyalah suatu usul yang akan dipertimbangkan lebih jauh oleh anggota-anggota MIAI. Sedangkan MIAI berpendapat bahwa “sudah sepatutnya … memajukan suatu amandemen (tambahan), ialah suatu desakan kepada GAPI agar supaya tidak melupakan nasib umat Islam Indonesia yang berjumlah lebih kurang 90% daripada rakyat Indonesia pada umumnya.” MIAI juga menambahkan bahwa sebelumnya mereka tidak diberitahu tentang rencana itu.
Meski begitu, GAPI dan MIAI menerangkan, “tidaklah ada perselisihan paham atau perselisihan pendirian tentang menuntut terapainya Indonesia berparlemen,” dan ,” bantuan serta sokongan MIAI dalam kepentingan ini dijanjikan dan telah pula dilakukan dengan sepenuhnya.” Sarekat Islam dan anggota lainnya pun tetap berada dalam MIAI.
Di saat api persatuan sedang berkobar-kobar, muncul tantangan dari Partai Indonesia Raya (Parindra). Parindra memuat artikel yang melecehkan Islam di majalah Bangun , dalam dua edisi, tanggal 15 Oktober dan 1 November 1937. Artikel yang ditulis oleh Siti Soemandari itu membela rancangan undang-undang perkawinan pemerintah kolonial yang berisi penghinaan terhadap Rasulullah dan peraturan perkawinan dalam hukum Islam. Ia menulis Nabi Muhammad sebagai orang yang cemburuan dan menganggap banyak bagian dari hukum perkawinan Islam ditujukan untuk membenarkan “nafsu” Nabi. Menurut seorang penulis bernama Wibisono, artikel itu sebenarnya bermaksud melenyapkan keshalihan Nabi dan hendak menyatakan bahwa poligami itu kuno. Belakangan rancangan undang-undang itu dibatalkan karena kerasnya protes umat Islam.
Kongres pertama MIAI lalu menuntut agar pemerintah mengambil tindakan hukum terhadap orang-orang yang melakukan penghinaan atas Nabi dan agama Islam, meminta persoalan-persoalan agama dikembalikan pada umat Islam, mendesak pemerintah untuk menolak pemindahan wewenang pembagian waris dari pengadilan agama ke pengadilan negeri biasa (landraad), yang menurut rencana akan dipindahkan ke pengadilan negeri.
Selain itu, kongres juga mencari jalan agar organisasi-organisasi Islam mau menyatukan pendapatnya mengenai awal bulan puasa dan lebaran, menuntut agar pemerintah menghapuskan bea potong hewan yang dimaksudkan untuk kurban, dan menyeru semua organisasi Islam agar memberi perhatian terhadap pemberian pelajaran agama Islam kepada transmigran Jawa di pulau-pulau lain, menyarankan kepada oganisasi-organisasi Islam agar mereka melakukan shalat ghaib untuk para korban yang jatuh dalam perang Palestina serta menuntut kepada Liga Bangsa-bangsa untuk membatalkan pemisahan Palestina sebagaimana yang dilakukan oleh Inggris.* (bersambung)
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)