Sambungan artikel PERTAMA
Disamping itu, berbagai kepala negara di negeri-negeri Muslim dengan antusias menawarkan padanya kewarganegaraan dan passport serta sedia memberinya berbagai fasilitas dan jabatan. Segala kemegahan ini tidak membuatnya tersilap, ia malah akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai menteri bagi PBB untuk mengejar impiannya sebagai intelektual muslim guna menulis kisah perjalanannya, The Road to Mecca (Jalan ke Mekah).
Buku ini penulis baca di awal tahun 2003 sebagai salah satu dari banyak karya-karya pemikiran yang diterbitkan oleh Masjid Salman ITB yang digagas oleh almarhum Prof. Imad.
Muhammad Asad akhirnya pulang ke rahmatullah dan di kebumikan di Granada, Spanyol pada tahun 1992. Namanya pun diabadikan di United Nations Office City (UNO City) di Vienna sebagai nama jalan Muhammad-Asad-Platz pada tahun 2008 atas jasanya menjembatani dialog Barat dan Timur. Disamping itu kantor pos Pakistan pada 2013 juga menerbitkan prangko berseri sarjana muslim dengan Muhammad Asad sebagai salah satu diantaranya.
Kisah kehidupan Asad atau Leopold patut menjadi pelajaran bagi umat Islam khususnya. Terlahir dari rahim peradaban Barat yang semakin materialis dan tradisi keYahudian yang rasialis, Leo justru mengagumi Islam dengan kesempurnaan aspeknya. Disaat ia bisa mendapatkan kemegahan jabatan duniawi ia justru meninggalkannya demi intelektualitas dan sumbangsih pemikiran bagi Islam.
Bertolak belakang dengan ambisi sebagian pejabat yang haus kekuasaan dan ketika menjabat berkorupsi sehingga sedia menjual integritas moral bahkan idealitas agamanya.Bertolak belakang pula dengan sebagian anak-anak yang terlahir muslim dan bernamakan islami namun pangling dan terkesima dengan kemajuan materil Barat, sebagian bahkan meninggalkan Islam oleh sebab karir, suaka, kehidupan yang lebih baik atau sekadar pernikahan dengan si-‘pirang’, Asad justru mengkritisi falsafah Barat yang sangat materialis. Asad menulis dalam bukunya, Islam at Crossroads:
“Akan tetapi peradaban Barat modern tidaklah mengakui pentingnya ketundukan manusia terkecuali pada kebutuhan ekonomi, sosial atau nasional. Sesembahannya yang riil bukanlah hal yang bersifat spiritual: melainkan Kenyamanan (Comfort).Falsafahnya yang riil adalah tercermin dalam Ambisi pada Kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri.Kedua hal ini diwarisi dari peradaban Romawi kuno.” (hal, 32).
Mungkin realita tantangan terbesar bagi umat saat ini adalah tantangan ‘pewasiatan’ keimanan.Hal ini karena Islam yang dijalankan oleh kita bukanlah sekedar ritual badaniyah semata, melainkan merupakan tradisi kenabian dari Adam as yang dipertegas oleh Ibrahim as dan ditutup oleh Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam hingga yaumil qiyamah menjelang.Pewarisan keimanan kepada anak sebagai pewaris genetik atau darah kita pun tidaklah mungkin karena iman tidak diwariskan melainkan dengan pe-‘wasiat’-an keimanan, pendidikan yang benar, sebagaimana berulang kali difirmankan dalam Al-Quran ketika Ya’qub as menjelang ajalnya mewasiatkan keimanan:
“Adakah kamu hadir ketika Yakub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (Q.S.Al Baqarah: 133)
Terakhir yang harus benar-benar menjadi misi bagi negeri-negeri mayoritas muslim adalah menciptakan iklim yang mendukung peningkatan kemajuan iptekagar generasi muda tidak lagi terkesima melihat kecanggihan teknologi di negeri Barat sehingga luntur keimanannya. Meski faktanya banyak paten yang lahir justru dari tangan para peneliti muslim, namun ketiadaan visi menyebabkan brain drain ini. Sebuah tugas yang tidak mudah oleh sebab kurangnya ‘political will’ pada pemimpin muslim hingga saat ini. Tidak heran ketika luluh lantaknya Jepang oleh bom atom, dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama negeri sakura itu telah menjadi raksasa iptek, begitu pula dengan Jerman, Korea Selatan dan China yang mulai merajai dunia setelah sebelumnya berjibaku dengan fasisme ataupun komunisme. Sementara negeri-negeri muslim cukup berpuas sebagai konsumen setelah intelektual-intelektualnya diserap oleh dunia pendidikan dan lapangan kerja yang terbuka luas di negeri-negeri yang sekarang maju tersebut karena membangun iklim yang sehat.*/Ady C. Effendy, MA, pemerhati masalah peradaban