DARI buku Ibrahim At-Tihami yang berjudul Juhûd ‘Ulamâ al-Maghrib fî al-Difâ’ ‘an ‘Aqîdah Alhi al-Sunah (2002), pembaca bisa menulusuri secara ringkas jejak Syiah di bumi Andalusia. Dalam buku ini, Doktor Akidah di Universitas Ummul Qura ini, paling tidak bisa diketahui penyebaran Syiah dari perantara individu sampai ke tingkat negara.
Penyebaran Syiah melalui perantara individu bisa bisa dilihat dari tokoh yang hendak mendirikan Daulah Syiah; spionase (mata-mata); figur yang terpengaruh ajarannya; atau lewat pelancong (turis) yang membawa ajaran Syiah ke Andalusia. Berikut ini adalah beberapa contoh yang menunjukkan adanya jejak Syiah yang disebarkan secara individual.
Upaya pertama kali Syiah menapakkan jejak kakinya di Andalusia diawali oleh Umar bin Hafshun (306 H). Sosok ini muncul di daerah selatan Andalusia. Ia melakukan beberapa pemberontakan yang terus berlangsung selama beberapa tahun lamanya. Rupanya, keberadaan Syiah Fathimiyah di Tunisia, dimanfaatkan olehnya untuk menyebarkan dakwah Syiah di Andalusia.
Figur lain yang turut berkontribusi dalam penyebaran Syiah di Andalusia adalah ‘Abbas bin Nashih al-Tsaqafi al-Sya’ir yang diutus Abu Mutharrif Abdurrahman bin al-Hakam (237 H) ke Iraq untuk mencari buku-buku klasik yang membahas berbagai macam ilmu seperti kedokteran, perbintangan dan lainnya. Kemudian ia kembali ke Andalusia dengan membawa pemikiran bercorak Syiah. Contohnya: tentang keluarnya Imam Mahdi; waktu kembalinya dan tujuh Imam Syiah dan lain sebagainya.
Penyebaran Syiah, di samping melalui figur-figur semacam itu, juga lewat para mata-mata (spionase). Intel-intel ini sengaja dikirim oleh Dinasti Fathimiyah untuk mempropoagandakan madzhab mereka di Andalusia. Para jasus ini menyembunyikan tujuan aslinya dengan tameng kepentingan-kepentingan syar’i, seperti: perdagangan, studi keilmuan, pengembaraan sufi.
Di antara mata-mata yang berpengaruh besar dalam menebarkan pemikiran Syiah di Andalusia adalah Abu al-Yusr al-Riyadhi. Sosok ini dianggap oleh para sejarahwan sebagai mata-mata awal yang ditugaskan di Andalusia. Beberapa sumber tidak banyak menyebutkan biografi tokoh ini karena memang tugasnya adalah sebagai intel. Informasi yang ada mengenainya di antaranya: merupakan seorang sastrawan yang masuk ke Andalusia pada masa al-Amir Muhammad bin Abdurrahman bin al-Hakam. Ia membuat buku berdasarkan aspirasi penduduk Syam.
Untung saja Emir Muhammad dengan lekas mengetahui niat busuknya. Beliau menyambut serta memuliakannya tapi tidak memberikannya ruang secara luas dan langsung untuk mengerjakan aktivitasnya. Akibat ruang yang dipersempit tersebut, maka ia terpaksa meninggalkan Andalusia.
Meskipun Abu al-Yusr tidak bisa menjalankan tugasnya dengan sukses, tapi paling tidak ia bisa membawa wawasan, budaya dan sastra yang bernafaskan Syiah ke Andalusia. Sosoknya seperti Penyair Da’bal al-Khuza’i (246 H) yang merupakan corong penting Syiah di Timur yang banyak tersebar dalam surat-surat penulis Abbasiyah.
Sepeninggal Abu al-Yusr, yang menggantikan tugasnya adalah Abu Harun al-Baghdadi yang juga dikirim untuk menjadi intel. Beberapa tahun ia sempat ragu-ragu menjalankan misinya di Andalusia. Namun, ia akhirnya berhasil menjalankan misi yang belum dicapai Abu al-Yusr. Salah satu buktinya, ia berkorespondensi dengan Ubaidillah al-Mahdi setelah Abu al-Yusr. Tak hanya itu, ia juga meminta bantuannya agar melancarkan dakwahnya. Abu Harun berkontribusi besar terhadap Ubaidillah, dan bagi penyebaran ajaran-ajaran Syiah Ubaidiah.
Selain itu, penting untuk dicatat, dalam Andalusia, ada juga orang-orang yang terpengaruh dengan propaganda Syiah, meski tidak punya andil dalam penyebaran ajaran-ajarannya. Pengarang buku al-Bayân al-Maghrib menyebutkan bahwa di Andalusia ada pengajar al-Qur`an yang tidak tercatat namanya dalam sumber-sumber sejarah. Ia bermukim di timur Andalusia pada tahun 237 H dan mengaku menjadi nabi. Orang ini terbiasa menakwilkan al-Qur`an bukan pada tempatnya.
Pada akhirnya orang yang mengaku jadi nabi ini ditangkap dan dihukum atas kasus kezindikan (kekafiran). Ia pun disuruh taubat. Karena enggan bertaubat, akhirnya dia disalib. Kecendrungan menakwilkan al-Qur`an adalah bukti bahwa ia terpengaruh dengan propaganda Syiah.
Tokoh lain yang terpengaruh dengan propaganda Syiah adalah Muhammad Syuja’ al-Wasyqi (305 H) yang berpendapat boleh nikah mut’ah. Dilihat dari pendapatnya, jelas sekali bahwa ia terpengaruh Syiah Itsna ‘Atsyariah. Orang ini pada akhirnya bernasib tragis, mati disalib.
Sosok lain yang bisa dicatat di sini adalah Muhammad bin Ibrahin bin Hayyun (305) [15] yang dituduh berkecendrungan Syiah. Hal ini diketahui dari sikap yang ditampakkannya pada Mu’awiyah bin Abi Sufyan RA.
Di antara orang-orang lain yang terpengaruh dengan ajaran-ajaran Syiah adalah: Mundzir bin Sa’id al-Baluthi (355 H) meskipun madzhabnya dalam masalah furu’iyah adalah dealektis, argumentatif (naddhar wa ihtijaj) dan meninggalkan taklid, bahkan cendrung kepada pendapat Dawud Adz-Dzahiri bahkan berargumentasi dengan pendapatnya. Sedangkan dalam masalah ushul, dia bermadzhab Ahli Kalam yang menjadikan debat dan argumentasi sebagai andalannya. Hanya saja, ia terpengaruh dengan beberapa pendapat Syiah. Di antara contohnya: dia pernah menakwilkan al-Qur`an dengan cara kalangan sekte Bathiniyah. Dalam hal ini, ia terpengaruh dengan takwil Syiah.
Ada juga Ubadah binti Abdullah bin Ubadah (419 H) yang bermadzhab Syiah dam sangat fanatis terhadapnya sehingga menentang keras Bani Umayyah [18]
Penyebaran Syiah di Andalusia juga melalui para pelancong. Salah satu pelancong yang menyebarkan madzhab dan wawasan Syiah pada waktu itu adalah Abu al-Hakam ‘Umar bin Abdurrahman al-Karmani al-Qurthubi (W 485 H) ia merupakan orang yang memasukkan risalah Ikhwan Shafa ke Andalusia. Risalah ini jelas sekali memiliki orientasi Syiah. Bahkan, risalah ini dinisbahkan kepada sebagian imam-imam Alawiyin.
Madzhab Syiah juga tersebar kuat pada masa Bani Buwaih di Badhdad (akhir abad keempat dan awal abad kelima) yang merupakan masa paling bersinarnya sastra Syiah. Salah satu yang populer pada masa ini adalah Badi’uz Zaman al-Hamdani (W 398 H) [24]. Sedangkan penyair terkenal seperi al-Syarif al-Ridha (W 405 H) dan Mihyar al-Dailamy (W 428 H).
Adapun dalam sekala negara bisa dilihat dari berdirinya Daulah al-Hamudiyun. Kemunculan daulah ini adalah bukti nyata adanya negara berasas Syiah di Andalusia. Hanya saja, ke-Syiah-an mereka tidak semenyolok Daulah Buwaihi di Iran. Ke-syiah-an mereka lebih ringan konservatifnya, bukan pada masalah keyakinan. Tapi dalam sikap dan politiknyanya bersama rakyat diambil dari madzhab Syiah dengan kadar yang bisa memenuhi kepentingan politik mereka.
Daulah ini memegang teguh sebagian prinsip-prinsip Syiah seperti, pernyataan: “Agama tidak akan sempurna, melainkan dengan Imam,” serta wajib bagi setiap muslim mengenal imam zamannya. Hanya saja mereka tidak berusaha mewajibkan prinsip-prinsip ini kepada yang lainnya. Salah satu hal yang menyebabkan ke-Syiah-an mereka dosisnya lebih ringan adalah kebencian masyarakat Andalusia kepada mereka dan pada kecendrungan Syiah. Hal ini wajar karena yang mengakar di Andalusia pada ghalibnya adalah orientasi Sunni.
Bagaimanapun juga, pada masa Daulah al-Hamudiyun dakwah, wawasan, budaya, Syiah tersebar luas. Buku-buku dan karangan mereka juga tersebar luas melalui pengembara-pengembara (pelancong, turis, wisatawasn) Syiah yang datang ke Andalusia dari Baghdad pada waktu itu adalah salah satu markas penting Syiah di dunia Islam.
Itulah beberapa ringkasan jejak Syiah di Andalusia yang dicatat oleh Hisyam al-Maghribi dari buku Dr. Ibrahim At-Tihami. Ringkasan ini bisa dibaca langsung di situs: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=139440. Wallahu a’lam.*/Mahmud Budi Setiawan