Oleh: Alwi Alatas
PEMUDA asal Eropa itu mengamati keadaan Kota Yerusalem (Baitul Maqdis) pada suatu musim gugur di tahun 1922. Hujan turun hampir setiap hari, tetapi tidak menghalangi pandangannya atas persekitaran kota tua itu. Jalan-jalannya yang berliku serta gang-gang yang terpahat batu tampak di banyak penjuru. Di kejauhan, Masjid al-Aqsa dengan menara batu di tengah-tengahnya berdiri penuh keagungan. Sementara di luar tembok kota lama terbentang bebukitan yang tandus dan di beberapa tempat ditumbuhi pohon-pohon zaitun.
Dari teras atap rumah batu milik pamannya, pemuda Yahudi kelahiran Austro-Hunggaria itu, Leopold Weiss (1900-1992), mengamati orang-orang Arab yang lalu lalang. Orang-orang itu dalam pandangannya “penuh dengan gerakan spontan dan keagungan tindak-tanduk … yang sejak mula pertamanya mengesankan dalam kesadaran saya sebagai orang-orang negeri itu, penduduk yang telah diasuh oleh tanah dan sejarah mereka dan merupakan satu kesatuan dengan udara sekitar mereka.”
Tak berhenti di situ, saat mengamati seorang Arab Badui dengan tulang pipi menonjol dan janggut coklat kemerahan yang berdiri di atas sebuah jembatan lengkung, lamunannya pergi ke beberapa abad silam. Seolah yang dilihatnya itu adalah prajurit pengikut Daud yang melarikan diri dari terpaan rasa iri Thalut. Beberapa saat kemudian ia tersadar bahwa yang dilihatnya itu adalah seorang Arab, sama sekali bukan keturunan Yahudi seperti Nabi Daud dan bangsa yang dipimpinnya. Bagaimanapun, seperti yang ditulisnya dalam The Road to Makkah,sesuatu kemudian terlintas di dalam benaknya:
“Namunkeheranan saya hanya sebentar saja; karena segera pula saya tahu, dengan kecerahan yang kadang-kadang terungkap dalam diri kita bagaikan kilat yang menerangi dunia selama sedenyut jantung, bahwa Daud dan jaman Daud, seperti Ibrahim dan jaman Ibrahim, orang Arab lebih dekat ke sumbernya – dan demikian halnya dengan orang Badui masa kini – daripada orang Yahudi di masa sekarang, yang bersikeras bahwa merekalah keturunannya.”
Hanya lima tahun sebelumnya, 1917, Foreign Secretary Inggris, Arthur James Balfour (1848-1930), mengeluarkan suatu deklarasi yang menetapkan Palestina sebagai national home bagi bangsa Yahudi. Deklarasi tersebut asalnya merupakan sepotong surat dari Arthur Balfour yang mewakili pemerintah Inggris kepada Lionel Walter Rothschild (1868-1937), seorang bankir berpengaruh serta pemimpin komunitas Yahudi Inggris. Surat itu menjadi sumber legitimasi yang digunakan oleh gerakan Zionisme untuk menjalankan keinginannya mendirikan negara Yahudi di Palestina.
Proyek pemindahan orang-orang Yahudi dari berbagai negeri ke wilayah Palestina, yang sudah berjalan sejak akhir abad ke-19, kini semakin gencar dilakukan. Jumlah imigran Yahudi pun meningkat secara signifikan. Pelonjakan jumlah imigran Yahudi segera memicu konflik antara penduduk Muslim setempat dengan para pendatang ini. Yakin bahwa Palestina adalah tanah leluhur mereka yang sah, para pendukung gerakan Zionis tak merasa ragu untuk membalas atau berinisiatif menyerang penduduk Palestina.
Deklarasi Balfour – sebuah ikrar yang menurut Aljazeera “secara umum dilihat sebagai katalisator utama pembersihan etnis Palestina pada tahun 1948 serta penciptaan negara zionis Israel” – tentu tidak muncul begitu saja tanpa adanya lobi yang kuat dari tokoh-tokoh Zionis di Inggris. Salah satu tokoh penting ini adalah Chaim Weizmann (1874-1952), seorang Yahudi asal Rusia dan pimpinan gerakan zionis yang kelak menjadi presiden pertama negara Israel.
Baca: Israelisasi Palestina
Sekitar dua tahun sebelum keluarnya deklarasi itu, Weizmann menyuarakan kepentingan zionis dengan begitu meyakinkan hingga Balfour, yang ketika itu belum menjabat sebagai Foreign Secretary, menangis haru dan berjanji untuk membantu mewujudkan mimpi zionis. Setahun setelah Deklarasi Balfour, Weizmann ditunjuk oleh pemerintah Inggris sebagai kepala Komisi Zionis yang dikirim ke Palestina untuk menjadi penasehat bagi menentukan nasib negeri itu ke depannya.
Pada tahun 1922, ketika Weizmann sedang dalam satu kunjungannya ke Palestina, Leopold Weiss yang sedang berada di negeri itu berjumpa dengannya di rumah seorang kawan Yahudi-nya. “Seseorang tidak mungkin tak terkesima oleh semangat yang tiada batas dari orang ini,” tulis Weiss dalam The Road to Makkah, “… dan oleh kekuatan intelek yang tampak pada jidatnya yang lebar dan tatapan matanya yang menusuk.” Tetapi ia berseberangan pandangan dengan pemimpin Zionis ini. Ia menentang zionisme sejak awalnya dan bersimpati pada orang-orang Arab, yang menurut pengamatannya ketika itu jumlahnya di Palestina lima kali lipat dibandingkan orang-orang Yahudi. Dalam pertemuan itu, ia mengkritik moralitas zionisme yang mengabaikan kepentingan orang-orang Arab-Palestina.
Bagi Weizmann pandangan itu tak bisa diterima, terlebih dari seorang keturunan Yahudi seperti Weiss. Baginya Palestina adalah negeri Yahudi yang perlu diambil kembali setelah mereka terusir dari sana. Bagaimanapun Weiss terus mengejarnya, bahwa dengan argumen yang sama orang-orang Arab bisa saja mengklaim kembali Spanyol, karena mereka pernah memerintah di sana selama 7 abad dan baru kehilangannya selama 5 abad, sementara orang-orang Yahudi hanya memerintah di Palestina selama sekitar 5 abad dan telah meninggalkannya selama dua milenium.
“Omong kosong,” jawab Weizmann tak sabar, “Orang-orang Arab hanya menaklukkan Spanyol; negeri itu tidak pernah menjadi tanah leluhur mereka yang asli ….”
Leopold Weiss pun memberi bantahan yang panjang atas pandangan Chaim Weizmann tersebut. “… orang-orang Yahudi juga datang sebagai penakluk Palestina. Jauh sebelum mereka ada banyak suku semit dan non-semit yang tinggal di sana …. Suku-suku ini tetap tinggal di sini pada masa kerajaan-kerajaan Israel dan Yudea. Mereka terus tinggal di sini setelah orang-orang Romawi mengusir keluar nenek moyang kita. Mereka masih tinggal di sini pada masa sekarang ini.”
Mereka ini menurut Weiss berkawin campur dan ter-arab-kan saat kekuatan Islam masuk ke wilayah itu. Secara gradual mereka menjadi Muslim, sementara sisanya tetap memeluk Kristen. “Tapi bisakah kamu membantah bahwa sejumlah besar penduduk Palestina, yang berbicara dengan bahasa Arab, baik Muslim ataupun Kristen, merupakan garis langsung keturunan dari penduduk asli tersebut;asli dalam arti telah tinggal di negeri ini berabad-abad sebelum orang-orang Yahudi datang?”
Chaim Weizmann hanya tersenyum sopan dan mengalihkan pembicaraannya ke topik yang lain.
Sikap Zionis sendiri terhadap orang-orang Arab-Palestina bukannya seragam dan tanpa perubahan. Ini dijelaskan dengan pemaparan yang tajam dalam buku The Invention of the Jewish people karya Shlomo Sand, seorang profesor bidang Sejarah di Tel Aviv University.
Saat terbit pada tahun 2008, buku ini menjadi best-sellerselama 19 minggu di Israel saja, tetapi isinya segera mengundang kontroversi karena menggugat banyak hal mendasar dalam sejarah Yahudi, seperti otentisitas asal-usul Yahudi dari Nabi Ibrahim, realitashistoris kerajaan Yudea dan Israel, hingga kenyataan sebenarnya tentangdiaspora Yahudi.
Sand menunjukkan bahwa banyak orang Yahudi yang sebenarnya tetap tinggal di Palestina dan tidak keluar dari negeri itu, khususnya saat negeri itu berada di bawah kekuasaan Romawi. Bahkan pada perkembangannya, agama Yahudi tersebar secara cukup signifikan di kalangan etnis non-Yahudi. Orang-orang Yahudi tetap ada di sana hingga akhir masa pemerintahan Romawi dan tampaknya menjadi bagian integral dari masyarakat baru yang hidup di bawah pemerintahan Islam selama lebih dari satu milenium berikutnya.*>>> Klik (bersambung)