Hidayatullah.com | Mengenai kejahatan yang seyogyanya dibalas dengan yang lebih baik, Allah berfirman:
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushshilat [41]: 34)
Syeikh Sa’dy menafsirkan ayat ini dengan tafsiran cukup menarik. Kata beliau, tidaklah sama antara perbuatan baik dan ketaatan untuk menggapai rida Allah dengan perbuatan jahat dan kemaksiatan yang dibenci dan dimurkai Allah. Demikian juga tidak sama antara perbuatan ihsan kepada orang dengan perbuatan jahat.
Terlebih kepada orang yang menyakiti atau berlaku jahat kepadamu. Jika ada orang yang berbuat jahat, baik lisan maupun perbuatan, kepadamu atau memperlakukanmu dengan akhlak yang tercela, khususnya kerabat, sahabat dan semacamnya, maka balaslah dengan kebaikan (ihsan).
Jika ia memutus shilaturahim, maka sambunglah; jika ia menzalimimu, maka maafkanlah; jika ia menggunjingmu, baik ketika kamu ada di hadapannya atau tidak, maka maafkanlah; jika kau balas keburukan dengan kebaikan, makan akan mendapat manfaat yang besar. Bisa jadi orang yang sebelumnya memusuhimu, akan menjadi sahabat yang dekat. (Tafsir as-Sa’dy, 2000: 749)
Tidak mudah memang. Karena level kebaikan seperti ini hanya bisa dilakukan oleh “muhsinin” (orang yang sudah berada pada level ihsan). Biasanya, orang yang dijahati secara normal akan membalas kejahatan orang yang menjahatinya. Bahkan tak jarang yang membalasnya dengan yang lebih buruk.
Kalau meminjam peribahasa Indonesia, orang dalam level ihsan akan mengubah “Air susu dibalas dengan air tuba” dengan “Air tuba dibalas dengan air susu.” Apakah ini mustahil? Tidak. Mereka yang melatihnya dengan kesungguhan hati secara istiqamah, akan dimudahkan oleh Allah pada tingkat itu.
Kita ambil contoh dari figur Pahlawan Nasional: M. Natsir. Beliau walaupun diperlakukan dengan tidak baik oleh Rezim Soekarno dan Soeharto, tidak pernah sampai hati membalas keduanya dengan kejahatan. Hatinya sedemikian lapang, sehingga kejahatan dibalas dengan kebaikan.
Majalah Tempo edisi 21 Agustus 1971 yang berjudul “Partai Islam Ditantang” memuat wawancara Natsir. Di dalamnya ada pembahasan khusus bertajuk “Image, Natsir Dan Ali Murtopo”. Di situ, terlihat bahwamana kaliber Natsir dalam membalas keburukan dengan kebaikan.
Wawancara itu dilakukan di rumahnya di jalan Tjokroaminoto. Tim Tempo berkepentingan mewawancarai Natsir karena image di muka umum, tokoh-tokoh Masyumi terkesan (dikesankan) enggan mendukung pemerintahan Soeharto. Natsir, bukan berniat menonjolkan kebaikan, ketika ditanya masalah itu, terpaksa harus menceritakan beberapa fakta sejarah.
Zaman Orla
Pada masa Soekarno, hubungan Indonesia dengan Saudi tidak begitu baik. Natsir baru tahu itu ketika berkunjung ke sana. Oleh pejabat Indonesia di sana, beliau diminta bantuan untuk memperbaiki hubungan itu. Akhirnya, beliau mengusahakan itu dan bisa bertemu dengan Raja Faishal dan diterima dengan begitu hangat. Hasil pertemuan itu dikirim melalui surat ke Departemen Luar Negeri. “Saja kira paling tidak Adam Malik tahu hal itu,” ungkapnya.
Zaman Orba
Saat Natsir diundang ke Jepang, beliau menyampaikan rasa sesalnya kepada pemerintahan itu karena kunjungan Soeharto sebelumnya ke Jepang untuk mendapat kridit tak menuai hasil. Akhirnya, Natsir mencoba melobi dan al-Hamdulillah bisa menuai hasil positi pada beberapa bulan berikutnya. “Tjoba kalau benar,” tutur Natsir, “saja tidak menjokong pemerintah apa gunanja saja mau turut-turut berbitjara soal-soal kredit dengan tokoh-tokoh di Djepang itu.”
Di lain waktu, beliau pernah didatangi oleh Ekki Sjahruddin menyampaikan pesan Ali Murtopo agar Natsir menjajaki kemungkinan mendapat kredit dari negara-negara Arab. Beliau menyanggupinya. Kata-katanya yang cukup mengharukan, “Saja tak perlu dibiajai, sebab saja memang mau kesana untuk kongres.”
Hanya satu syarat yang diajukan beliau sebelum pergi ke sana, yaitu agar bisa bertemu suharto barang beberapa menit. Namun, permintaan itu tidak diluluskan, karena beberapa waktu kemudian sampai Natsir ke Arab tidak ada kabar mengenai pertemuan itu. Apa Natsir kecewa dan ngambek? Tidak. Ketika di sana beliau tetap berusaha mencoba melobi. Misalnya, dengan membuat surak ke Pemerintahan Kuwait agar mau menanamkan modal di Indonesia.
Awalnya Natsir mengira lobinya gagal karena tak ada jawaban. Ternyata pada suatu malam beliau ditemui Ali Murtopo yang berkata, “Sudah berhasil. Pemerintah Kuwait sudah setudju menanam modalnja kemari dibidang perikanan laut.”
Luar biasa. Hanya orang-orang yang berada pada level ihsan yang mampu melakukan itu. Kalau penulis boleh berimajinasi sebagai Natsir, maka segala perlakuan buruk dari orang-orang yang membenci beliau akan saya jawab, “Air Tubamu Kubalas dengan Susu.” Rahimahullah rahmatan Waasi’ah.*/Mahmud Budi Setiawan