Hidayatullah.com | DALAM rentang panjang sejarah, kasus persekusi ulama kerap kali terjadi. Kadang bisa berbentuk ancaman, bahkan tak jarang yang sampai ke ranah penganiayaan fisik. Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh yang menggambarkan terjadinya persekusi terhadap ulama. Disebutkan hanya beberapa karena tak mungkin bisa disebut semuanya dalam tulisan singkat ini.
Suatu hari, saat ulama dari kalangan tabi’in kenamaan bernama Sa`id bin al-Musayyib Rahimahullah komitmen menolak baiat kepada putra Abdul Malik (al-Walid dan Sulaiman) sebagai ganti dari Abdul Aziz bin Marwan, akibatnya ia diganjar 60 cambukan oleh Hisyam bin Ismail [selaku Gubernur Madinah], bahkan dipenjara. [Siyaru A`lâm an-Nubalâ, 5/130] Pada riwayat lain bahkan Sa`id diboikot, tidak diajak bicara [al-Thabâqatu al-Kubra, 5/128], bahkan dicambuk [Siyaru A`lâm An-Nubalâ, 4/232].
Rupanya ada kejadian yang lebih tragis dari itu, Sa`id bin Jubair Rahamahullah seorang Tabi`in dipenggal kepalanya oleh Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi, seorang panglima ‘bertangan besi’ dari kekhilafaan Umawi, gara-gara menentang khilafah Umawi bersama Ibnu al-Asy`ats [Wafayâtul A`yân, 2/373].
Ada juga contoh lain yang tak kalah memprihatinkan. Pada era khilafah Abbasiyah, Imam Abu Hanifah dicambuk [Târîkh Baghdâd, 13/327] dan dipenjara oleh al-Manshur gara-gara menolak dijadikan Qadhi [Siyaru A`lam An-Nubalâ, 6/401]. Ketika penguasa tidak dituruti keinginannya, maka ulama kerap kali menjadi korban persekusi.
Lebih dari itu bahkan, seorang Imam Besar dan karismatik, Malik bin Anas nasibnya tak kalah sulit, beliau dicambuk karena membangkang pada perintah Abu Ja`far al-Manshur, lantaran tetap meriwayatkan hadits, “Tidak ada talak bagi orang yang dipaksa.” [Wafayâtul A`yân, 4/137]. Beliau bersikukuh dengan kebenaran yang diyakini. Akibatnya, beliau harus menjalani siksaan.
Imam Syafi`i Rahimahullah pun pernah dituduh sebagai pendukung Syi`ah oleh pendengkinya, Mutharrif bin Mâzin. Bahkan dia memprovokasi Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menangkap Imam Syafi`i dan orang-orang alawiyin. Diutuslah Hammad al-Barbari untuk menangkap Imam Syafi`i dan orang-orang alawiyin. Ia dirantai dengan besi bersama orang alawiyin dari Yaman hingga Raqqah, kediaman Harun Ar-Rasyid [Siyaru A`lâm al-Nubalâ, 8/273]. Bayangkan, betapa sengsaranya dirantai dengan besi dari Yaman hingga Baghdad. Rupanya kebiasaan mempersekusi ulama dengan melancarkan fitnah keji sudah lama terjadi.
Imam Ahli Hadits, Ahmad bin Hanbal juga pernah mengalami nasib yang lebih menyakitkan dengan penguasa. Ia dicambuk, dipenjara selama 30 bulan oleh Ma`mun gara-gara tidak mengakui kemakhlukan al-Qur`an sebagaimana yang diyakini mu`tazilah [al-Kâmil fi at-Târîkh, 3/180].
Imam sekaliber Bukhari Rahimahullah pun akhirnya pergi dari negerinya karena “berusaha disingkirkan” oleh Penguasa Dhahiriyah di Bukhara saat itu, Khalid bin Ahmad al-Dzuhali. Penyebabnya, Imam Bukhari menolak permintaan Khalid untuk mengajar kita “al-Jâmi`” dan “al-Târîkh” di rumahnya. Bukhari beralasan, seharusnya yang butuh ilmulah yang mendatanginya, bukan ulama yang mendatangi yang butuh. Pada akhirnya, Bukhari meninggalkan negerinya [Târîkh Baghdâd, 2/33].
Nasib ulama lain yang tidak kalah susah adalah seperti yang dialami Imam Ibnu Taimiyah diadukan kepada Emir Humsh al-Afram, oleh orang-rang shufi karena suka membid`ahkan amalan mereka. Sampai pada akhirnya karena dianggap membuat keresahan [oleh para pembencinya], ia pun dipenjara, dan gugur di dalam penjara [al-Bidâyah wa al-Nihâyah, 14/41].
Dalam sejarah Islam nusantara, sebelum kemerdekaan Indonesia, ulama juga mengalami persekusi. Ahmad Syadzirin Amin menyebutkan, “Sudah menjadi catatan sejarah, bahwa pejuang penantang penjajah, mengalami nasib yang serupa dengan Syaikh Ahmad Rifa’i difitnah atau diasingkan, seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Maulana Hasanuddin, Tengku Umar,” (Mengenal Ajaran Tarjumah Syaikh H. Ahmad Rifa’ie RH. dengan Madzhab Syafi’i dan I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah, Ahmad Syadzirin Amin, hal: 37). Sosok Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari juga tak luput dari pembicaraannya.
Pasca kemerdekaan Indonesia, juga ada contoh rill upaya penguasa mempersekusi ulama. Akibat kritikan pedas di Masjid Al-Azhar terhadap pandangan Soekarno mengenai demokrasi terpimpin pasca dekrit presiden 1959, akhirnya beliau dibui oleh rezim Orde Lama ini pada tahun 1964 dan baru dibebaskan setelah Soekarno lengser, tepatnya di masa awal Orde Baru 1967 (Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad Dua Puluh, 63,64).
Suatu hari, pasca sidang Konstituante usai, Hamka mengajak anaknya bernama Irfan Hamka untuk pulang. Karena kehabisan tempat di mobil 4848, maka akhirnya keduanya memilih menaiki bus umum yang disebut Oriental.
Bus ini sering berhenti menurunkan penumpang. Ketika bus ini berhenti untuk istirahat, maka Hamka dan Irfan mencari masjid untuk menunaikan shalat. Seusai shalat, ada tiga orang lelaki jahat yang turun ke arah Hamka dan Irfan. Hamka sudah merasa gelagat yang tidak benar. Ahirnya ia memperingatkan Irfan.
Ternyata betul. Saat sudah mendekat, salah seorang di antara mereka mengeluarkan belati untuk menusuk Hamka. Karena Hamka menguasai bela diri, maka dengan mudah beliau melumpuhkan serangan orang itu, dan mereka lari terbirit-birit. (Irfan Hamka, Ayah, 2013: 46) Hamka dan Irfan pun selamat dari kejahatan itu.
Kisah-kisah tersebut menunjukkan bahwa sudah biasa para ulama dipersekusi ketika bersikukuh dengan kebenaran yang diyakini benar. Dan sudah menjadi sunnatullah jika penegak kebenaran akan dimusuhi.
Menariknya, bacaan terhadap fakta-fakta sejarah mengenai hal ini, kebenaran akan senantiasa tegak di tengah badai kebatilan yang berusaha menerjangnya. Ini persis gambaran firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala ketika berbicara mengenai haq dan bathil:
وَقُلْ جَاء الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقاً
“Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.”
Kebenaran yang haq walau dihalangi bagaimana pun oleh kebatilan, pada akhirnya akan tetap menang. Dan caranya pun bisa bermacam-macam sesuai dengan kehendak Allah. Bisa melalui sekelompok orang yang membela dan konsisten mendukung kebenaran ulama, bisa dengan cara menjatuhkan penguasa yang mempersekusi ulama dengan cara yang tak pernah diduga sebelumnya dan lain sebagainya. Intinya, kebenaran akan menang di hadapan kebatilan. Tinggal setiap mukmin, maukah berperan ketika ulama yang menyampaikan kebenaran dipersekusi. Apakah menjadi bagian yang diam saja, atau berjuang sekuat tenaga untuk membela mereka dengan niat karena Allah semata.* Mahmud Budi Setiawan