Hidayatullah.com—Di masa penguasa Salib menduduki wilayah-wilayah di Syam, seorang dokter Muslim dari kota Syaizar yang termasuk wilayah Himsh dikirim untuk mengobati pemukim Salibis. Hal itu dilakukan karena permintaan penguasa Salibis. Setelah kembalinya ke Syaizar, sang dokter berkisah mengenai apa yang ia saksikan.
Dia dipanggil untuk mengobati seorang prajurit berkuda, yang menderita pembengkakan di betis serta seorang wanita yang menderita penyakit syaraf. Sang dokter memutuskan untuk memecahkan bisul yang diderita si prajurit, hingga akhirnya penyakitnya berangsur sembuh. Adapun untuk wanita, sang dokter memberikan asupan gisi yang baik dan menyiapkan lingkungan yang sesuai untuknya.
Namun kemudian datanglah seorang dokter dari Barat yang berkata, ”Sesungguhnya Muslim ini tidak mengerti apa-apa tentang kedokteran.” Lantas ia bertanya kepada prajurit, apakah ia mau hidup dengan satu kaki, atau mati dengan kedua kaki? Prajurit menjawab, ia ingin hidup dengan satu kaki. Akhirnya dokter Baratt mendatangkan sebilah kampak dan seorang lelaki berotot. Dokter itu memerintahkannya untuk memotong kaki si pasien dengan satu tebasan. Tetapi si lelaki tidak mampu memotong betis pasien kecuali dengan dua tebasan. Bukannya sembuh, pasien tewas seketika.
Mengenai pasien wanita, dokter Barat berkata, ”Sesungguhnya setan telah merasuki kepalanya.” Ia lalu mengiris kepala wanita itu dengan irisan berbentuk salib dan menaburinya dengan garam. Wanita itu tidak lama kemudian juga tewas. Kisah ini disampaikan oleh saksi mata yang bertemu dengan dokter Muslim itu, yakni pengelana Muslim, Usamah bin Munqidz. (lihat, Al I’tibar, hal. 152)
Usamah juga meriwayatkan sebuah kisah dari bangsawan Salib, Guillaum De Bures, mengenai seorang prajurit penunggang kuda yang memperoleh pengobatan dari seorang pendeta. Pendeta itu meletakkan dua bola kecil dari lilin di kedua lubang hidungnya, yang akhirnya menyebabkan si prajurit tewas. Mereka yang berada di sekitar bertanya kepada pendeta, apakah laki-laki itu mati? Pendeta itu menjawab, ”Ya, ia telah menderita rasa sakit yang amat sangat pedih, maka aku membebaskannya darinya dengan cara ini.” (lihat, Al I’tibar, hal. 156, 157)
Kisah lain, Richard hendak menyerang Bait Al Maqdis dengan sisa-sisa semangat yang ia miliki. Di sisi lain sakitnya semakin parah. Ia lalu menawarkan perdamaian kepada Shalahuddin. Richard juga meminta kepada Shalahuddin buah-buahan dan minuman dingin. Shalahuddin memenuhi permintaan Richard. Dia mengirim buah-buahan beserta dokter pribadinya untuk memberikan pengobatan. (Qishshah Al Hadharah, 15/44)
Eropa Bangkit
Kisah-kisah di atas menunjukkan betapa tertinggal jauh Eropa (Barat) dibanding Islam bidang kedokteran.
Ketertinggalan itu memacu Eropa untuk mengambil manfaat dari ilmu kedokteran Islam. Mereka memulai dengan menterjemahkan buku-buku kedokteran dari bahasa Arab ke bahasa Latin. Di masa pemerintahan Salib, para peneliti menyebutkan ada dua kitab yang diterjemahkan, yakni Al Kamil Ashan’ah Ath Thibbiyah karya Ali bin Abbas yang diterjemahkan di Anthakiya tahun 532 H dan Sirr Al Asrar yang disebut sebagai karya Aristoteles yang diterjemahkan juga di Anthakiya tahun 542 H. Kedua kitab itu menjadi rujukan utama ilmu kedoteran di Eropa. (Tarikh Ulum ‘Inda Al Arab, 281)
Kitab-kitab kedokteran Arab lainnya juga menjadi rujukan penting. Kitab Al Hawi menjadi rujukan di Eropa selama 400 tahun. Fakultas Kedokteran di Paris 600 tahun lalu, perpusatakannya tidak memiliki koleksi kecuali hanya Al Hawi. (Al Maujiz fi Tarikh Ath Thibb wa Ash Shaidaliyah Inda Al Arab, hal. 28)
Bahkan, sebagaian dari universitas kedokteran Eropa mensyaratkan para mahasiswanya yang hendak terjun dalam praktik medis untuk mengikuti ujian khusus mengenai kitab Al Qanun karya Ibnu Sina, kitab Al Kulliyat karya Ibnu Rusyd, serta Al Maqalah As Sabi’ah dari kitab Al Manshuri karya Ar Razi. (Buhuts fi Tarikh Al Islam wa Hadharatuhu, hal. 611)
Baca juga: Inilah Kontribusi Dokter Muslim dan Keperawatan untuk Dunia (1)