Oleh: Ilham Kadir
SEJARAH konflik Islam dan Kristen –baik dalam ranah teologis-ideologis-politik– selalu menarik dikaji. Terutama setelah berakhirnya perang dingin Amerika dan Rusia dan pasca tesis Huntington, ‘The Clash of Civilization’ (benturan peradaban). Perang Salib
Kita mulai dari Pertempuran Manziket pada tahun 1071 Masehi, ketika Turki Seljuk menghancurkan Bizantium menawan Kaisarnya, menggemparkan dunia Barat dan Timur. Selanjutnya, memicu semacam pesan-pesan dari Bizantium, kaisar tertawan seakan menyeru para kesatria Barat untuk datang membantu mereka atas nama kesatuan Kristen.
Akhirnya, para patriark Konstantinopel mengirim pesan mendesak kepada saingan beratnya di Barat, sang paus, memperingatkan bahwa jika Konstantinopel jatuh, pengikut Muhammad akan langsung dantang membanjiri kota suci Roma.
Masalah lain, ketika para peziarah (hujjaj) dari Barat yang datang ke Tanah Suci mereka, Yerussalem di bawah kendali pemerintahan Seljuk yang baru saja direbut dari kekuasaan Fathimiyah yang berpusat di Mesir. Seljuk yang berasal dari bangsa Turki ini, memperlakukan para peziarah secara tidak sopan dan terus-menerus menggannggu dan menghalangi para hujjaj Kristen itu, walaupun tidak disiksa, seperti dipukili dan dibunuh, namun pelecehan dan penghinaan kadang lebih menyesakkan.
Sekembalinya ke kampung halaman mereka di Barat, para peziarah menceritakan keadaan dan pengalaman mereka. Mengeluh tentang penghinaan yang ditumpahkan pada mereka oleh “orang kafir” di tanah suci. Akibatnya, tahun 1095, Paus Urbanus II terpaksa turun tangan, menyampaikan pidato terbuka berapi-api di luar sebuah biara di Prancis yang dinamai ‘Claremont’.
Di sana, ia mengatakan pada majelis bangsawan Prancis, Jerman, dan Italia bahwa dunia Kristen berada dalam ancaman. Ia menjelaskan secara detail penghinaan yang diterima para peziarah di Tanah Suci dan menyerukan orang beriman untuk membantu saudara-saudara mereka mengusir orang Turki dari Yerussalem.
Paus Urban menyarankan bahwa mereka yang menuju ke Timur harus mengenakan Salib berbentuk kotak merah sebagai lambang pencarian mereka. Ekspedisi ini harus disebut “Croisade” dari “croix” bahasa Prancis untuk “Salib”, dan dari inilah berasalnya nama yang dibekukan pada sejarawan untuk segenap upaya itu: Crusades atau Perang Salib, (Tamim Ansary, 2009).
Dengan wewenang yang ada padanya, Paus memutuskan bahwa siapa pun yang berangkat ke Yerussalem untuk membunuh “kaum kafir” (Muslim, red) akan menerima pengampunan atas dosa-dosanya.
“Pergilan ke Timur anak muda, kata Paus. Tunjukkan diri kalian yang sejati sebagai mesin pembunuh mengagumkan yang untuk itulah kalian telah dilatih masyarakat kalian, penuhi sakumu dengan emas tanpa rasa bersalah, rebutlan tanah yang jadi hak kalian sejak lahir, dan sebagai akibat dari itu semua, masuklah ke surga setelah kalian mati!” Begitu kata Paus.
Tentara ‘Salib’ itu pun berduyung-duyung datang ke Timur, berziarah dan untuk merebut Yerussalem, serta merampas hak orang Islam yang dinilai kafir itu.
Tentara Frank
Pemerintah Seljuk yang menguasai Yerussalem, Kilij Arslan, suatu hari di tahun 1096 mendapat info tentang adanya penyusup yang mereka anggap tentara bayaran dari Balkan, dan menyebut mereka sebagai “Al-Ifranj” orang “Franj” atau ditulis “Frank”.
Laporan yang sampai secara detail bahwa, para Franj berpakaian aneh, walaupun ada yang berpakaian seperti tentara, tapi hampir semuanya mengenakan Salib berbentuk sepetak kain merah yang dijahitkan di pakaian mereka.
Konyolnya, tantara Salib itu terang-terangan mengatakan bahwa kedatangan mereka untuk menaklukkan Yerussalem yang didahului dengan menaklukkan Nicea. Arslam melacak rute yang telah dan akan mereka lalui, menyiapkan penyergapan, lalu, menghancurkan, menyapu bersih seperti semut, membunuh banyak, menangkap dan menawan lainnya, mengejar sisanya, sampai segelintir kembali ke Bizantium.
Namun, Arslan tidak mengerti, jika pasukan yang ia hancurkan seperti semut itu hanyalah rekrutan dari semua golongan lapisan masyarakat, petani, tukang, pedagang, bahkan wanita dan anak-anak. Mereka bukan tentara profesional. Mayoritas adalah para pemuda yang putus asa, tidak tahu mahu kerja apa, karena lahan pertanian telah direbut golongan bangsawan penindas.
Gelombang pertama pasukan Salib adalah rintisan dari rangkaian gerakan penyerangan yang akan menngguncang kaum Muslimin selama dua abad ke depan, dan akan menjadi dendam sejarah bagi umat Kristen yang apinya tidak pernah padam sampai sekarang. Crusade!
Tragikomedi
Terbukti, tahun berikutnya, 1097 ketika Kilij Arslan mendengar bahwa lebih banyak lagi tentara Franj akan tiba, ia menepis ancaman itu sambil menepuk dada. Dia tidak paham bahwa Tentara Salib gelombang kedua ini benar-benar kesatria pemanah yang dipimpin oleh komandan militer tangguh dan berpengalaman tempur dari negeri-negeri yang menjadikan perang sebagai olah raga di Eropa.
Pertempuran kedua pasukan laksana perang penunggang kuda berpakaian ringan menembakkan panah kepada tank lapis baja kesatria abad pertengahan Eropa Barat. Para kesatria tangguh dari Pasukan Salib Franj benar-benar memorak-moranda pasukan Islam berdarah Turki itu, merangsek maju tanpa dapat dihentikan.
Mereka merebut kota kekuasaan Arslan lalu memaksa penguasanya lari ke salah satu kerabatnya untuk berlindung. Pasukan Salib menuju Edessa, selebihnya ke pantai Mediterania menuju Antiokhia.
Raja Antiokhia mengirimkan permohonan pada raja Damaskus, namanya Daquq. Daquq, ingin membantu, tapi cemas tentang kakaknya Ridwan, Raja Aleppo yang akan menyerang dan menyambar Damaskus jika ia meninggalkan kotanya.
Penguasa Mosul setuju untuk membantu, tapi dia juga sedang sibuk berperang dengan orang lain di sepanjang jalan, dan ketika akhirnya tiba terlambat, dia terlibat pertempuran dengan Daquq yang juga tiba terlambat, kedua pasukan Muslim itu akhirnya pulang dengan tangan hampa.
Dalam sejarah Islam, inilah Perang Salib untuk kali pertama. Membacanya, laksana sebuah tragikomedi persaingan internal dimainkan di satu kota dengan kota lainnya. Tragikomedia adalah gaya atau bentuk drama yang memadu unsur-unsur antara tragedi dan komedi.
Ketika Antiokhia jatuh di tangan Pasukan Salib, para kesatria melakukan balas dendam atas sedikit perlawanan dari kota itu dengan pembantaian dan pembunuhan secara acak, lalu terus bergerak ke selatan, menuju sebuah kota bernama Ma’ara.
Mendengar apa yang terjadi di Nicea dan Antiokhia, secara psikologis penduduk negeri Ma’ara sudah kalah sebelum bertarung. Kesatria Salib mengepung mereka, sampai akhrinya terjadi negosiasi dengan pemimpin Ma’ara dan pasukan Salib: kami akan masuk ke kotamu tanpa merusak apa pun, dan membiarkan kalian bebas, tidak ada pertumpahan darah walau setetas, demikian janji para ksatria. Dan, pihak Ma’ara setuju, membukakan mereka pintu gerbang kota.
Apa yang terjadi, terjadilah. Begitu Tentara Salib masuk kota dengan mulusnya, mereka bukan hanya melakukan pembantaian. Mengamuk secara menakutkan, bahkan sampai merebus orang Muslim dewasa untuk sup dan menusuk anak-anak sebagai sate, memanggang mereka di atas bara api, lalu menyantap.
Albert Aix yang ikut dalam penaklukan Ma’ara, sebagaimana dinarasikan Tamin Ansary, menulis, “Pasukan kami bukan hanya tidak segan-segan memakan bangkai orang Turki dan Saracen, mereka juga memakan anjing.” (Tamim Ansary, 2009).
Saracen adalah istilah yang digunakan oleh orang Kristen Eropa terutama pada Abad Pertengahan untuk merujuk kepada orang yang memeluk Islam. Pernyataan ini dengan jujur menegaskan begitu kejamnya pasukan Perang Salib selain tehadap kaum Muslim.
Ketika Tentara Salib berpesta-pora dari satu negeri ke negeri lainnya, menebar teror dan muslihat, Wazir Mesir, di bawah Dinasti Fathimiyah, Afdhal, mengirim surat pada kaisar Bizantium mengucapkan “Selamat atas kesuksesan pasukan Salib” dan mengharapkan mereka jadi aliansi untuk menjadikan pasukan Salib jauh lebih berhasil.* (Bersambung)
Peserta Kaderisasi Seribu Ulama (KSU) BAZNAS-DDII; Kandidat Doktor Universitas Ibn Khaldun (UIKA), Bogor