Mahmud Budi Setiawan
Hidayatullah.com | MALAM hari (07/04/2020) penulis mendapat kiriman link buku karya Sigrid Hunke –Penulis Jerman– yang aslinya berbahasa Jerman: “Allahs Sonne Uber Dem Abendland Unser Arabisches” dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Faruq Baidhun dan Kamal Dasuqi dengan judul “Syams al-‘Arab Tastha’ ‘ala al-Gharb: Aatsaar Hadhaarah al-‘Arabiyyah fii Uruubiyah” (Matahari Arab Bersinar di Barat: Jejak Peradaban Arab di Eropa).
Tak menunggu waktu lama, langsung penulis download buku yang berformat pdf itu. Kemudian langsung membaca daftar isinya. Tetiba, langsung tertarik dengan pembahasan poin nomer 7 pada bab lima yang berjudul “asy-Syaghaf bi al-Kutub” (cinta buku atau minat pada buku sangat tinggi).
Pembahasan masalah ini menghabiskan 8 halaman dengan data-data yang sangat padat dan bernas. Dalam pembukaan paragraf Hunke menulis bahwa minat orang Arab (baca: Islam) kala itu –dari abad 9 hingga 13 Masehi– pada buku sangat besat. Hingga kata penulis hampir tak tertandingi. “Antusiasme mereka pada buku,” tulisnya, “seperti perhatian kita saat ini yang sangat suka pada mobil, kulkas dan televisi.” Artinya, mereka sangat cinta kepada buku.
Jika saat ini, kekayaan seseorang diukur dengan misalnya mobil-mobil mewah, maka ukuran kekayaan orang pada masa itu dilihat dari seberapa besar perhatian dan koleksi buku atau manuskrip yang dimiliki. Darul Hikmah yang dibangun khalifah di Baghdad kala itu adalah sebagai cerminan nyata betapa pemerintah mendukung kecintaan rakyat pada buku dengan mendirikan perpustakaan paling maju dan megah kala itu.
Rumah-rumah buku (toko buku dan perpustakaan) kala itu begitu menjamur perkembangannya laiknya rerumputan di tanah yang subur. Sebagai contoh, pada tahun 891 Masehi, ada musafir yang mencoba menghitung rumah buku secara umum di Baghdad yang jumlahnya lebih dari seratus.
Rupanya, masing-masing kota juga mendirikan rumah baca yang cukup besar. Di mana orang dengan leluasa bisa meminjam koleksi buku yang ada di dalamnya. Bahkan bukan sekadar rumah baca, di dalamnya juga disediakan ruang-ruang atau aula khusus yang nyaman diperuntukkan bagi para penerjemah, peneliti sebagaimana sidang ilmiah di universitas saat ini.
Sigrid Hunke kemudian memberikan contoh konkret sebagai gambaran betapa monumentalnya perhatian masyarakat Islam kala itu pada buku. Seperti di Irak misalnya, perpustakaan kecil bernama Najef, pada abad kesepuluh, mengoleksi 40 ribu jilid buku. Padahal di Barat pada zaman itu perpustakaan Barat koleksinya hanya 12 buku yang digembok dengan rantai karena takut hilang.
Di kota Ray, untuk penulisan berjilid-jilid buku membutuhkan penulisan khusus daftar isi puluhan halaman dalam format yang besar. Bahkan, kala itu tiap-tiap masjid memiliki perpustakaan khusus. Yang tidak kalah menarik, rata-rata rumah sakit Islam kala itu di ruang tunggu yang luas tersedia rak-rak berisi buku-buku kedokteran paling mutakhir. Nashiruddin Ath-Thusi –ulama bidang kedokteran– kala itu di Maragha di lab observasinya mengoleksi 400 ribu manuskrib.
Seluruh Emir di dunia Islam kala itu juga mengikuti apa yang dilakukan khalifah pusat di Baghdad. Mereka sangat perhatian pada buku. Pejabat Arab di kawasan selatan misalnya ada yang mempunyai koleksi 100 ribu jilid. Saat Sultan Bukhara, Muhammad Al-Manshur sembuh dari penyakit kronisnya ditangani oleh Ibnu Sina –yang saat itu berusia relatif muda yang umurnya belum genap delapan belas tahun– Ibnu Sina diberi keleluasaan selapang-lapangnya untuk mengakses dan meneliti buku yang ada di dalamnya.
Bukunya kala itu sangat banyak, tersusun rapi sesuai dengan judul-judulnya. Terkait pengalamannya ini, Ibnu Sina sampai mencatat, “Di sana (perpustakaan sultan), aku melihat buku yang belum terdengar oleh umumnya orang, bahkan judulnya sekalipun.” Ini menunjukkan betapa banyak koleksi Sultan Muhammad pada waktu itu. Tak lama setelah Ibnu Sina pergi dari sini, perpustakaan itu terbakar dan semua koleksi Sultan ludes dilalap api. Para pendengki Ibnu Sina menuduhnya sebagai dalangnya karena tidak mau disaingi dengan peneliti-peneliti lain.
Setelah Ibnu Sina, Hunke pindah ke contoh lain yang tak kalah menarik yaitu koleksi perpustakaan Khalifah Aziz di Kairo. Waktu itu, jumlahya kurang lebih 1.600.000 jilid buku. Mencakup koleksi 6.5000 dalam bidang matematika; 18.000 manuskrib dalam bidang filsafat. Meski koleksinya sudah sangat banyak, ia tidak melarang ketika anaknya membangun perpustakaan besar yang memiliki 18 ruangan khusus untuk membaca dan menelaah di samping perpustakaan yang lama.
Para menteri pun rupanya juga sangat suka mengoleksi buku. Menteri bernama Al-Mahlaby misalnya, ketika wafat pada tahun 963 Masehi, meninggalkan koleksi 117 ribu jilid buku. Sedangkan rekannya yang bernama Ibnu Abbad bisa mengoleksi 206 ribu buku dalam perpustakaannya. Bahkan, salah satu jaksanya mengoleksi 1.050.000 jilid buku. Yang lebih mencengangkan, sebagian menteri punya perpustakaan berjalan yang dibawa sebanyak 30 unta untuk yang mengangkut buku.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Masih banyak data-data lain yang ditulis oleh Hunke dan tidak memungkinkan untuk ditulis di sini. Cuma ada pertanyaan menarik dari beliau bagaimana orang Barat kala itu belajar kepada orang Arab atau Islam yang menjadi soko guru peradaban dunia kala itu. Katanya, “Apakah kita sekarang sudah bisa mengerti dari mana Kaisar Frederik II belajar ketika dalam perjalanannya selalu disertai dengan unta yang mengangkut buku? Saya kita jawabannya jelas. Ya. Dia belajar dari guru-guru Arab (Islam).”
Apa yang diceritakan oleh Hunke ini begitu mencengangkan. Betapa peradaban Islam kala itu sangat tinggi. Ukuran kemajuan peradaban kala itu salah satu indikatornya adalah kecintaan terhadap buku dan kegemaran membaca. Bahasa lainnya adalah memiliki kepedulian literasi yang sangat tinggi. Penulis pribadi tidak begitu heran, sebab agama Islam yang dibawa Nabi, sejak pertama kali turun, wahyu pertamanya adalah “iqra” yang artinya bacalah! Sedangkan membaca dengan segenap yang terkait dengannya adalah jendela peradaban. Dan umat Islam sudah pernah membuktikannya. Maukah kita kembalikan peradaban yang maju itu? Kuncinya –setelah ikhlas– adalah menghidupkan budaya ilmu dan ulama yang di dalamnya sudah termasuk hidupnya budaya literasi.*